A. Mekanisasi
pertanian
Perkembangan
zaman dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak yang
luar biasa terhadap kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki
potensi untuk berfikir akan selalu mengembangkan sesuatu hal agar menjadikan
kehidupannya menjadi lebih baik. Oleh karena itu, proses perubahan akan terus
berjalan.
Penggunaan alat dan mesin pertanian
sudah sejak lama digunakan dan perkembangannya mengikuti dengan perkembangan
kebudayaan manusia. Pada awalnya alat dan mesin pertanian masih sederhana dan
terbuat dari batu atau kayu kemudian berkembang menjadi bahan logam. Susunan
alat ini mula-mula sederhana, kemudian sampai ditemukannya alat mesin pertanian
yang komplek. Dengan dikembangkannya pemanfaatan sumber daya alam dengan motor
secara langsung mempengaruhi perkembangan dari alat mesin pertanian (Sukirno,
1999).
Sesuai dengan defenisi dari mekanisasi
pertanian (agriculture mechanization), maka penggunaan alat mekanisasi
pertanian adalah untuk meningkatkan daya kerja manusia dalam proses produksi
pertanian dan dalam setiap tahapan dari proses produksi tersebut selalu
memerlukan alat mesin pertanian (Sukirno, 1999).
Mekanisasi
pertanian merupakan introduksi dan penggunaan alat mekanis untuk melaksanakan
operasi pertanian. Mekanisasi pertanian disebut juga sebagai aplikasi ilmu
engenering untuk mengembangkan, mengorganisir dan mengatur semua operasi (MJ,
2011).
Hasil-hasil pertanian guna memenuhi
kebutuhan pangan harus memiliki penanganan pasca panen yang baik. Penanganan
yang dilakukan diusahakan memperhatikan tingkat standarisasi mutu yang
diizinkan. Penanganan yang tidak baik akan berdampak pada kualitas bahan yang
buruk, harga jual yang rendah, serta dapat menimbulkan kerugian bagi para
produsen hasil-hasil pertanian tersebut.
Setiap perubahan
usaha tani melalui mekanisasi didasari tujuan tertentu yang membuat perubahan
tersebut bisa dimengerti, logis, dan dapat diterima. Diharapkan perubahan suatu
sistem akan menghasilkan sesuatu yang menguntungkan dan sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan. Secara umum, tujuan mekanisasi pertanian adalah :
a. mengurangi kejerihan kerja dan
meningkatkan efisiensi tenaga manusia
b. mengurangi kerusakan produksi
pertanian
c. menurunkan ongkos produksi
d. menjamin kenaikan kualitas dan
kuantitas produksi
e. meningkatkan taraf hidup petani
f. memungkinkan pertumbuhan ekonomi
subsisten (tipe pertanian kebutuhan keluarga) menjadi tipe pertanian komersil
(comercial farming)
Tujuan tersebut
di atas dapat dicapai apabila penggunaan dan pemilihan alat mesin pertanian
tepat dan benar, tetapi apabila pemilihan dan penggunaannya tidak tepat hal
sebaliknya yang akan terjadi (Rizaldi, 2006). Perubahan-perubahan untuk
memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang dilakukan pemerintah
sekarang berjalan dengan diarahkan pada semua sektor. Tidak terkecuali sektor
pertanian. Pertanian memiliki peranan yang sangat penting bagi kesejahteraan
rakyat. Berhasilnya sektor pertanian akan berdampak pada ketahanan pangan.
Ilmu mekanisasi Pertanian adalah bagian
dari industri pertanian hari ini yang penting karena produksi yang efisien dan
pengolahan bahan-bahan tergantung pada mekanisasi.
Oleh karena itu, mayoritas pekerja
bekerja pada bidang keduanya baik di lahan maupun di pemasaran hasil-hasil
pertanian yang membutuhkan keahlian-keahlian yang memungkinkan mereka untuk
mengoperasikan, mempertahankan, dan memprebaiki mesin dan peralatan. (Shin and
Curtis, 1978).
