Sepasang kaos kaki
hitam (sk2h) true story by ariardi ginting,
Sumber: kaskus
Part 1
akhir bulan September 2000...
Gue lulusan SMA tahun 1997 dan memutuskan
meneruskan kuliah sampai berhasil mendapatkan ijazah Diploma 3 yg gue
selesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun di sebuah fakultas di kota
kelahiran gue.
dan berbekal ijazah itu gue coba mengirim
lamaran ke beberapa perusahaan di ibukota karena
gue pikir perusahaan di kota tempat gue tinggal nggak begitu menjanjikan.
makanya gue pilih ke luar kota, siapa tau
peruntungan gue memang di sana.
namun berbulan-bulan gue tunggu tetapi belum juga
ada jawaban dari lamaran gue.sudah hampir genap satu tahun gue menganggur di
rumah membebani orangtua.
dan pada pertengahan Agustus tahun 2000 gue
mendapatkan sebuah surat panggilan dari sebuah perusahaan produsen alat-alat
elektronik di Karawang.
gue sendiri heran karena seingat gue, gue hanya
mengirim lamaran ke perusahaan di Jakarta dan Bandung.
tapi namanya pengangguran, gue ambil aja kesempatan
ini.dan berangkatlah gue ke Karawang....
di Karawang gue nggak punya kenalan siapa-siapa.
maka gue keliling di sekitar perumahan yg letaknya dekat ke kawasan industri
biar lebih dekat dengan kantor.
selama tes berlangsung gue numpang tidur di sebuah
mesjid. untungnya tes nya cuma tiga hari.
setelah ada keputusan gue diterima kerja magang,
gue putuskan mencari kosan.
dengan bantuan tukang ojek yg gue kenal sewaktu
ngobrol-ngobrol di mesjid, gue akhirnya menemukan sebuah kontrakan di daerah
Perumahan Teluk Jambe. kontrakan itu lumayan
laris.
dua lantai di bawah sudah terisi penuh dan hanya
ada sisa satu kamar di lantai tiga.
"tinggal yang ini Mas," kata Pak Haji
pemilik kosan menunjuk pintu sebuah kamar di ujung koridor..
gue memandang berkeliling sementara Pak Haji
membukakan pintu untuk gue melihat-lihat kamarnya.
.
di lantai atas ini cuma ada enam kamar.
masing-masing kamar sudah dilengkapi dengan
fasilitas kamar mandi di dalamnya.
dengan harga sewa seratus ribu rupiah per bulan,
gue terima dan mulai hari itu gue resmi jadi penghuni kamar nomor 23.
kamar-kamar di sini terpisah koridor selebar kurang
lebih dua meter.
tiap sisi ada tiga kamar yg saling berseberangan.
gue sendiri merasa cukup beruntung karena mendapat kamar yg posisinya paling
ujung.
kamar gue dan kamar di depan disambung oleh sebuah
tembok pendek berukuran setengah meter sebagai pembatas.
.
besok gue sudah mulai kerja, maka hari ini juga gue
berbenah kamar.
menyapu dan mengepel serta membersihkan dinding
dari sarang laba-laba yang menempel.
nampaknya kamar ini sudah lama tidak ditempati. dan
sesi bersih-bersih itu selesai pukul setengah lima sore.
gue sedang duduk di kursi kecil depan kamar saat
kamar sebelah gue mulai menyetel lagu dengan volume kencang.
.
beginilah nasib anak kos baru, cuma bisa jadi
pendengar setia.setelah capek bersih-bersih dan menyempatkan mendengar tiga
buah lagu yg disetel kamar sebelah, gue turun keluar mencari warung makan.
limabelas menit kemudian gue sudah berjalan di
tangga menuju kamar gue dengan sekantong nasi bungkus di tangan.
.
anak-anak kamar sebelah gue nampaknya masih asyik
tidur di kamar mereka, karena gue tau rata-rata penghuni kosan ini adalah
karyawan yg bekerja di kawasan industri.
hanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar
seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk
lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya.
rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit
menutupi wajah. hidung mancung dan berperawakan lumayan tinggi.
.
saat itu dia mengenakan sebuah celana jeans pendek
se paha, tapi yg menarik perhatian gue adalah kaos kaki yg dipakainya itu.
kaos kaki panjang sampai menutupi lutut.
.
Karawang adalah kota yg panas, maka gue sendiri
aneh melihatnya memakai kaos kaki yg begitu panjang
"sore Mbak," sebagai "anak
baru" gue memberanikan diri menyapa supaya dinilai sopan.diam.
wanita itu bergeming. jangankan membalas sapaan
gue, mengangkat kepalanya pun tidak.
"selamat sore Mbak..." kali ini gue coba
keraskan suara.dia tetap diam.
"sialan," omel gue dalam hati.
maka gue putuskan langsung masuk ke kamar dan
menyantap nasi bungkus gue.
nggak ada yg spesial di hari pertama gue di kosan.
kecuali momen mati lampu pada jam delapan malam,
gue memutuskan segera beranjak tidur karena besok pagi gue tidak boleh
terlambat datang ke kantor.
gue cukup senang listrik mati, karena itu artinya
gue bisa dengan tenang tidur.
kamar sebelah gue mendadak menjadi
"bisu".entah sudah jam berapa saat itu,
dalam kondisi kantuk yg mulai menjalari mata,
samar-samar gue seperti mendengar sebuah suara.
asalnya dari luar,
entah dari sebelah mana.
sebuah suara isak tangis seorang wanita,
gue yakin. isakan kesedihan yg dalam.
bulu kuduk gue merinding.
pikiran gue mulai membayangkan kelebatan-kelebatan
sosok yg bahkan nggak pernah gue tau keberadaannya.
.
gue menaikkan selimut sampai menutup kepala.
suara itu hilang.gue diam memasang telinga berusaha
menangkap suara-suara lagi.
tapi tidak ada suara apa pun.
beberapa menit gue masih terjaga memastikan.
tetap sunyi.
hanya suara degup jantung di dada gue yang
terdengar mengalun berkejaran dengan suara detik jam di dinding..
Sepasang kaos kaki
hitam (sk2h) by ariardi ginting
Part 2
esok paginya gue terbangun dengan kepala pening.
agaknya gue salah posisi tidur semalam. gue
lihat jam setengah enam pagi.
buru-buru gue mandi, gue harus sudah di kantor
jam tujuh meski jam masuk adalah jam setengah delapan.
hari pertama ini gue harus memberikan kesan yg
baik kepada atasan gue.
selesai mandi gue bergegas mencari sarapan.
pagi begini ada penjual nasi uduk
"dadakan" di depan kos jadi gue nggak perlu repot-repot nyari
sarapan.
seperti yg sudah gue bilang, penghuni kontrakan ini
kebanyakan karyawan pabrik.
lapak nasi uduk ini sudah dipenuhi antrian mereka
yg hendak berangkat shif pagi.gue berdiri di belakang antrian.
dari sini gue bisa melihat pintu kamar gue di atas.
dan di tembok pembatas itu, gue melihat dia.
wanita yg kemarin gue temui di depan pintu
kamarnya. dia sedang memandang kosong seperti kemarin.
dan saat gue perhatikan ekspresi hampa nya, gue
jadi teringat suara tangisan yg gue dengar semalam.
apa mungkin tangisan itu adalah suara dia? kalau
dilihat dari sikapnya, kemungkinan besar memang benar.
wanita berkaos kaki hitam, begitu gue memanggilnya
mulai hari ini.
dan pagi itu pun gue memulai hari pertama gue
kerja, atau lebih tepatnya disebut magang.
setelah lewat masa magang selama 1 tahun, gue akan
dipromosikan sebagai staff di bagian General Affair sesuai fresh graduate gue.
suasana kantor cukup menyenangkan dan bersahabat.
meski sangat terkesan kikuk, gue mencoba secepat
mungkin beradaptasi dengan lingkungan kerja yg baru ini.
karena ini hari pertama, gue cuma diberi tugas
ringan.
mengecek data kelengkapan barang keperluan karyawan
dan beberapa tugas ringan lainnya.
gue lebih banyak nganggur.
nganggur bikin gue bengong.
dan orang bengong pasti melamun.
maka mulai melintas pertanyaan-pertanyaan aneh di
benak gue.
tentang wanita berkaos kaki hitam itu.
apa yg selalu dilamunkan oleh dia? apa dia
menderita depresi berkepanjangan?
karena gue lihat nggak ada sedikitpun ekspresi
ceria di wajahnya.
dan lambat laun otak gue mulai dipenuhi
bayangan-bayangan wanita itu.
gue mesti cari tahu. dan sorenya sepulang kerja gue
beranikan diri berkenalan dengan penghuni kamar sebelah gue yg selalu
"berisik".
sore itu dia menyetel lagu band yg sedang naik daun
saat itu.
"kerja dimana Mas?" Indra, nama laki-laki
itu.
kami mengobrol di teras kamarnya.
"di SH**P," jawab gue.
"udah lama?"
"baru kemaren kok. semalem baru gue tidur di
sini."
indra mengangguk.
dan kami mulai larut dalam obrolan ringan.
setelah gue rasa cukup akrab sebagai orang baru,
gue beranikan diri bertanya tentang
'dia'.
