KOMPAS.com - Lima artefak kapal dari abad ke-10 hingga ke-19 Masehi ditemukan di wilayah perairan Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau. Temuan tersebut menguatkan bahwa Natuna
merupakan titik penting dalam jalur pelayaran perdagangan internasional yang menghubungkan Tiongkok dengan kawasan Asia Tenggara.
Selama dua pekan, 14-25 April 2015, lima penyelam dari Pusat Arkeologi Nasional menyelami tiga lokasi di wilayah Laut Tiongkok Selatan. Ada tiga lokasi yang menjadi target utama penyelaman, yaitu Pulau Buton, Pulau Laut, dan Karang Antik. Namun, para peneliti hanya berhasil memetakan temuan di Buton dan Karang Antik.
"Kondisi arus sedang deras saat kami berada di Pulau Laut," ujar Priyatno Hadi, peneliti madya di Pusat Arkeologi Nasional, Kamis (22/4/2015). Pulau Laut ini merupakan wilayah terluar batas geografis Indonesia dengan Laut Tiongkok Selatan. Para peneliti belum mengetahui apakah artefak kapal karam itu berteknologi kapal Asia Tenggara atau Tiongkok.
Menurut informasi penduduk setempat, sebenarnya ada lima lokasi kapal masa kerajaan itu karam di wilayah Natuna. Namun, karena keterbatasan anggaran, penelitian tahun ini hanya difokuskan pada tiga lokasi. Untuk penelitian tersebut, Pusat Arkeologi Nasional hanya menganggarkan Rp 200 juta.
Di Karang Antik, tim peneliti menemukan kapal kayu berukuran besar dengan berbagai benda keramik Tiongkok di dalamnya. Temuan itu hanya berada di kedalaman maksimal 15 meter dari permukaan laut.
Ditilik dari pola hiasan dan bentuk keramik, para peneliti menyimpulkan, keramik tersebut berasal dari masa Dinasti Sung (abad ke-10 hingga ke-12 Masehi). Adapun di Buton, peneliti memetakan kapal kayu dengan muatan keramik dari masa Dinasti Qing atau dikenal sebagai Dinasti Manchuria yang berusia lebih muda, yaitu dari abad ke-17 hingga ke-19 Masehi.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Temuan keramik dari masa Dinasti Qing atau dikenal sebagai Dinasti Manchu (abad 17-19 Masehi) di Teluk Buton, Natuna, Kepulauan Riau.
Priyatno mengatakan, dalam arkeologi maritim, Natuna merupakan situs yang menarik bagi para peneliti. Natuna berada di jalur strategis pelayaran perdagangan internasional dari Laut Tiongkok Selatan. Keberadaan kapal-kapal karam di wilayah Natuna itu sudah diduga sebelumnya karena di sepanjang pesisir Kepulauan Natuna banyak ditemukan pecahan keramik.
"Ini menjadi temuan luar biasa karena kemungkinan pernah ada permukiman di Kepulauan Natuna. Bukti fisiknya adalah banyak sekali temuan keramik pecah di sepanjang pesisir pantai," kata Bambang Budi Utomo, peneliti senior di Pusat Arkeologi Nasional, yang ikut ke lokasi.
Penduduk di sana, kata Bambang, biasa mencari keramik utuh di halaman rumah atau pantai. Sebagian penduduk bahkan menjadikan barang antik itu sebagai mata pencarian. Meski sudah ada bukti fisik berupa keramik, para peneliti belum menemukan catatan sejarah yang menyatakan pernah ada permukiman di Natuna.
"Hanya ada berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa Natuna merupakan tempat persinggahan dan ada air tawar di sana," ujarnya. Kapal-kapal dari Tiongkok atau yang akan menuju Tiongkok kemungkinan besar mengisi logistik di Natuna. Bisa juga mereka merapat di Natuna karena terkena badai.
Badai tropis yang sering muncul dan lenyap tiba-tiba menjadi ancaman kapal-kapal yang melalui Laut Tiongkok Selatan. Sebagian kapal yang tidak mampu menyelamatkan diri akhirnya karam dengan muatan keramik di dalamnya.
Dilihat dari umur keramiknya, kapal masa Dinasti Sung berlayar ke Nusantara (yang pada masa itu menjadi pusat Asia Tenggara) untuk berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Kapal-kapal itu berlayar dari Pelabuhan Kanton yang menjadi pintu keluar para pedagang di Tiongkok.
"Pada masa itu, peran Kerajaan Tumasik (Singapura) belum ada karena Tumasik baru lahir berbarengan dengan masa Majapahit di Jawa Timur, sekitar abad-14," ujar Bambang.
Kapal perang
Selain menemukan kapal kayu, para peneliti juga sempat melihat kapal berbahan logam yang karam. Menurut informasi penduduk, kapal tersebut merupakan kapal perang Rusia yang tenggelam ditembak Jepang. "Namun, saat menyelam, kami hanya melewatinya, belum berfokus pada kapal yang diduga kapal perang itu," kata Priyatno.
Hampir separuh dari lunas kapal terpendam lumpur dan hanya bagian atas yang terlihat. Berdasarkan cerita penduduk lokal, masih ada beberapa bangkai kapal sisa Perang Dunia II yang ditemukan di wilayah perairan Natuna.
Bangkai kapal perang dari negara lain, kata Bambang, tidak bisa begitu saja dieksplorasi oleh peneliti Indonesia. Alasannya, ada aturan hukum internasional yang menyebutkan bahwa bangkai kapal suatu negara yang tenggelam di wilayah perairan negara lain tetap menjadi hak milik negara asal kapal tersebut.
Tahun 2013, Pusat Arkeologi Nasional pernah menemukan bangkai kapal selam Jerman dari jenis U-Boat (unterseeboot) bernomor U-168 di wilayah perairan Taman Nasional Karimunjawa. Temuan itu memunculkan tanda tanya, apa peran Jerman di wilayah perairan Nusantara pada masa Perang Dunia II. Lokasi bangkai kapal sekitar 96 kilometer dari Karimunjawa di kedalaman 19 meter.
Literatur Pemerintah Jerman menyebut, pada masa PD II, dua kapal tenggelam di perairan Indonesia. Kapal U-168 tenggelam tahun 1944, sedangkan U-183 tenggelam tahun 1945. Data misi U-Boat menyebutkan, armada kapal selam Jerman pernah berada di perairan Laut Jawa, Laut Australia, dan Samudra Hindia. "Misi Jerman terkait persekutuan Jepang-Jerman menghadapi sekutu," kata Bambang yang mengetuai penelitian tersebut.
Berdasarkan kajian Pusat Arkeologi Nasional, Jerman mempunyai "pangkalan" di Pulau Penang (Malaysia), Jakarta, dan Surabaya. Kapal selam tenggelam akibat torpedo. Lubang bekas torpedo berada di ruang kontrol. Bambang menyatakan, bangkai kapal itu merupakan temuan besar. Sejumlah artefak ditemukan, seperti piring makan, cangkir, kacamata, teropong, aki, dan alat selam.
Kapal U-Boat itu diduga armada kapal perang Nazi Jerman meski lambung kapal belum ditemukan. Dugaan itu berdasarkan beberapa sampel berciri simbol Nazi, seperti lambang burung mencengkeram lambang swastika. Lambang itu ditemukan di bagian dasar piring makan. Kini, penelitian arkeologi bawah air masih menunggu kelanjutan pemberian dana dari pemerintah.
No comments:
Post a Comment