Menurut
Hardjosentono dkk (1996) peranan mekanisasi pertanian dalam pembangunan
pertanian di Indonesia adalah:
1. Mempertinggi efisiensi tenaga
manusia
2. Meningkatkan derajat dan taraf hidup
petani
3. Menjamin kenaikan kuantitas dan
kualitas serta kapasitas produksi pertanian
4. Memungkinkan pertumbuhan tipe usaha
tani yaitu dari tipe pertanian untuk kebutuhan keluarga(subsistence farming)
menjadi tipe pertanian perusahaan (commercial farming)
5. Mempercepat transisi bentuk ekonomi
Indonesia dari sifat agraris menjadi sifat industri.
Namun dari segi
tujuan dan peranan mekanisasi di Indonesia sangat tidak dapat berjalan dengan
lurus, masih banyak hambatan-hambatan yang di hadapi oleh petani di Indonesia.
B. DAMPAK
MEKANISASI
Dampak secara
sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap keputusan
yang diambil oleh seorang atasan biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik itu
dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses
lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawasan internal. Seorang pemimpin yang
handal sudah selayaknya bisa memprediksi jenis dampak yang akan terjadi atas
sebuah keputusan yang akan diambil.
Menurut kamus besar Indonesia Dampak
adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik negatif maupun positif.
Jadi dampak
dari mekanisasi itu sendiri ialah pengaruh atau akibat introduksi dan
penggunaan alat mekanis untuk melaksanakan operasi pertanian yang dapat
berakibat positif maupun negative di dalam masyarakat tani Indonesia. Beberapa
dampak dari mekanisasi yang ditinjau dari beberapa segi antara lain :
1. Ditinjau
Dari Segi Ketenaga kerjaan.
Mempunyai
cadangan tenaga kerja yang terampil serta fleksibel karena terus menerus mau
mendalami kemajuan, dan mendapatkan pelatihan dan penyuluhan yang
berkelanjutan, yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan didalam sektor industri
(industri pertanian—agro industri ataupun sector lainnya). Transformasi
struktural dalam tenaga kerja tersebut dari sektor pertanian ke sektor yang
lain itu merupakan akibat yang wajar dari peningkatan produktifitas di dalam
sektor pertanian.
Kontribusi
mekanisasi pertanian untuk tanaman pangan ditandai dengan meningkatnya
kebutuhan tenaga kerja pada pengolahan lahan, karena makin langkanya tenaga
kerja manusia dan ternak pada daerah daerah beririgasi yang mempunyai
intensitas tanam tinggi. Disamping itu, faktor budidaya tanam padi varietas
unggul, memerlukan keserempakan tanam untuk dalam satu kawasan luas, untuk
menghindari serangan hama dan memutus siklus hama. Oleh karena itu, volume
pekerjaan menjadi meningkat waktu pengolahan lahan singkat sehingga jumlah
curahan tenaga kerja untuk kegiatan tersebut meningkat.
Kasus diatas
dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan 18% pada traktor, dan terutama didominasi
oleh traktor kecil. Di Jawa, meskipun penduduknya lebih padat dari pulau pulau
lain, populasi traktor pada tahun 2000 mencapai 50% dari total populasi di
Indonesia atau sekitar 49,000 unit dari 101,000 unit. Dari 50% tersebut,
propinsi Jawa Barat dengan luas areal sawah 1.2 juta hektar memiliki populasi
traktor terbanyak, diikuti oleh propinsi Jawa Tengah, kemudian propinsi Jawa
Timur .
Didaerah lain,
traktor makin tahun juga meningkat jumlahnya, terutama pada daerah daerah yang
mempunyai irigasi lebih baik seperti Sulawesi Selatan, Bali, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Aceh, dan Lampung. Namun demikian belum dapat diduga parameter
statistiknya antara perkembangan traktor dan intensitas tanam disuatu wilayah,
namun dapat diduga bahwa mekanisasi pengolahan lahan akan sangat berkorelasi
dengan jumlah lahan sawah irigasi dan intensitas tanamnya.
Pada kasus
perluasan areal tanaman pangan, dapat disebutkan peranan pompa air irigasi,
terutama untuk wilayah wilayah yang mempunyai air tanah dangkal didaerah Sragen
(Jawa Tengah), Ngawi, Kediri, dan Madiun di Jawa Timur. Pompa air memungkinkan
perubahan pola tanam 1 kali menjadi 2 atau lebih dalam setahun. Peningkatan
intensitas tanam tersebut dimungkinkan karena faktor air sebagai kendala utama
dapat dipecahkan, dan sekaligus meningkatkan kesempatan kerja, karena
bertambahnya jumlah tanaman per tahun. Namun demikian, meskipun input teknologi
pompa air-nya sendiri hanya memberikan margin keuntungan yang sedikit, karena
biaya air tidak sesuai dengan biaya pokok yang harus ditanggung oleh pompa air
(Ditjentan, 1979; Balai Besar, 2000, Ditjen
Tananam Pangan 2000).