"oh iya Ndra, lo tau nggak cewek penghuni kamer
depan gue?"
"emang ada ya yg nempatin kamer itu?" dia
malah balik tanya.
"lah..kemaren gue liat kok. cewek yg pake kaos
kaki item panjang itu?"
"lo liat setan kali?" Indra tertawa
lebar.
"hahaha.. sorry cuy. gue nggak hafal soalnya
balik gawe gue 'ngebo' di kamer.
keluar kalo nyari makan doang, abis itu molor lagi.
sama kamer sebelah juga gue nggak kenal.
cuma sama lo aja.
itu juga lo nya yg ngajak kenalan duluan..
"gue menggaruk kepala yg sebenernya nggak
gatal.
rupanya gue salah pilih informan.
dan rasa penasaran gue semakin membubung dalam
dada.
gue sengaja membuka sedikit gorden jendela kamar
gue supaya bisa mengintip keluar kalau-kalau wanita itu menampakkan dirinya.
gue ingin sekali melihat dengan jelas wajahnya
tanpa tertutup rambut.
berjam-jam gue duduk di samping jendela yg kacanya
rendah ini. tapi pintu kamar di depan gue tidak bergerak se inchi pun.
entah berapa lama gue duduk dalam diam mengawasi
dengan saksama.
tapi nampaknya malam ini misi gue nggak membuahkan
hasil.
gue malah tertidur di samping jendela dan bangun
keesokan paginya dengan kepala lebih sakit.....
Sk2h by Ariadi
ginting
Part 3
minggu pertama gue lalui tanpa kejadian aneh
seperti malam pertama.
rentang waktu ini gue gunakan untuk mengenal
orang-orang di sekitar gue.
selain Indra yg sekarang sudah jadi teman dekat
gue, dua kamar lain dihuni karyawan sebuah perusahaan pabrikan mobil ternama.
mereka terlalu sibuk dengan jam lemburnya jadi
gue nggak begitu sering bertatap muka.
sementara satu lagi
kamar ditempati sepasang suami istri yg sama-sama berkarir sebagai karyawan
swasta.
gue sekarang sudah akrab dengan Indra.
hampir tiap malam gue numpang nonton tivi di
kamarnya karena dengan bekal yg gue bawa dari kampung nggak mencukupi untuk
membeli barang-barang kebutuhan sekunder.
yg penting bulan pertama ini gue punya tempat untuk
tidur dan mandi dulu.
kebutuhan lainnya akan gue pikirkan nanti.
gue berhasil membuat Indra "tobat" dari
kebiasaannya menyetel lagu menggunakan speaker aktif dengan volume berlebihan.
gue menyarankan dia untuk memakai headset dan
sekarang dia jadi maniak headset kalau balik kerja.
dan sekarang lantai atas sudah sepi dari kegaduhan.
satu bulan berlalu sejak kejadian malam pertama,
dan anehnya satu bulan ini gue nggak pernah sekalipun bertemu lagi dengan
'wanita berkaos kaki hitam'.
berkali-kali saat hari libur gue tongkrongin depan
kamarnya sambil main gitar milik Indra.
gue yakin kalau kamar ini memang berpenghuni,
orangnya pasti akan keluar.
tapi nyatanya gue nggak mendapatkan hasil apapun.
kamar ini seolah ditinggal begitu saja oleh
pemiliknya.
entah sudah berapa lama dia nggak balik ke
kamarnya.
kadang gue coba beranikan diri mengintip ke dalam
lewat celah di jendela.
tapi kaca jendela tertutup rapat kertas koran yg
ditempel dari dalam.
dan karena nggak juga membuahkan hasil, minggu
ketiga dan keempat gue nggak lagi begitu tertarik dengan 'wanita berkaos kaki
hitam'.
gue nggak lagi mengintip dari balik jendela ataupun
nongkrongin kamarnya.
aktifitas gue kembali normal seolah tanpa terjadi
sesuatu apapun.
dan meski Indra masih menganggap yg gue lihat waktu
pertama di sini adalah penampakan hantu, gue nggak begitu menakutkannya.
satu bulan pertama berhasil gue lalui dengan baik.
karena gue mulai masuk job training pada
pertengahan menjelang akhir September, gue baru menerima gaji pertama di akhir
bulan berikutnya.
setelah mengambil uang secukupnya dari ATM gue
balik ke kosan membawa beberapa makanan dari mini market.
sekali-kali gue traktir si Indra makan-makan karena
selama satu bulan ini gue memang sering ditraktir olehnya dan gue juga sempat
pinjam uang ke Indra karena bekal gue habis.
maka gajian ini gue lunasi hutang gue. hehehe..
kamar Indra masih tertutup pagi itu.
semalam dia masuk shif malam. gue putuskan menunda
dulu acara makannya sampai dia bangun.
lalu gue duduk di kursi depan kamar gue sambil main
gitar nggak jelas sesuka hati.
gue sudah nggak begitu penasaran lagi dengan
penghuni kamar depan gue karena lelah dengan pengintaian tanpa hasil.
gue mulai berpikir untuk menerima argumen Indra
bahwa yg gue lihat waktu itu adalah penampakan hantu.
maka alangkah terkejutnya gue pagi itu ketika dari
bawah terdengar suara kaki menapaki anak tangga menuju lantai atas dan yg
muncul kemudian adalah dia !!
wanita berkaos kaki hitam itu !!
mata gue langsung terpaku menatap sosok yg berjalan
menuju kamarnya. dan
sama seperti yg gue lihat waktu pertama kali, dia
kali ini juga memakai kaos kaki hitam panjang.
saat itu dia memakai kaos oblong putih dan rok
pendek selutut. rambutnya diikat ke belakang.
gue berhasil melihat wajah wanita itu secara utuh !
bahagianya gue...
dan jantung gue tiba-tiba berdegup sangat kencang
ketika wanita itu menoleh dan tersenyum ke arah gue.
gue balas senyumannya dengan cengiran culun.
"anak baru yah?" dia bertanya sambil
tangannya membuka kunci pintu kamarnya.
nada suaranya terdengar sangat ramah dan
bersahabat.
gue mengangguk.
dan dia tersenyum lagi sebelum akhirnya masuk ke
kamar lalu menutup lagi pintunya.
secara refleks gue bergegas ke kamar Indra mengetuk
pintunya dengan keras.
"Dul, bangun Dul.." teriak gue sambil
tangan gue tetap menggedor pintu.
beberapa lama nggak ada jawaban sampai akhirnya
kepala Indra yg gundul plontos itu muncul dari balik pintu yg terbuka. mukanya
kusut dan berminyak.
"apaan sih ganggu orang tidur aja?!"
Indra menggerutu.
"cewek itu Ndul," kata gue bersemangat.
"cewek mana??" Indra kesal.
"cewek depan kamar gue ! dia barusan dateng
tuh, ada di kamernya !!"
"terus apa hubungannya sama gue?"
"gue mau buktiin kalo dia bukan hantu. gue mau
lo ketemu langsung sama orangnya !"
"busyet..gue baru tidur satu jam udah maen
bangunin aja buat yg nggak jelas!"
"lo tadi tidur jam tujuh, sekarang jam
sembilan. berarti lo tidur dua jam."
"iya..beda dikit!" lalu Indra menutup pintu
lagi dan terdengar suara gerendel yg dikunci dari dalam.
beberapa kali gue panggil lagi tapi dia enggan
menjawab.
gue berdiri terpaku menatap pintu kamar di depan
gue.
gue yakin hari ini semua pertanyaan gue akan
terjawab..
Sk2h by ariadi
ginting
Part 4
ada semacam rasa senang saat memandang wanita
itu tersenyum.
love at the first sight atau entah apapun itu
namanya, gue seperti terkena addict.
gue ingin melihatnya tersenyum lagi. ekspresi tenang
dan menyenangkan yg gue lihat pagi ini benar-benar berbeda dari yg pertama gue
temui dia tengah murung dan melamun.
entahlah, apa sekarang beban pikirannya sudah
hilang?
apa masalah yg menghantuinya sudah benar-benar bisa
diatasi?
gue nggak peduli itu. yg gue pedulikan adalah
gimana caranya gue bisa ngeliat dia senyum lagi ke gue.
dua jam sudah gue duduk mengamati kamarnya tanpa
bergeser se inchi pun dari posisi gue.
sambil menikmati makanan yg akhirnya gue habiskan
sendiri, gue menunggu dia membuka pintu dan menampakkan diri.
saat itulah nanti gue akan coba berkenalan atau
sekedar say hayy.
lampu dalam kamarnya masih menyala.
saking konsentrasinya gue sampai nggak menyadari
kehadiran Indra di depan pintu kamar gue.
"ngapain lo Ri bengong gitu?" kata Indra
sambil kucek-kucek mata dan menguap lebar.
gue menoleh ke arahnya yg menatap gue heran.
"gue pengen buktiin ke elo," kata gue.
"bukti apaan?" sahutnya malas.
"tuh liat," gue menunjuk kamar wanita
itu.
"apaan yg lo maksud?"
"tuh liat lampu kamer nya nyala. berarti ada
orang di dalemnya kan?" gue mengamati ekspresi wajah Indra.
"mana? apanya yg nyala??" katanya datar.
"itu lamp.........." gue terdiam saat
menoleh ke depan dan mendapati lampu kamar di dalamnya mati.
keadaan di dalam sana gelap total.
gue nggak percaya ini.
gue kedipkan kedua mata gue berkali-kali, berharapa
pada kedipan ke sekian gue akan melihat lampunya menyala lagi dan gue akan
bilang ke Indra
'tuh kan..'
tapi lampu itu tetap mati.
"ckckck..." Indra geleng kepala.
"lo beneran liat setan kali Ri!"
gue diam. gue tau posisi gue saat ini nggak
menguntungkan untuk melakukan debat dengannya.
gue hanya heran, kenapa wanita ini sepertinya
enggan menampakkan diri ke orang lain.
"ngapain lagi lo, Ri?" tanya Indra begitu
melihat gue bergerak ke pintu kamar depan gue.
"permisi..." gue mengetuk pintu.
gue tunggu beberapa detik, dan gue ulangi lagi
ketukan saat nggak ada sahutan dari dalam.
"serah lo deh Ri. mau lo bilang cewek pake
kaos kaki item, atau kaos kaki nya dipake cewek... lo kayaknya butuh
dukun," Indra berkomentar.
"dukun? buat apaan?"
"kali aja lo mau melahirkan." jawabnya
asal.
"gue bawa makanannya ya. thanks," lanjut
Indra sambil meraih kantong berisi makanan dari atas kursi lalu masuk lagi ke
kamarnya.
gue diam memandang pintu kayu di hadapan gue saat
ini.
ingin sekali gue mendobraknya dan memastikan wanita
ada di baliknya.
tapi rasa penasaran gue perlahan diselimuti rasa
takut yg tiba-tiba.
"jangan-jangan emang hantu??" batin gue
dalam hati.
"Ndra..." gue berjalan ke kamar Indra.
"utang gue berapa ke elo?" Indra sedan
nonton berita di tivi.
"pego. eh, emangnya lo udah ada buat
bayarnya?"
"ada dong. kemaren gue gajian," gue
mengambil dompet lalu memberikan sejumlah uang yg dimaksud ke Indra.
"thanks ya. laen kali gue nganjuk lagi ke elo.
hehehe..." Indra hanya menggerutu pelan.
"eh, ada temen gue mau kenalan sama elo
Ri." kata Indra.
"temen? siapa? cewek apa cowok?"
"cewek. cakep lagi," Indra mengacungkan
jempol tangannya.
"serius lo?" Indra mengangguk mantap.
"kok bisa, mau kenalan sama gue?" tanya
gue heran.
"temen gue namanya Desi, biasa pada manggil
Echi. temen sekolah dulu sih, ketemu lagi di sini.
doi lagi patah hati ditinggal kimpoi mantannya,
jadi ya butuh temen ngobrol gitu.
tapi inget, jangan macem-macem lo.
jangan di apa-apa in deh."
"busett...kayak gue penjahat kelamin
aja," sahut gue.
"lagian kan udah ada elo? kenapa nggak sama lo
aja ngobrolnya?"
"kan gue sama dia udah kenal? ya sama temen
sekolah gimana sih rasanya? gue pikir sama lo bakal nyambung deh."
"ya udah bawa sini aja anaknya."
"beneran? entar malem gue suruh ke sini
deh." gue mengangguk setuju lalu beranjak pergi.
"eh eh...mau ke mana lo?"
"tidur," jawab gue singkat.
"inget lho pesen gue tadi!"
"iyaa bawel lo!"
gue masuk ke kamar.
sepintas gue pandangi pintu kamar di seberang gue.
tertutup rapat dan gelap di dalamnya.
mungkin tadi memang benar-benar hantu? atau gue yg
berhalusinasi? entahlah, yg pasti saat ini gue butuh yg namanya tidur.
Sk2h by ariadi
ginting
Part 5
malam minggu itu Indra benar-benar membuktikan
ucapannya.
sekitar jam setengah delapan malam dia muncul di
atas tangga bersama seorang wanita yg baru gue lihat.
mereka berjalan ke arah gue yg sedang duduk di
atas tembok beranda pembatas kamar.
"Chi, ini dia cowok yg gue ceritain ke
lo." Indra menunjuk gue.
"Ri, kenalin nih Echi."kami berjabat
tangan.
"salam kenal ya,"
kata Echi seraya tersenyum.
Echi bertubuh pendek, tingginya sekitar di telinga
gue kalau kami sama-sama berdiri.
kulitnya putih dan berambut panjang sebahu.
sebenarnya gue yakin wajahnya manis, tapi agaknya
dia sedikit over dengan make up yg dipolesnya di wajah.
"ya udah kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, gue
mau ngapel." Indra meninju lengan gue pelan.
"inget pesen gue tadi pagi." gue cuma
nyengir.
Indra mengedipkan matanya ke Echi lalu beranjak
turun ke tangga.
"kalian ada 'pesen' apa sih?" Echi
tertarik dengan ucapan Indra tadi.
"eh, enggak kok bukan apa-apa. biasalah Indra
emang ngaco. hehehe..." gue turun dari duduk gue lalu berjalan mengambil
kursi di depan kamar.
"duduk," gue mempersilakan Echi.
"lo sendiri?"
"biar gue berdiri aja gak papa kok."
"kita ngobrol di kamer lo aja deh biar bisa
sama-sama duduk."
"udah gak papa nyantai aja lah. gue lagi
pengen menikmati udara malem," gue memandang ke depan.
lampu-lampu pabrik di kejauhan sana seperti
kunang-kunang di tengah ladang.
gue kerap menikmati pemandangan ini yg sering
membuat gue kangen kampung halaman.
"lo udah kenal lama sama Indra?" Echi
membuka pembicaraan.
"belum sih. gue baru ke sini sebulan yg lalu,
kurang lebih.." gue biarkan angin malam berembus menerpa wajah gue dengan
sejuknya.
"lo sendiri temen sekolahnya kan?" Echi
tertawa.
saat itulah kawat giginya tampak berkilat tertimpa
cahaya lampu.
"kok malah ketawa?"
"enggak papa lucu aja kalo inget jaman sekolah
dulu," kata dia. dan Echi mulai bercerita tentang dia dan Indra yg dulu di
sekolah sering cekcok adu mulut gara-gara hal sepele.
Indra terkenal murid yg suka nyontek, dan setiap
ada kesempatan menangkap basah dia yg lagi nyontek, Echi pasti langsung melapor
ke guru yg mengajar.
jadilah mereka sering ribut.
sejauh ini penilaian gue terhdap Echi adalah dia
anak yg smart.
dia juga pintar membawa suasana dengan candaannya
yg fresh.
samasekali nggak gue lihat kemurungannya akibat
broken heart seperti yg diceritakan Indra tadi pagi.
kami larut dalam obrolan ringan sebagaimana dua
orang yg baru kenal. gue sendiri belum berani menanyakan hal-hal yg bersifat
pribadi darinya dan nampaknya dia pun sama.
cukup lama kami ngobrol tanpa terasa sudah hampir
jam sepuluh malam.
anak-anak kos di lantai bawah yg tadi terdengar
rame dengan obrolan dan nyanyian kini lebih menyepi.
mereka mulai beranjak tidur.
di lantai atas sendiri cuma ada gue dan Echi.
dua kamar yg lain penghuninya sedang lembur shif
malam dan pasangan suami-istri di depan kamar Indra sudah sejak awal mengunci
pintu.
dan kamar di seberang kamar gue, entahlah gue nggak
mengerti.
"eh iya, keasyikan ngobrol sampe lupa ngasih
minum," kata gue.
"mau minum apa? adanya aer putih doang sih.
hehehe..."
"udahlah gak perlu repot-repot." saat itu
gue dan Echi berdiri bersebelahan bersandar pada tembok beranda.
gue pandangi Echi yg sedang menikmati lampu-lampu
di seberang sana.
dan saat itulah gue melihatnya!!
kedua mata yg mengintip dari celah kertas koran di
kaca jendela.
dari seberang kamar gue.
wanita itu...dia kah itu?
"kenapa?" Echi bertanya melihat perubahan
ekspresi di wajah gue.
"ah, ng....anu....enggak papa enggak papa
kok," gue tarik nafas panjang.
"kita turun aja yuk cari makan? gue laper
nih."
"mau makan apa?"
"pecel lele aja deh, yg di deket wartel itu
enak lho. mau?"
"boleh deh..
"walau keheranan Echi mengikuti gue turun
keluar mencari kedai nasi pecel langganan gue.
di sana kami ngobrol-ngobrol lagi.
kami sudah lebih saling kenal sekarang.
dan malam itu gue akhiri dengan mengantar Echi
sampai pertigaan untuk menggunakan angkot balik menuju kosannya.