Akan tetapi
walaupun melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di perdesaan kondusif bagi
pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor
pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor
pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di
sektor pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi
lahan dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan
melahirkan lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan
datang. Sebagai akibatnya, penduduk miskin di sektor pertanian akan melimpah
pula.
2. Ditinjau
Dari Segi Sosial Budaya Dan Agama
Dengan
mekanisasi pertanian yang modern dan berwawasan agribisnis dikembangkan dan
dibangun dari pertanian tradisionil melalui proses modernisasi. Pada
prinsipnya, modernisasi menuntut terjadinya perubahan dan pembaharuan sistim
nilai dan budaya. Modernisasi berarti melakukan reformasi terhadap norma dan
budaya yang tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman, kurang produktif, kurang
efisien dan tidak memiliki daya saing. Perubahan tersebut perlu waktu, harus
terjadi dalam lingkup integral dan tidak hanya mencakup aspek-aspek teknis,
ekonomis, politis melainkan juga aspek penghidupan sosio-kulturil.
Pengembangan
mekanisasi pertanian dan teknologi pasca panen yang mampu memberikan kontribusi
optimal kepada pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Dimana pengembangan
tersebut bertujuan untuk memberikan landasan yang kuat bagi berlangsungnya pengembangan
mekanisasi pertanian, sebagai wahana perubahan budaya pertanian tradisional ke
budaya pertanian industrial atau modern.
Adanya
modernisasi mekanisasi/ tekhnologi pertanian di satu sisi mengakibatkan naiknya
tingkat rasionalitas (nilai tiori), orientasi ekonomi dan nilai kuasa,sementara
pada sisi lain modernisasi mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kepercayaan
(nilai agama), nilai gotong royong (solidaritas) dan nilai seni mengalami
komersialisasi. Modernisasi dapat juga menaikan semua nilai budaya yang di uraikan
di atas. Kenyataan memperlihatkan bahwa nilai yang sangat dominant mengalami
pergeseran adalah naiknya tingkat rasinolitas (nilai tiori), orientasi
financial (nilai ekonomi) sebagai dampat kebijaksanaan pembangunan yang lebih
memprioritaskan pembangunan ekonomi yang diikuti oleh pesatnya penerapan ilmu
dan technologi. Sehinga pergeseran nilai dan peransosial budaya terjadi, karena
modernisasi menururt Schoorl (1991) tidak sama persis dengan pembangunan.
Modernisasi lebih banyak diwarnai oleh gejala perubahan tekhnologi dan
berkembangnya ekonomi pasar. Sedangkan pembangunan lebih menitik beratkan pada
adanya perubahan struktur masyarakat.
Dahulu, sebelum ada dan diterapkanya
teknologi biologis dan teknologi biokimia, mulai dari pembukaan dan pengolahan
lahan, menggarap sawah/ladang sampai pada menjelang dan pasca panen, nilai
agama (kepercayaan) selalu mendominasi setiap langkah para petani. Kenyataan
ini dapat dibuktikan dengan adanya kebiasan para petani yang mencari dan
menentukan hari dan bulan baik untuk bercacok tanam dan memanen hasil
pertaniannya. Sebelum pelaksanaan panen padi misalnya, di sekeliling
sawah/ladang selalu didahului dengan acara do’a dan selamatan bersama agar
hasil panenya meningkat dan mendapatkan perlindungan dan berkah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Eksistensi
nilai agama (kepercayaan) tersebut, setelah hadir dan diterapkanya teknologi
biologis dan biokimia, telah bergeser dan bahkan ada yang telah hilang sama
sekali diganti oleh nilai-nilai yang bersifat rasional. Wawasan dan cara
berfikir mereka menjadi lebih terbuka bahwa meningkatnya hasil panen tidak
semata-mata ditentukan oleh dilaksanakanya do’a selamatan disekeliling
sawah/ladang,tetapi ditentukan oleh penanaman bibit unggul, cara pengolahan,
penggunaan pupuk, pemberantasan hama sampai kepada penanganan pasca panen. Hal
ini menunjukan bahwa cara dan tingkat rasionalitas berfikir mereka semakin
meningkat dan bertambah maju, sementara nilai-nilai agama (kepercayaan) makin
luntur dan memudar.