Sepasang kaos kaki
hitam by ariadi ginting
Sumber: kaskus
Part 6
gue tapaki anak tangga menuju kamar.
tiba di anak tangga terakhir mata gue terpaku
pada sosok wanita yg duduk di beranda sambil memandang kosong ke depan seperti
biasanya.
malam sudah larut saat gw balik mengantar Echi,
dan wanita itu seolah tidak peduli dengan dingin angin ataupun gigitan nyamuk
di lengannya.
dia benar-benar seperti
patung.
gue masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menyapa
wanita berkaos kaki hitam itu.
lalu gue mulai berguling di atas kasur mencoba
mencari posisi yg pas untuk segera tidur.
lima menit...sepuluh...duapuluh....sampai setengah
jam, mata gue enggan terpejam.
gue duduk. memandang hampa atap kamar lalu
memutuskan keluar untuk sekedar menghirup udara segar.
dan wanita itu masih di tempatnya. sama persis
posisi duduknya seperti yg terakhir gw lihat.
"nih," gue menyodorkan lotion anti nyamuk
kepadanya.
ada lebih dari lima ekor nyamuk yg sedang asyik
menyedot darah di lengan kirinya.
"..............."
wanita itu diam.
bola matanya bahkan nggak bergeser satu milimeter
pun dari tempatnya.
"ya udah gue aja yg pake," kata gue,
lebih tepatnya pada diri sendiri.
semenit kemudian kulit gue sudah terlindung dari
nyamuk.
gue pandangi wajah wanita itu, lalu mencoba
mengikuti arah pandangan matanya. hanya menatap deretan lampu-lampu di kejauhan
sana.
"ngeliatin apa sih mbak?" tanya
gue.sunyi.......
"lagi sariawan ya?" kata gue lagi.tetap
sunyi..........
"mau kopi?" masih sunyi...............
"udaranya dingin banget yah?"
"sendal jepit gue putus."
"tadi di jalan tukang nasi gorengnya
brewokan."
aaaahhh..... mulut gue nyaris berbusa mencoba
berbicara pada wanita itu tapi tetap nggak ada jawaban satu huruf pun dari
mulutnya.
gue mulai kesal. gue masuk kamar, mengambil gitar
dan kembali ke beranda lalu duduk di tepian tembok.
tanpa memedulikan orang di sebelah gue mulai
bernyanyi. ada lagu yg liriknya tepat sekali untuk menyindir wanita ini.
sebuah lagu yg waktu itu lagi in banget.
dengan sedikit serak tapi banyak fals nya gue coba
menyanyikan
'Pelangi di Matamu' milik Jamrud.
"tigapuluh menit kita di sini tanpa
suara..." gue yakin lirik awal lagu ini ngena banget.
itu kalau dia mendengarkan.
"dan aku resah...harus menunggu lama...kata
darimu......"
gue terdiam. suaranya terdengar dalam.
ya, wanita di samping gue tanpa gue duga
melanjutkan liriknya.
kedua mata gue melongo menatap wajahnya.
dia samasekali nggak bergerak dari tempatnya duduk,
hanya bibirnya yg tipis terbuka perlahan melantunkan lirik lagu.
gue speechless.
jari-jari gue mendadak kaku untuk memetik senar di
tangan gue.
tapi wanita itu tetap bernyanyi meski tanpa iringan
gitar dari gue.
setelah bisa menguasai diri lagi gue kembali
memetik gitar membiarkan dia yg bernyanyi.
memang ada beberapa kata dalam liriknya yg salah
tapi over all ini adalah lagu yg indah dinyanyikan di malam hari bareng seorang
wanita.tepat saat lagu selesai wanita itu turun dari duduknya, tanpa memandang
gue, lalu beranjak ke kamarnya. lampu dimatikan.
dan hanya hening yg tersisa sekarang.
sampai detik ini gue masih belum yakin kalau yg
tadi itu benar-benar terjadi.
mimpi apa gue denger dia nyanyi sementara untuk
bicara pun dia pelit.
"woy..belom tidur lo?". Indra tiba-tiba
muncul dan membuyarkan lamunan gue.
"eh, tadi dia di sini lho. di sebelah gue.
kita nyanyi bareng malah, lagunya Jamrud itu lho! yg jam dinding nya bisa
ketawa," gue mencecar Indra dengan antusias yg agak berlebih.
Indra geleng kepala sambil elus-elus dadanya.
"gue juga sebenernya pengen ketawa,"
katanya sambil berjalan mendekati gue.
"awalnya gue pikir lo becanda waktu bilang
ketemu cewek itu, tapi kayaknya lo beneran deh."
"kan gu..."
"beneran gila lo!" sela Indra.
"mana? mana cewek itu sekarang? gue jadi
prihatin sama lo. besok kita ke psikiater deh, kalo nggak dukun aja buat
periksain otak lo yg mulai jereng itu."
"gue serius, Dul."
"serius gila nya? hahaha..." gue tarik
napas panjang. lagi-lagi percuma untuk mendebat Indra.
"udah deh jangan bahas itu. gimana tadi sama
Echi nya?" tanya Indra mengalihkan topik.
"engga gimana-gimana kok. biasa aja."
"biasa kayak gimana maksud lo?"
"setau gue yg namanya 'biasa aja' ya nggak
gimana-gimana deh."
"itu kata elo. kalo kata gue, kayaknya lo suka
deh sama dia. iya kan?"
"ah, ngasal aja lo."
"alaah...sama gue aja pake
rahasia-rahasiaan." Indra menyalakan rokoknya.
"terus gimana kelanjutannya?"
"tau deh, ketemu aja nggak tau kapan."
"makanya beli HP doong biar bisa SMS an.
canggihan dikit napa? nih kayak gue," Indra mengeluarkan Nokia 3315 nya.
(jaman segitu ni HP masih tergolong kelas atas cuy! gue aja belom punya HP saat
itu)
"tuh liat bisa bikin gambar sendiri. canggih
kan??" lanjut Indra menunjukkan layar monochrome kuning bergambar sebuah
logo nama dirinya.
saat itulah ada panggilan masuk. Indra segera ke
kamarnya.
tinggal gue sendirian lagi.
cukup lama gue termangu menatap pintu kamar itu.
dan akhirnya gw habiskan malam dengan menyanyikan
lagi lagu itu berkali-kali.
Sepasang kaos kaki
hitam (sk2h) by ariadi ginting
Sumber: kaskus
Part 7
harusnya minggu pagi yg mendung itu gue habiskan
dengan meringkuk di bawah selimut
sampai siang karena semalaman tadi gue begadang
di kamar Indra main Play Station sampai jam empat pagi.
selepas subuh gue baru bisa terlelap.
tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik
kenyamanan gue pagi itu.
awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.
"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal
lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.
"hay Ri..." gue mendapati Echi tersenyum
lebar ke gue.
"baru bangun ya?"
"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap
wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.
"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.
"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait.
gue yakin saat itu gue culun banget.
muka kusut, rambut acak-acakan ditambah sisa-sisa
iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya! )
"masuk gih," gue mempersilakan Echi masuk
sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.
"gue ganggu tidur lo ya Ri?"
"enggak kok nyantai aja lah kayak di
pantai," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.
"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu
gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan handuk.
"staff mana dapet lembur sih? paling yg lembur
orang-orang di jalur produksi aja."
gue duduk bersandar di dinding, seberang tempat
Echi duduk. gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan sisiran
rambut.
"tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini?
perasaan baru semalem kita ketemu deh?
" asap dari mulut gue mulai memenuhi seantero
kamar.
" gue beliin lo sarapan. nih," Echi
menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.
"apaan tuh?"
"cuma nasi uduk kok. kebetulan lewat depan
gang masih ada yg jual. sok dimakan, nanti basi dulu."
"wah lo tau aja gue laper," gue meraih
bungkusan itu.
"sory yah ngerepotin."
"enggak papa kok, enggak ngerepotin
juga."
"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok
beliin sarapan buat gue. yg sering aja ya?"
"yeeeey.....enak aja. tekor dong gue?!
hehehe."
"kok belinya cuma satu? lo udah sarapan?"
"tadi gue belinya memang pas udah mau abis.
itu juga cuma ada segitunya kok."
"lo udah sarapan belum?" Echi menggeleng.
"ya udah kita barengan aja," gue
mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.
"entar lo nya kurang nggak?". Echi
menerima sendok dari gue dengan ragu.
"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli
lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa mematikan rokok gue dulu
di asbak.
"yakin nih?" tanya Echi lagi.
"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo
makan," gue mulai melahap sendokan pertama.
awalnya ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg
sama.dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua.
hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi
di piring.
"thanks ya Chi," gue bersendawa kecil
setelah minum.gue duduk lagi di tempat gue tadi.
menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai
"hidangan penutup" sarapan pagi itu.
gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan
lewat seperempat.
berarti tadi gue tidur hanya sekitar tiga jam.
hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut
gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti mata gue juga ikut pergi
bersamanya.
"Indra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan
lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg sempat menghinggapi gue
beberapa detik yg lalu."eh, enggak kok.
semalaman gue begadang sama dia maen game.
jam segini mah di masih asyik sama bantalnya."
"kalian begadang sampe pagi yah?" gue
mengangguk.
"wah berarti tadi gue beneran ganggu dong? lo
pasti masih ngantuk ya, Ri?" gue tersenyum.
"kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya
basa-basi pura-pura nggak ngantuk.
"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi
tidurnya."
"nah terus elo nya?"
"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa
nada terpaksa.
"lo punya koleksi novel kan? lo tidur aja, gue
mau baca novel deh."
"enggak bosen tuh? kalo nggak kuat dan mau
balik, ya balik aja nggak usah ngerasa nggak enak sama gue."
"lo ngusir nih ceritanya?"
"hehehe.. enggak kok bukan gitu. ya udah tuh
novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di atas lemari kecil di
sudut kamar.
"bentar gue abisin dulu rokoknya. tanggung
nih." beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya.
gue menikmati hisapan terakhir rokok gue, setelah
itu beranjak ke kasur.
rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.
"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.
"wah gue hafalnya doa makan nih." Echi
menepuk kaki gue.
gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan
kehangatan mulai menyelimuti tubuh gue. gue membuka mata. Echi menutup tubuh
gue dengan selimut.
"thanks Chi. lo baik banget yah?"
"udah tidur sana jangan banyak komentar."
Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue.
dia kembali asyik dengan novel yg dipegangnya.ah,
pagi yg dingin ini gue rasakan mendadak hangat.
entah karena selimut ini atau karena sosok wanita
di samping gue.
yg jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke
dunia mimpi..
SK2h by Ariadi
Ginting
Part 8
hari-hari gue kini sedikit banyak berbeda dengan
sebelumnya.
Echi hadir menjelma jadi pengisi kekosongan yg gue
rasakan sebelumnya.
kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka
gue yg ngandong ke kosannya.
kebetulan kami berdua sama-sama non shift
jadi nggak ada istilah jam kerja malam.layaknya
pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan waktu berdua meski harus menolak jam
lembur yg ditawarkan bos di kantor.
gue pikir gaji tanpa lembur gue sudah lebih dari
cukup.
selain itu Echi adalah tipe cewek yg pengertian.
nggak harus selalu cowok yg nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan
gratis dari dia.soal Indra,
awalnya dia heran karena gue sering nggak
menampakkan diri di kosan.
setelah gue beritahu kalo gue udah jadian sama Echi
dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong
"jangan diapa-apain dulu!" yg gue jawab
"udah terlanjur!" jarang balik ke kosan,
itu berarti gue juga jarang ketemu Indra. apalagi dia kan kena shift. makin
jarang lah gue ketemu tuh anak.
hari libur gue lebih suka menghabiskan waktu di
kosan Echi atau sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota bareng dia.
yah pokoknya asal bareng Echi semua berasa indah
deh. hehe...memasuki bulan keempat gue kerja, gue memutuskan membeli sebuah
handphone untuk mempermudah komunikasi gue dengan teman-teman dan juga Echi
tentunya.
sebuah handphone mungil dengan layar monochrome
warna biru gue ingat betul handphone pertama yg gue punya waktu itu. dengan
fasilitas seadanya hp itu tergolong elit lho pada masanya.
perlahan tapi pasti gaya hidup gue yg dulu seadanya
dan gue usahakan sesederhana mungkin, kini mulai berubah ke arah glamour dan
foya-foya. sebagai jiwa muda yg masih berkobar
waktu itu gue merasa sedang dalam momen terbaik di
hidup gue. berpenghasilan lumayan plus punya pacar cantik dan setia membuat gue
mabuk kepayang. beberapa kali bahkan gue mabuk beneran bareng Echi di kosannya.
sudah setengah tahun kini gue bekerja di Karawang.
meski jarang ditempati, tapi gue memilih bertahan di kosan gue.
selain gue juga malas mencari lagi kosan yg lain,
ada Indra yg membuat gue memutuskan bertahan di sana. bagaimanapun Indra tetap
sahabat terbaik gue di kota ini.
dia yg pertama gue kenal dan dia juga yg kerap
membantu saat gue sedang kesulitan alias bisa ngutang dulu gitu! hehehe..
tapi gue akui Indra memang orang baik kok. walau
jarang bertemu kami tetap berteman baik.
dan hari itu genap sudah dua minggu berturut-turut
gue nggak balik ke kosan.
kangen juga pengen tidur di ruangan kecil itu.
pengen maen gitar punya Indra lagi.
maka sepulang kerja gue kirim pesan ke Echi bahwa
gue nggak ke kosannya malam ini.
"wah tumben lo balik," Indra menyambut
gue di gerbang bawah.
"masih inget kamer lo ya??"
"iya gue kangen nih sama kamer gue. pengen
maen gitar juga. lo ngapain di sini?"
"abis balikin setrikaan temen. punya gue
mendadak eror soalnya." kami berjalan menapaki tangga menuju lantai atas
sambil berbincang ringan. rasanya seperti kembali ke rumah sendiri saat gue
pandang berkeliling kamar-kamar di sini.
"wah elo kumat lagi nih ya,". gue
mengomentari volume kencang dari speaker aktif di kamar Indra.
"kan elo jarang balik? nggak ada yg protes
lagi. lagian juga di sini sepi kalo lo nggak ada. kan lo tau gue nggak begitu
interaktif sama tetangga kamer."
kami duduk di beranda. dan saat itulah mata gue
menatap pintu kamar di seberang kamar gue. kamar yg sampai sekarang masih
menyimpan rasa penasaran gue.
wanita itu....dia cukup terpinggirkan beberapa
bulan ini saking sibuknya gue pacaran sama Echi.
"eh, kamer yg itu masih ada penghuninya
enggak?" gue menunjuk kamar itu.
"tau deh gue juga nggak ngerti," Indra
geleng kepala.
"bener kata lo sih, emang ada cewek yg
nempatin kamer itu. tapi jarang keliatan keluar masuk nya. gue beberapa kali
pernah liat dia di kamer ini."
"terus?" gue seperti disulut penasaran
lagi.
"terus apanya? ya biasa aja."
"bukan. maksud gue, cewek itu masih pake kaos
kaki item panjang?" Indra mengangguk lagi.
"menurut lo tuh cewek orang apa setan
sih??" tanya Indra.
"jelas orang lah. mana ada setan pake kaos
kaki?"
"ya kali aja dia lagi kedinginan?" gue
tertawa kecil. gue seperti mendapat sesuatu yg sempat hilang. rasa penasaran
itu, yg sempat sirna beberapa waktu terakhir, kini mulai menjalar lagi di otak
gue.
terakhir gue ketemu cewek itu ya pas lagi nyanyi
tengah malem itu aja. setelah itu dia seolah lenyap.
atau gue yg melenyapkan diri ya?? yg pasti malam
itu gue duduk lagi di tembok beranda.
sambil menyetem gitar milik Indra, gue berharap
wanita itu akany muncul lagi malam ini. gue pengen ketemu dia.Indra lagi shift
malam jadi gue sendirian di sana.
dan sengaja malam ini gue akan menyanyikan lagu yg
sama yg dulu pernah dinyanyikan wanita itu. baru saja gue masuk intro,
terdengar sebuah suara dari belakang gue melantunkan lagunya.
suara yg cukup melekat di pikiran gue.wanita
berkaos kaki hitam itu.
dia ada di belakang gue...
*A1
Lanjutin ga yah
Sepasang kaos kaki
hitam by pujangga lama,
Part 9
bukan.
itu bukan dia...
suaranya lain.
eh, iya itu dia.
tapi bukan! cara menyanyinya lain!
ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan
dan...
"hemmpph........" gue cukup dibuat
terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. nyaris saja gue
terlompat ke bawah.
"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit
terengah karena benar-benar terkejut tadi.
"by the way kok lo ke sini gak bilang dulu
sih?" Echi tersenyum simpul. sangat sederhana dengan sedikit sudut
bibirnya terangkat ke samping.
beda dengan cara dia tersenyum biasanya.
"lo kenapa Chi? kok murung gitu?" tanya
gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.
Echi menggeleng perlahan.
"mau bikin kopi?" gue menawarkan.
Echi menggeleng lagi.
"atau lo laper?" dijawab dengan gelengan
lagi.
gue turun dari tempat gue duduk.
menyandarkan gitar ke dinding lalu berdiri di
samping Echi.
gue raih dan genggam tangannya.
dingin...
tadi sore memang sempat hujan cukup lama dan baru
selesai menjelang malam.
Echi pasti kedinginan. maka gue pun memeluknya.
"kok agak bau lumpur-lumpur gitu yaa?"
gue membatin dalam hati.
gue cari ke sekeliling dan di bawah sana ada
kubangan lumpur becek tergenang air berwarna cokelat.
pasti asal baunya dari sana.
gue membelai pelan rambutnya.
entah kenapa malam ini gue merasa sangat damai
dengan memeluk Echi sambil menatap langit yg pekat bersih nyaris tanpa bintang.
mungkin mereka masih sembunyi gara-gara hujan tadi.
"Ri..." akhirnya Echi bicara.
"kenapa, sayang?" sahut gue di
telinganya.
"lo liat bintang itu?" Echi menunjuk
satu-satunya bintang yg bersinar di selatan langit.
"gue liat." jawab gue.
"seandainya gue jadi bintang itu, lo mau nggak
tiap hari bolak-balik bumi-langit buat ketemu gue di sana?" itu pertanyaan
teraneh yg pernah gue denger dalam hidup gue.
"kok nanyanya gitu?" gue tertawa kecil.