Majunya cara berfikir diatas didukung
oleh adanya pelaksanaan program pemerataan pendidikan melalui kejar paket ,
wajib belajar dan media masa secara pasti mampu mengajak masyarakat untuk
berfikir dan bertindak berdasar logika (nilai teori). Artinya baik buruknya
sesuatu tidak lagi berdasarkan pada nilai-nilai kepercayaan. Fenomena ini
tanpak jelas pada pola tingkah laku mereka sebagai refleksi dari cara
berfikirnya yang telah mengalami pergeseran.
Sebelum adanya program mekanisasi, para
petani menggarap sawahnya dengan menggunakan tenaga kerbau atau sapi. Sekarang
;lahan pertanian sudah digarap dengan bantuan mesin (menyewa traktor milik
pemodal). Demikian juga dalam pelaksanaan panen yang dulunya banyak melibatkan
para tetangga memangterlihat tidak efesien-dengan adanya tresser (mesin perontok
padi) penggunaan tenaga manusia menjadi berkurang. Penggunaan alat ini disatu
sisi memang menguntungkan, tapi disisi lain pola hubungan antar masyarakat
petani, jelas merenggankan kohesi social, dan secara ekologis karena gabahnya
tidak ada yang tercecer menyebabkan populasi burung menurun atau bermigrasi
ketempat lain. Padahal keberadan burung merupakan salah satu mata rantai
makanan dalam suatu ekosistem masyarakat petani.
Dahulu, nilai gotong royong sangat
terasa sekali, jika ada tetangga yang melaksanakan hajatan. Ketika petani mau
menanam padi atau kedelai di ladang atau panenan, pasti tidak bayar, upahnya
hanya makan pagi dan siang atau makan kecil. Jadi, kalau ada diantara mereka
menanam atau memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu
sebaliknya, terjadi semacam barter tenaga. Sekarang keadaanya telah bergeser,
kalau mau bercocok tanam atau panenan sudah harus memperhitungkan upah. Bahkan
sekarang jika ada gentong dipukul untuk menggotong rumah tetangga, banyak orang
yang berfikir praktis, cukup memberi uang dan tidak udah ikut gotong royong.
Persoalanya mengapa hal ini terjadi ?
Adanya desakan
ekonomi pasar yang kuat, memang terlalu sulit dan berat untuk mempertahankan
model gotong royong seperti diatas, dan memang tidak harus dipertahankan
benar-asal proporsional. Pola pikir praktis dengan hanya memberi uang tanpa mau
terlibat gotong royong jelas merupakan pertanda erosi nilai dan munculnya nilai
baru yakni indivualisme pada masyarakat perdesaan, Munculnya nilai
individualisme ini terjadi karena semakin terbatasnya kepemilikan tanah yang
banyak dikuasai oleh tuan tanah lokal atau masuknya petani berdasi dari
kota.Jika dahulu yang namanya pekulen itu sampai dilempar orang kampung karena
tidak membayar pajak pada pemerintah. Banyak pekulen Yang memiliki sawah 1–2 Ha
malas menggarapnya, karena kebanyakan tanah, tapi sekarang semua pada lapar
tanah, bahkan banyak juga orang kota datang untuk menggusur orang desa untuk
memperluas daerah bisnisnya. Dari sini lalu tumbuh benih–benih individualisme
di kampung–kampung yang dulu damai dan penuh kekerabatan.
Benih-benih
individualisme di atas banyak dicontohkan oleh orang–orang kampung yang relatif
terpelajar. Diantara mereka sekarang banyak membuat pagar tembok sekeliling
rumahnya dan ada juga yang membuat dasar lantai rumah yang tinggi, padahal dulu
perbuatan ini dianggap angkuh dan dinilai tidak memiliki rasa kebersamaan. Jadi
rasa kebersmaan yang dulu ada di kampung, sekarang tidak terlihat lagi, kalau
di kota barangkali hal ini dapat dimengerti.