"apapun akan gue lakukan buat elo, Chi."
ciee...gue mulai gombal.
Echi diam merenungi kalimat gue barusan.
gue memeluknya makin erat.
ah, betapa gue ingin selalu seperti ini.
bersama melewati malam dan tak pernah terganti
sampai nanti.
beberapa menit kami sama-sama diam.
hanya menatap langit tanpa bicara.
tiba-tiba nada dering hp gue berbunyi dari kamar
Indra.
gue lagi nge charge soalnya jadi nggak gue bawa.
"bentar ya sayang, gue angkat telepon
dulu." gue lalu bergegas ke kamar.bokap gue dari kampung nelepon. hanya
pembicaraan ringan menanyakan kabar gue di sini dan sedikit perlu dengan uang.
nggak lama, hanya sekitar sepuluh menit lalu gue
keluar lagi hendak menemui Echi.
"heyy..." gue berseru tertahan mendapati
beranda kosong tanpa seorang pun di sana.
"Chi, lo di mana say? mau maen petak umpet
yah??" gue tertawa sendiri.
tapi bingung juga karena di sini nggak ada tempat
buat bersembunyi.
gue tunggu lima menit dia nggak muncul juga. maka
gue cek ke bawah.
gue coba tanya ke temen-temen yg gue kenal dan
katanya mereka nggak memperhatikan karena lagi asyik di kamar masing-masing.
gue coba keluar siapa tau Echi lagi di warung depan
kos, tapi nggak ada juga.maka gue memutuskan kembali ke atas, mencoba
menghubunginya lewat hp.
baru aja gue buka pintu kamar, hp gue berbunyi
tanda sms masuk.
Gue balik dulu ya, Ri...
begitu pesan dari Echi.
langsung gue balas seperlunya ditambah sedikit
basa-basi seperti biasanya.
gue lalu rebahan di kasur.
jam kecil di atas televisi menunjukkan pukul
setengah sembilan malam.
sudah waktunya tidur.
besok pagi-pagi gue harus ke kosan Echi dulu
sebelum berangkat kerja karena pakaian ganti gue memang ada di sana.
di kamar gue sendiri hanya ada beberapa untuk
perlengkapan tidur.
"permisi.." seseorang mengetuk pintu
kamar.bergegas gue buka pintu dan gue lihat penghuni kamar seberang Indra
berdiri menenteng gitar milik Indra.
"udah mau tidur ya Mas? ini gitarnya
ketinggalan di luar, barangkali ilang kan sayang." dia menyerahkan gitar
itu.
"eh iya Pak, tadi saya lupa. makasih banyak
Pak.
"beberapa saat setelah itu gue sudah rebahan
lagi di kasur. malam ini gue pengen ditemani lagu-lagu Mariah Carey. gue cari
kaset CD nya di tumpukan kaset di atas VCD lalu gue setel dengan volume
seperlunya.
damai sekali nampaknya malam ini.gue pejamkan mata.
dan bayangan-bayangan wanita berkaos kaki hitam mulai muncul di benak gue.
gue buka mata dan seketika bayangan itu lenyap.
saat gue pejamkan lagi mata gue, yg muncul di
hadapan gue sekarang adalah wajah Echi.senyuman teduhnya menghantarkan gue ke
alam mimpi..
*A1
SK2H
Part 10
.
"tok tok tok!"
ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur.
ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja
pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya.
"apaan sih lo Ndra?" gue mendengus
begitu tau yg mengetuk pintu adalah Indra.
"masih pagi juga udah gedor-gedor kamer
orang."
"ini kan kamer gue?"
"iya iya. gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi
gedor kamer elo?"
"buruan pake pakean lo!" kata Indra tetap
berdiri di tempatnya.
"ada apaan emang?"
"sms gue masuk nggak sih??" gue cek hp yg
masih tersambung dg charger.
di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan
penuh.
maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu
pesan baru dari nomor Indra langsung masuk.
'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i. nanti
gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'
"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar
cukup hebat.
gue berharap yg gue baca ini hanya sms lelucon.
"tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue
sms elo kok nggak masuk-masuk ya jadi gue pastikan aja ke sini."
"lo becanda kan?"
"gue tau batasan-batasan becanda Ri. ini
serius! semalam gue dapet kabar dari family nya Echi, gue kenal baik
keluarganya dan mereka tau gue juga ada di karawang yaa jadi mereka ngehubungin
temen terdekatnya Echi yaitu gue."
"terus gimana keadaan Echi sekarang??"
Indra menarik nafas berat." dia lagi sekarat.
kepalanya mengalami pendarahan hebat, itu yg gue
denger dari kakaknya yg ngehubungin gue."
"kok bisa? emang gimana kronologinya?"
"yaah... katanya sih Echi lagi nyebrang mau ke
mini market gitu, tanpa dia tahu dari arah kanan ada motor yg melaju kencang
dan terjadilah tabrakan maut itu. sayangnya pelaku penabrakan itu kabur."
seketika darah dalam tubuh gue memanas.
tulang-tulang gue seolah lemas.
gue terduduk dalam diam.
"bukannya lebih baik sekarang kita pastikan
keadaannya di rumah sakit?" gue mengangguk.
maka setelah merapikan diri seperlunya gue dan
Indra bergegas turun keluar.
"lo napa Ndra?" tanya gue melihat Indra
berjalan agak tertatih di belakang gue.
"udah sejak tiga hari yg lalu, gue kecelakaan
kerja di pabrik. kebentur mesin gitu."
"ya udah gue aja yg bawa motornya," gue
berjalan ke tempat parkir.
"motor lo mana Dul?"
"tuh yg Sup*a item. gue lagi pake punya cewek
gue. motor gue lagi turun mesin di bengkel kemaren."
dan berangkatlah kami berdua menuju rumah sakit
tempat Echi dilarikan.
saat itu fajar baru menyingsing tapi gue abaikan
rasa dingin yg menusuk sekujur tulang dalam tubuh.
kami memacu menembus kabut yg memang masih kerap
muncul di pagi hari di karawang.
gue nggak peduli. seperti yg gue bilang semalam
pada Echi, gue akan lakukan apapun untuknya...
-----ahh.....
rasanya sangat sakit.
teramat sangat sakit melihat tubuhnya terkapar tak
berdaya. dengan nafas masih tercekat di kerongkongan
gue cuma bisa terdiam merelakan mobil ambulans yg
membawa tubuhnya berlalu dari tempat ini.
"sabar yah Ri..." Indra menepuk bahu gue
pelan.
"gue tau yg lo rasain saat ini." entah
sudah berapa lama gue menangis.
waktu berjalan sangat lambat.pagi tadi, gue datang
saat tim dokter menyatakan menyerah.
pendarahan di kepala Echi begitu hebat
sehingga nyawanya tidak tertolong lagi.
keluarga Echi memutuskan untuk memakamkan jasadnya
di kota kelahirannya Surabaya.
nggak perlu bertanya bagaimana rasanya kehilangan
orang yg kita sayang dengan begitu tiba-tiba.
samasekali nggak pernah terfikir tentang
kepergiannya ini.
gue dan Echi sedang dalam hubungan yg harmonis dan
mulai membicarakan hal serius tentang hubungan kami.
tapi kini semua itu tinggal lalu.
menyisakan setitik perih yg mengendap di hati.
menurut info yg gue dapat, Echi mengalami
kecelakaan naas itu sekitar jam delapan malam.
"nggak mungkin!" gue masih mencari titik
lemah kenyataan di hadapan gue.
"semalem itu Echi ke sini. gue dan dia berdiri
di sini! kita malah pelukan gitu!" gue menunjuk tembok beranda dimana
semalam gue yakin gue berdiri di samping Echi.
"Ri, Echi itu ketabrak jam delapan. terus
dilarikan ke rumah sakit jam setengah sembilan.. kan lo liat sendiri jam
masuknya tadi." Indra mencoba menjelaskan.
"terus kalo gitu yg semalem ngobrol sama gue
siapa Ndra??" suara gue meninggi diiringi airmata yg jatuh.
"yg gue peluk itu siapa??? lo mau bilang kalo
itu setan lagi?!!"
Indra diam.
dia nggak berani mengkonfrontir gue.
dia lagi-lagi menepuk bahu gue mencoba menenangkan
emosi yg tengah mengurung gue.
"gue tau lo sayang banget sama Echi, dia juga
sayang sama lo. dia selalu cerita ke gue kalo dia tuh pengen lo jadi yg
terakhir buatnya." Indra diam.
gue masih sesenggukan menangis.
"gue nggak bilang yg semalem itu setan atau
apa lah itu..tapi gue yakin, kehadiran Echi waktu itu karena dia pengen ada di
samping lo menjelang saat terakhirnya. mungkin itu semacam ucapan perpisahan
buat lo."
sms itu! gue ingat sms terakhir dari Echi.
segera gue cek hp.
tapi gue terhenyak, karena tadi pagi gue menghapus
semua inbox di hp gue.
dan dalam terapi kejut itu, mendadak gue rasa
semuanya menjadi gelap...
*A1
*mulai ngantuk aye
Sk2h
Part 11
N 6689 M
gue pandangi coretan di kertas kecil di tangan
gue.
sudah dua hari ini gue sering menatap
berlama-lama deretan angka itu meski tanpa hasil apapun.
dua hari yg lalu saat gue ke kantor Polsek gue
mendapat informasi tentang identitas pelaku tabrak lari Echi. salahsatu saksi
berhasil menghafal
plat nomor sepeda motor yg melarikan diri
itu.sebuah sepeda motor Me*a P*o berplat nomor N
6689 M.
untuk identitas pelakunya, sayang belum ada
kejelasan karena saat kejadian si pelaku menggunakan helm full face dan jaket
kulit serta celana jeans hitam sehingga cukup menutup ciri-ciri fisiknya.
yg pasti dia memiliki tinggi badan se Indra lah..
lumayan tinggi. pihak Polisi sedang melacak
keberadaan kendaraan asal kota Malang itu (huruf N adalah kode nopol Malang).
hal ini juga menjadi ironi sendiri buat gue.
dimanapun gue berada, setiap gue melihat sepeda
motor melintas gue jadi selalu tertarik untuk memperhatikan plat nomornya.
siapa tau si pelaku kebetulan lewat di depan gue,
kan bisa langsung gue hajar tuh orang.
tapi gue jadi nggak tenang. gue selalu merasa si
pelaku bisa muncul kapan saja, maka sekali gue lengah gue akan kehilangan dia.
dan sore ini gue duduk di tembok balkon kamar gue
memandang kendaraan yg lalu lalang di bawah.
entah sudah berapa ratus kali gue membaca plat
nomor kendaraan yg gw lihat sejak mendapatkan informasi dari Polisi.
"berdoa aja semoga si pelaku lewat terus nyapa
lo," kata Indra yg tiba-tiba muncul di belakang gue sambil menenteng
gitar.
gue tersenyum kecut.
"ayolah bro...almarhum Echi udah tenang di
sana. jangan bikin dia sedih dengan tangisan kita," Indra coba menghibur.
"lo nggak tau sih gimana rasanya.." sahut
gue lirih tanpa menoleh ke arahnya.
"oke gue gak tau gimana rasanya kehilangan
pacar dg cara seperti ini, tapi gue tau rasanya kehilangan sahabat," Indra
duduk di sisi lain tembok.
"waktu sekolah dulu gue emang nggak terlalu
deket sama Echi, malah lebih cocok disebut Tom and Jerry daripada sahabat. tapi
gue beruntung sekolah di Surabaya, gue jadi kenal sama dia."
"emang lo aslinya darimana?"
"gue lahir dan tumbuh di Sidoarjo. tapi pas
SMA gue ikut Pakde gue di Surabaya sampe lulus kuliah, baru kerja di
sini."
"wah selama ini gue kira lo arek-arek Surabaya
asli."
"weleh weleh...koe nang endi wae toh
le...le...." dia geleng kepala lalu tertawa.
"kaki lo gimana, udah sembuh?"
"yaah lumayan lah udah bisa lari sedikit
sedikit."gue kembali diam melamun.
pikiran gue menerawang membayangkan Echi lagi. ah,
betapa sakitnya rasa ini.
gue akan membalasnya Chi, begitu gue ketemu pelaku
tabrakan itu, gue akan membalaskannya! gue bersumpah gue akan buat perhitungan
dengan dia!!
bukankah hutang nyawa harus dibayar nyawa juga???
"kadang nggak semua pembunuh itu dihukum
mati," kata Indra seolah bisa membaca yg ada di pikiran gue saat ini.
"hutang nyawa memang layak dibalas nyawa, tapi
bukan kita yg pantas membalasnya. ada yg lebih berwenang menentukan balasan yg
tepat. kalau dirasa balasan dari lembaga hukum kurang memuaskan, kita selalu
punya Tuhan sebagai harapan. Dia yg tau segalanya." gue diam mendengarkan
advice nya itu. kalau saja bukan seorang sahabat baik yg bicara, sudah pasti
gue akan tolak mentah-mentah paradigma nya tentang hukuman Tuhan.
gue yakin sore ini akan jadi debat yg menyenangkan.
tapi gue menghormati Indra. pikiran gue lagi keruh,
gue nggak mau menambah keruh lagi dengan debat kusir yg sia-sia.
dua minggu sudah berlalu sejak kecelakaan naas itu.
dan Indra kerap men support gue supaya cepat bangkit dari keterpurukan karena
kehilangan Echi.
gue tau dia pasti iba melihat gue yg akhir-akhir
ini jadi pemurung.
he's my best friend.
thanks guys gue nggak tau apa jadinya gue tanpa
elo, mungkin gue udah nyusul Echi kali yaa...
"pinjem pick punya elo dong Ri," suara
Indra membuyarkan lamunan gue.
"lah..bukannya lo punya pick kesayangan yg
selalu lo bawa kemana-mana itu?"I ndra memang punya sebuah pick
bertandatangan Ahmad Dhani personil grup band Dewa19.
pick itu didapatnya waktu masih aktif di fans club
nya Dewa19 semasa kuliah dulu. sekedar info, Indra memang fans berat sama grup
band itu.
"gue lupa naro dimana. lo punya kan? gue nggak
biasa gitaran pake jari doang."
gue merogoh saku jeans dan mengeluarkan sebuah pick
berwarna orange.
pick murahan yg gue beli di toko pinggir
jalan. Indra mengambilnya dan kemudian mulai
memetik gitar di tangannya.
gue pikir gue akan menghabiskan sore itu dengan
mendengarkan Indra bernyanyi, tapi kami sama-sama terdiam saat mendengar suara
itu.
"suara cewek nangis!" kata Indra.
"dari kamar itu," gue menunjuk kamar seberang.
kamar wanita berkaos kaki hitam..
suaranya jelas. bukan hanya desiran angin, tapi
benar-benar nyata seperti yg pernah gue dengar.
gue beranikan diri mendekat dan mengetuk pintunya.
"Ri, itu..." Indra menunjuk bawah kaki
gue.dari celah sempit di bawah pintu kamar, ada sesuatu keluar mengalir.
cairan berwarna merah. merah pekat dan kental...
DARAH.....!!
Sepasang kaos kaki
hitam
Part 12
.
"heyy...apa yg terjadi? lo baik-baik aja
kan?!" gue gedor pintunya berkali-kali. "buka pintunya!" panik.
berapa kali pun gue memutar handle pintu itu
bergeming.
tidak ada respon dari orang di dalam. hanya
suara tangisnya yg kini lenyap.
"minggir.." Indra memasang kuda-kuda.
gue menepi dan kemudian dia menghempaskan
tubuhnya ke pintu berusaha mendobraknya.
"aaaaarrggggh..."
suara Indra terdengar miris.
dia terhuyung mundur sambil pegangi kaki kanannya
yg kesakitan akibat benturan tadi.
"ah lo belagak di film laga aja,"
komentar gue.
aneh memang di saat seperti ini gue pengen
ketawa.cairan merah di bawah pintu masih menjalar sampai nyaris menyentuh ujung
kaki gue. gue gedor lagi pintunya.
tetap tidak ada jawaban.
"bongkar aja jendelanya," Indra
mengusulkan.
"nih ambil obengnya di bagasi motor gue."
dengan gelagapan gue menangkap kunci yg dilemparnya.
bergegas gue turuni tangga menuju tempat parkir di
bawah. bukan tempat parkir khusus memang, hanya halaman kosong yg cukup luas di
depan bangunan kamar-kamar ini.
"lagi ngapain lo Ri sama motor gue?"
seorang penghuni kamar di bawah muncul ketika gue bersikeras memutar kunci
bagasi salahsatu motor di sana.
"gue mau ambil obeng punya Indra, tapi kok
nggak kebuka-buka ya dari tadi?" gue sedikit menggerutu.
"jelas nggak bisa. itu kan R* King gue? punya
Indra mah yg itu tuh, yg plat nya 'W'."
"upz, sorry bos. gue buru-buru
soalnya."dan semenit kemudian gue sudah berlari lagi menaiki tangga menuju
lantai atas.
sempat terpeleset dua kali, gue tiba di sana tepat
sesaat setelah Indra terhuyung lagi.
rupanya dia masih berusaha mendobrak pintu.
"minggir," giliran gue yg beraksi.
dengan cekatan gue berhasil melepas engsel jendela
kurang dari dua menit.
jantung gue berdebar menebak-nebak apa yg akan gue
lihat di balik jendela ini.
ada sebuah gorden warna merah terpasang di lubang
jendela. bersama Indra gue turunkan daun jendela dan menyandarkannya ke tembok.
"lo aja yg masuk, gue nggak bisa lompat,"
kata Indra.nggak butuh instruksi yg ke dua kali buat gue menyibak gorden merah
itu dan bau amis langsung menyeruak menusuk hidung. gue sibakkan lebih lebar
sementara mata gue terperangah menatap pemandangan di dalam ruang kecil
berukuran nggak lebih dari 4x4 meter itu.
sebuah ruangan dengan pencahayaan redup dari bohlam
kuning yg kusam yg tergantung di atap.
keadaannya nyaris gelap dan gue harus memicingkan
mata supaya bisa melihat lebih jelas.
sampai akhirnya mata gue bisa beradaptasi dengan
kegelapan di dalam sana tangan gue meraba pintu dan membuka gerendelnya.