Dahulu jika ada orang yang hendak
bertransmigrasi atau pindah tempat tinggal, itu pasti ditangisi oleh warga
kampungnya. Keadaan sekarang sudah berubah, hendak pergi jauh atau mau pindah
ke mana, mereka sudah tidak perduli, bahkan merasa bersyukur supaya kampung
lebih sepi dan luas. Jadi rasa kegotong–royongan itu bukan saja sudah tererosi,
tapi malah lebih sedikit dari sisa yang tererosi itu.
Fenomena di
atas menjadi indikasi bahwa nilai gotong – royong,nilai solidaritas sosial di
perdesaan telah menurun tajam, sedangkan nilai kuasa semakin meningkat dan
menguat. Penguatan nilai kuasa ini dapat dilihat dari kondisi riil bahwa para
petani dipedesaan telah menggunakan kuasanya dalam menggarap sawahnya, memanen
padi, menyewa traktor dan dalam berbagai kegiatan lainnya, yang sebelumnya
mungkin karena ikatan-ikatan tradisional harus mereka kerjakan dengan
mengikutsertakan petani tetangga atau petani sedesanya. Keadaan ini menjadi
pertanda yang jelas bahwa masuknya teknologi mekanisasi pertanian memang menguntungkan
sekaligus juga menumbuhkan benih–benih individualisme masyarakat petani yang
sebelumnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Nilai seni di masyarakat-pun mengalami
pergeseran ke arah komersialisasi, padahal dulu seni lebih didominasi oleh rasa
seni dan keindahan, terlepas dari pertimbangan material. Wayang kulit, wayang
golek atau bentuk kesenian rakyat lainnya, kini sudah banyak diberi pesan
sponsor, sehingga tidak lagi menghasilkan kesenian yang bermakna dalam memberi
kontribusi nilai kepada kehidupan, bahkan dengan adanya pesan – pesan sponsor,
nilai kesenian menjadi jelek dan tidak mandiri lagi.
Dahulu,
kesenian ronggeng tidak bayar, habis penen langsung mengadakan pentas ronggeng
dan penonton secara sukarela menyumbang langsung. Tapi ronggeng sekarang sudah
pasang tarif, demikian juga dalang. Jadi seni sudah mengalami komersialisasi
yang sangat parah, kesenian kampung menjadi tidak asli lagi, karena pola
konsumerisme sudah besar dan merambah kemana mana.
3. Ditinjau
Dari Segi pengolahan Pembangunan
Mekanisasi
pertanian dan Teknologi Pasca Panen merupakan wahana untuk transformasi dari
pertanian tradisional ke arah pertanian dengan budaya industri. Dan juga
mekanisasi merupakan sebagai suatu sub sistem IPTEK memiliki arti yang sangat
strategis, karena dengan (mekanisasi pertanian ) termasuk teknologi pasca
panen), akan didorong pergeseran kearah produktivtas dan efisiensi usaha tani
tradisional ke usaha tani komersial atau modern.Adanya pengembangan kelembagaan
mekanisasi pertanian dipedesaan. Dimana kelembagaan bukan terbatas hanya pada
institusi fisik seperti organisasi pemerintah, namun juga berkaitan dengan
supporting system yang dibutuhkan untuk melayani pengembangan mekanisasi
pertanian dan teknologi pasca panen. Antara lain adalah keberadaan kelompok
tani desa, asosiasi pengusaha, dealership, UPJA, lembaga kredit atau keuangan
desa, lembaga penjamin kredit desa, asuransi ( jika appropriate pada saatnya),
bengkel dan industri perawatan dan pemeliharaan yang perlu dihidupkan. Sehingga
dengan adanya lembaga lembaga tersebut, keberlanjutan operasi mekanisasi
pertanian dipedesaan dapat dijamin berlangsung terus. Juga pengentasan
kemiskinan dan penghapusan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan
dan pengembangan mekanisasi pertanian dan perdesaan yang berkelanjutan, yang
dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli
masyarakat.
Bersamaan
dengan penerapan berbagai macam teknologi pertanian di perdesaan, pemerintah
juga memperkenalkan program pembangunan desa melalui bantuan desa. Pada program
ini, pemerintah tidak membenarkan lagi proyek-proyek desa dilaksanakan secara
gotong royong tanpa disertai dengan imbalan gaji/upah. Akibatnya, dalam
mengerjakan sawah, nilai tolong menolong (gotong royong) pun juga sudah lebih
sedikit jika dibandingkan dengan dua atau tiga puluh tahun yang lalu.
Pembangunan
sekarang ini semakin menjauhkan jarak antara yang kaya dan yang miskin. Petani
kaya dengan modal 2 Ha tanah semakin enak dan kaya , karena tanahnya disewakan
jutaan rupiah pertahun dengan tanpa resiko rugi. Sebaliknya petani miskin
bertambah miskin dan susah. Hendak naik gunung saja, sekarang jangankan kayu,
daun jati saja sudah tidak boleh diambil, karena sudah dikuasai oleh pemegang
HPH dari kota. Akibatnya, petani miskin mati kelaparan di Negaranya yang subur.
Pembangunan sektor pertanian telah
membawa pergeseran nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya masysarakat
petani. Hal ini tampak pada semakin meningkatnya orientasi ekonomi dan rasionalitas
berpikir masyarakat petani, sementara nilai kepercayaan dan rasa solidaritas,
kegotongroyongan terlihat sermakin luntur, bahkan sangat mungkin akan hilang
sama sekali.
Sekalipun demikian, pergeseran nilai
dan perilaku keagamaan dan sosial budaya tidak semuanya buruk (negatif).
Kecuali sebagai intensitas pelaksanaan pembangunan di satu sisi, pergeseran
nilai sosial budaya bahkan- mungkin- menjadi kekuatan pendorong bagi
keberhasilan pembangunan sektor pertanian.
Pergeseran
nilai dan perilaku keagamaan dan sosial budaya juga dapat menjelaskan seperti
mengapa partisipasi masyarakat perdesaan dalam kegiatan pembangunan rendah.
Partisispasi ini mungkin dapat di tingkatkan dengan menyesuaikan nilai dan
perilaku keagamaan dan sosial budaya yang berlaku di masyarakat tersebut.
Adanya pergeseran nilai dan perilaku
keagamaan dan sosial budaya ini juga mengisaratkan kuatnya harapan masyarakat
perdesaan untuk menuju perbaikan taraf kehidupan mereka. Oleh karena itu, dalam
melakukan program pemberdayaan masyarakat pedesaan, kecuali perlunya perhatian
terhadap aspirasi masyarakat yang tercermin dalam nilai dan perilaku keagamaan
dan sosial budaya mereka pada saat ini, juga perlu dan harus melakukan
transformasi nilai dan ilmu pengetahuan terlebih dahulu yang sesuai dengan
modernisasi, sehingga pelaksanaan program pembangunan (pemberdayaan masyarakat
pedesaan) dapat mengena pada sasaran yang diinginkan.
4. Ditinjau
Dari Segi Sosial Ekonomi
Berbagai studi
menyebutkan, bahwa alat dan mesin pertanian memiliki kaitan sangat erat dengan
dinamika sosial ekonomi dari sistem budidaya pertaniannya. Sumbangan alat dan
mesin pertanian dalam pembangunan pertanian dapat diukur pada berbagai kasus,
misalnya penggunaan pompa ai tanah di Jawa Imur yang mampu merubah pola tanam dari
padi-bero menjadi padi - padi atau padi – palawija palawija. Demikian pula
penggunaan mesin perontok padi yang menurunkan susut panen dari > 5% menjadi
kurang dari 2%. Penelitian terhadap perbaikan dan penyempurnaan mesin
penggilingan padi mampu menaikkan rendemen giling cukup. Dan juga beberapa
kasus pada pengolahan kakao dan kopi, juga memberikan indikasi, bahwa
penggunaan alat dan mesin untuk sortasi, pengeringan, dan penanganan primer
hasil kakao dan kopi mampu meningkatkan kualitas hasil dan pada akhirnya
mengangkat nilai tambah hasil pertanian Dalam sistem agribisnis yang terbagi
dalam empat sub sistem yaitu sub sistem agribisnis hulu sampai pada sub sistem
agribisnis hilir (pengolahan dan pemasaran), peran alsintan diperlukan.
5. Ditinjau
Dari Segi Perluasan Areal Baru
Peran
mekanisasi pertanian pada perluasan areal baru, terutama pada lahan pasang
surut, sulfat masam, lahan bergambut, memberikan prospek yang cukup baik dalam
kaitannya dengan usaha pelestarian swa sembada beras. Hasil penelitian, studi
dan pengamatan di berbagai ekosistem tersebut memberikan indikasi bahwa
marginalitas lahan tersebut bersifat dinamis, dimana unsur waktu, perkembangan
teknologi budidaya padi, kelembagaan alih teknologi memegang peranan penting
dalam mematangkan tanah (Puslitbangtan, 1996). Unsur kepekaan (sensitivity)
mekanisasi pada lahan tersebut ditunjukkan oleh keberadaan gambut, pirit,
kematangan lahan (n-faktor) dan indeks konis (cone indeks) dan tinggi genangan
air. Dengan determinan tersebut, mekanisasi pertanian pada ekosistem rawa,
pasang surut dan lahan bergambut harus selektif dan memandu dilakukannya suatu
pemilihan alsintan yang spesifik, manajemen operasi dan kelembagaan
pengaturannya (Tim Studi Mekanisasi Lahan Rawa/ Gambut, 1997).
6. Ditinjau
Dari Segi Sumber Daya Manusia
Dengan adanya
pengembangan mekanisasi pertanian maka akan meningkatkan sumber daya manusia
atau juga meningkatkan keberdayaan masyarakat desa. Karena kemampuan Sumber
Daya Manusia dibutuhkan tidak hanya untuk mengoperasikan mekanisasi pertanian
secara fisik sebagai operator teknologi, namun juga diperlukan dalam manajemen
sistem teknologi. Manajemen Sistem Teknologi tersebut dimulai dari pemilihan (
seleksi), pengujian dan evaluasi, serta penciptaan teknologi baru yang sepadan
dengan perkembangan zaman. Pergeseran sistem pertanian dari padat tenaga kerja
ke padat modal dengan menggunakan mekanisasi pertanian memerlukan keahlian
dalam merencanakan, menganalisa, dan memberikan keputusan keputusan yang tepat.
Masyarakat
perdesaan-orang kampung- sebetulnya banyak yang tidak mengerti bahwa
pembangunan itu untuk siapa, karena terlampau sedikit hasil pembangunan
dirasakan oleh orang desa. Modernisasi pertanian, misalnya hasilnya memang
dirasakan, tetapi oleh mereka yang awalnya sudah kenyang (kaya), karena mereka
punya tanah. Petani yang tanahnya sedikit, apalagi yang tidak punya, kehadiran
traktor dan instrumen pertanian modern lainya sama sekali tidak ada artinya.
Pembangunan
yang menyangkut bibit-bibit unggul memang mereka rasakan, tetapi untuk menaikan
derajat kehidupan, sama sekali tidak ada perubahan yang mendasar. Petani yang
pada tahun 1970-an sebagai derap- buruh upah panenan- sampai sekarang masih
sebagai buruh derap. Berbeda dengan para petani yang sejak awal memiliki tanah
1-2 Ha, sekarang relatif bertambah kaya dan makmur, jadi yang teranggkat bukan
lapisan bawahnya.
Hal tersebut
terjadi karena modernisasi yang dibawa kedesa tanpa adanya pertimbangan dan
analisa yang matang. Mestinya, modernisasi harus melalui tahapan persiapan
sarana pengetahuan lebih dahulu yang sesuai dengan rencana modernisasi. Karena
itu perlu disiapkan agar masyarakat di perdesaan memiliki rasa kemandirian-
transformasi semangat dan rasa optimis.
Demikian juga dengan kehadiran traktor
dan instrumen pertanian modern lainya. Karena tidak diberi wawasan terlebih
dahulu tentang traktor dan instrumen pertanian lainya, untuk 1-2 hari mungkin
tidak ada masalah, tetapi untuk sekian bulan berikutnya, bila ada metalnya
klok, murnya copot, spuyernya lepas, terpaksa menyerah bulat- bulat kebengkel
Cina. Tukang bengkel bilang bayarnya Rp. 100.000,- terpaksa harus membayar Rp.
100.000.-. Jika hal ini terjadi, berarti nilai produktifitas mesin menjadi
hilang bahkan bisa menjadi minus. Hal ini bisa saja terjadi, jika sebelumnya tidak
ada transformasi nilai atau ilmu penetahuan mengenai hal tersebut.
7. Ditinjau
Dari Segi Pangan
Dengan adanya
mekanisasi pertanian maka akan ada pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini
dikarenakan pada umumnya penghidupan masyarakat pedesaan dari sektor pertanian.
8. Ditinjau
Dari Pengaruh Globalisasi
Globalisasi
perdagangan merupakan masalah sekaligus peluang dalam pembangunan/ pengembangan
mekanisasi pertanian. Beberapa implikasi dari dinamika lingkungan internasional
tersebut, adalah:
(1) setiap negara harus meningkatkan
dayasaing produknya agar tidak tersisih oleh produk-produk impor, di sisi lain
kita dapat memanfaatkan pasar global yang semakin terbuta; dan
(2) globalisasi disatu sisi akan
mempengaruhi pola konsumsi masyarakat dalam negeri dalam hal keragaman, mutu
dan keamanan produk pangan.
Terdapat
sejumlah permasalahan dalam upaya pengembangan teknologi pertanian berupa alat
dan mesin pertanian (alsintan) di dalam negeri yakni:
a. sistem standarisasi, sertifikasi,
dan pengujian alat dan mesin pertanian (alsintan) masih lemah,
b. pemanfaatan dan ketersediaan alat
dan mesin (alsintan) masih kurang,
c. skala usaha penggunaan alat dan
alsintan belum memadai,
d. dukungan perbengkelan masih lemah,
e. belum mantapnya kelembagaan
alsintan,
f. belum optimalnya pengelolaan
alsintan di sub sektor peternakan, dan
g. masih rendahnya partisipasi
masyarakat/swasta dalam pemanfaatan dan pengembangan alsintan serta terbatasnya
daya beli maupun permodalan akibat daya tukar produk pertanian yang makin
menurun.
Faktor–faktor penghambat perkembangan
mekanisasi pertanian di Indonesia diantaranya adalah :
• Permodalan
Umumnya petani di Indonesia mempunyai
lahan yang relatif sempit dan kurang dalam permodalannya, sehingga tidak semua
petani mampu untuk membeli alsin pertaian yang harganya relatif mahal.
• Kondisi Lahan
Tofogarapi lahan pertanian di Indonesia
kebanyakan bergelombang dan bergunung-gunung sehinga menyulitkan untuk
pengoperasian mesin-mesin pertanian,khususnya mesin prapanen
• Tenaga kerja
Tenaga kerja diIndonesia cukup
melimpah/banyak. Oleh karena itu bila digantikan dengan tenaga mesin ,
dikhawatirkan menimbulkan dampak penganguran
• Tenaga Ahli
Kurangnya tenaga ahli yang atau orang
yang kompeten dalam menangani mesin-mesin pertanian.
Mengingat hal tersebut, terutama poin
nomer 3 maka perngembangan mekanisasi pertanian di Indonesia menganut azas
mekanisasi pertanian selektif, yaitu mengintrodusir alat dan mesin pertanian
yang disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.
KESIMPULAN
Mekanisasi
pertanian diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang
bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Bantuan yang bersifat
mekanis tersebut termasuk semua jenis alat atau perlengkapan yang digerakkan
oleh tenaga manusia, hewan, motor bakar, motor listrik, angin, air, dan sumber
energi lainnya.
Dampak dari mekanisasi sendiri berupa
memberi pengaruh positif dan negatif ditengah masyarakat tani di Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. (2010). pengertian dan definisi dampak.
Retrieved oktober 09, 2014, from
http://carapedia.com/pengertian_definisi_dampak_info2123.html
MJ, A. (2011, Maret 15). DAMPAK MEKANISASI PERTANIAN
TERHADAP PEMBANGUNAN PEDESAAN . Retrieved oktober 09, 2014, from
http://saipol-book.blogspot.com/2012/05/dampak-mekanisasi-pertanian-terhadap.html
Qimoenk. (2008, juli 31). Permasalahan Mekanisasi
Pertanian di Indonesia. Retrieved oktober 9, 2014, from
http://mektan.blogspot.com/2008/07/permasalahan-mekanisasi-pertanian-di.html
rahim, s. (2013, mei 10). MEKANISASI, FAKTOR PENENTU DAN
PENGHAMBAT. Retrieved oktober 09, 2014, from
http://mekanisasisuplirahim.blogspot.com/2013/05/mekanisasi-faktor-penentu-dan-penghambat.html
rahim, s. (2013, mei 10). PERAN MEKANISASI DI INDONESIA .
Retrieved oktober 09, 2014, from
http://mekanisasisuplirahim.blogspot.com/2013/05/peran-mekanisasi-di-indonesia.html