Gue dan Indra segera masuk ke kamar pengap itu.
yg pertama menarik perhatian gue adalah bercak
darah di depan pintu, yg tadi mengalir keluar lewat celah sempitnya. nampak
seperti bekas diseret dan tetesan-tetesannya menitik menuju ruangan yg lebih
kecil di sana, kamar mandi.
gue dan Indra saling pandang. rasanya kali ini
pikiran kami sejalan.
maka buru-buru kami buka pintu kamar mandi dan.....
baru kali ini gue melihatnya!!
perempuan itu setengah bersandar pada bak mandi
kecil di sana.
dia mengenakan pakaian lengkap plus kaos kaki
merah, ups itu bukan kaos kaki merah.
itu darah!!
darah yg mengalir deras hampir menutupi kedua
betisnya.
kedua telapak tangan perempuan ini juga bersimbah
darah.
dan di samping tubuhnya ada sebuah belati kecil
berlumuran cairan merah.
gue nyaris muntah melihat ini semua.
tubuh gue bergetar lebih cepat dari detakan jantung
gue.
penampilan perempuan itu sangat mengenaskan.
dengan sebagian rambut panjangnya yg menutupi
wajah, gue masih bisa mendengar dia terisak pelan menahan sakit.
"gotong dia keluar," kata Indra.baru saja
gue hendak meraih punggungnya ketika tiba-tiba dia mengambil belati dan
mengacungkannya tepat di wajah gue.
"jangan sentuh gue!!" teriaknya parau.
melengking dan tercekat.
mengerikan untuk didengar.
gue diam.
Indra juga diam.
menunggu apa yg mungkin terjadi.
"keluar kalian!" teriaknya lagi tetap
dengan pisau yg teracung di wajah gue.
"tenang Mbak...kita nggak ada maksud apa-apa
kok," gue coba berdiplomasi.
"kalian brengsek!! kalian sama aja dengan
mereka!!" dia menangis. lebih kencang.
sambil tangan yg memegang belati dipukul-pukulkan
ke dinding bak mandi.
ada kengerian sendiri saat mendengar tiap helaan
nafas yg dia lakukan.
"lebih baik kalian pergi..." suaranya
lebih rendah sekarang.
gue dan Indra saling pandang.
lalu seolah dikomando, gue cekal pergelangan tangannya
dan sebisa mungkin gue lepas belati di genggamannya.
bunyinya bergemerincing saat mata pisau beradu
dengan lantai.
perempuan itu sempat memberontak tapi tenaganya yg
lemah menjadi sia-sia melawan kami.
dengan kaki dan tangan yg masih kejang-kejang
memberontak dia berusaha melepaskan diri.
untung tangan gue berhasil menutup mulutnya
mencegah dia berteriak menarik perhatian yg lain.
"bawa ke kamar gue dulu," kata Indra.
"biar nggak memancing keributan." dan
walau susah payah beberapa saat kemudian kami berhasil memindahkannya ke atas
kasur di kamar Indra..
*A1
Sepasang kaos kaki
hitam
Part 13
.
"DIAM!!!" sebuah tamparan mendarat di
pipi kiri wanita itu.
seketika dia berhenti memberontak.
dengan cukup terkejut gue menatap bergantian
Indra dan wanita itu.
gue nggak nyangka Indra akan melakukan hal itu,
menampar si wanita.
"gue mau nolong lo...please lo jangan
berontak terus," suara Indra terdengar bergetar.
wanita itu diam.
nafasnya terengah-engah.
saat ini seprai kasur Indra yg berwarna putih sudah
nyaris ber metamorfosa jadi warna merah gara-gara darah yg terus mengucur dari
kaki si wanita ini.
"Ri, lo lap dulu lukanya. gue bikin perban
deh," Indra bergegas membuka lemari baju dan mulai menggunting di bagian
depan dan belakang baju yg dia ambil.
"sorry," gue pegang kaki wanita itu dan
mulai menyeka darah dari kakinya dengan secarik kaos yg diberikan Indra tadi.
lukanya cukup dalam.
meski sekarang darah yg mengucur nggak sebanyak di
awal tadi.
wanita itu meringis kesakitan saat gue menyentuh lukanya.
and did you know? yg bikin gue merinding bukan
darahnya, tapi bekas luka yg ada di sekujur kaki wanita itu, memaksa gue
menelan ludah menahan ngeri.
banyak sekali luka sayatan di sana, mulai dari paha
sampai telapak kaki!!
kebanyakan luka lama yg membekas dan belum
sepenuhnya menutup, dan ada tiga luka baru yg gw lihat masih mengucurkan darah.
rupanya luka inilah yg membuat kami mandi darah
hari ini.
saat itu si wanita mengenakan celana jeans pendek
biru, tapi sekarang sudah nyaris menjadi merah juga.
dan gue bener-bener shock nyaris pingsan melihat
semua goresan luka sayat di kaki wanita itu.
apa yg sebenarnya terjadi??
kenapa bisa begitu banyak luka??
siapa yg melakukan ini padanya???
percobaan pembunuhan kah??
atau bunuh diri??
karena di kamar tadi nggak ada orang lain selain
wanita itu.
aah, pertanyaan-pertanyaan gila ini mendadak
memenuhi ruang kecil di otak gue yg nyaris saja pecah menerima kengerian di
depan gue.
seumur hidup baru kali ini gue mengalami yg seperti
ini!!
dengan beberapa potongan panjang kain dari kaos yg
diguntingnya, Indra membalut betis wanita itu.
gue sendiri berinisiatif mengelap darah dari tangan
si wanita. dia nampaknya sudah lebih menguasai diri sekarang.
dia masih menangis pelan.
dari wajahnya gue bisa melihat ada penderitaan yg
teramat dalam di sana.
entah apa itu, mungkin sesuatu yg sangat sulit
untuk dihadapi.
wanita berkaos kaki hitam....
kali ini tanpa kaos kaki hitamnya.
tunggu, apa dia memakai stocking panjang itu untuk
menutupi luka-luka di kakinya??
kalau dilihat dari bekasnya, luka-luka itu jelas
adalah luka yg dibuat beberapa waktu yg lalu. cukup lama.
berarti, apa mungkin dia sendiri yg membuatnya?
tapi untuk apa dia melukai dirinya sendiri??
bukankah itu menyakitkan??
apa tujuannya melakukan hal itu??
huuffftt......gue sandarkan punggung ke dinding.
hanya bisa menatap wanita yg tergeletak lemah di atas kasur.
mungkin dia tertidur.
Indra sudah selesai membalut dan dia baru keluar
dari kamar mandi setelah mencuci bekas darah di tangannya.
"buruan mandi, kita akan bawa dia ke rumah
sakit," kata Indra.
"jangan...." wanita itu berkata lirih.
"jangan bawa gue ke rumah sakit. jangan bawa
gue ke sana.."
"eh, cewek aneh. lo itu mengalami luka serius.
lo butuh pertolongan yg layak."
"nama gue Mevally, bukan cewek aneh."
Mevally..........akhirnya gue tau namanya.
"oke lah siapapun nama elo, kita harus ke
rumah sakit. H-A-R-U-S!!"
"gue nggak apa-apa!" Mevally mencoba
bangkit dan duduk.
"nggak apa-apa lo bilang??" Indra
kernyitkan dahi.
"mandi darah gitu lo bilang nggak apa-apa???
lo nggak ngerasain sakit apa??! gue yg liatnya aja ngeri!"
"gue nggak apa-apa! gue udah biasa!" Meva
bersikeras menolak.
hey..apa maksudnya udah biasa?? apa wanita ini
benar-benar gila untuk melukai dirinya sendiri??!
"terus, lo pikir lo hebat gitu?? dengan semua
luka di kedua kaki lo, lo pikir lo cewek keren?? lo anak Banten yah?"
Indra mencibir.
Meva menangis lagi sambil terduduk.
gue yg sejak tadi diam mendengarkan jadi iba
dengannya.
pasti beban di pikirannya sudah melebihi batas yg
sewajarnya.
ada semacam guncangan hebat yg menerpa dirinya gue
yakin.gue
geleng kepala melihat penampilan cewek yg satu ini.
sangat acak-acakan.
dengan rambut basah oleh keringat dia nampak
semakin berantakan.
"ya udah kalo gitu lo tidur aja dulu,"
gue angkat bicara.
"jangan nangis aja."gue ambilkan segelas
air dan menyerahkannya ke Meva.
dia memegangnya dengan bergetar.
"minum," kata gue.dia menurut.
"makasih," ujarnya pelan seraya
mengembalikan gelas ke gue.
"lo tiduran aja dulu, jangan banyak
gerak." gue membimbingnya merebahkan badan di kasur.
gue sandarkan lagi punggung gue ke dinding.
memandang kosong sosok wanita yg tertidur di depan
gue.
hari ini seperti mimpi.
dari dulu gue memang pengen tau tentang wanita ini.
tapi bukan dengan cara semacam ini.
entahlah, gue harus bersyukur
atau apa.
wanita berkaos kaki hitam.
dia memang wanita yg misterius......
*A1.
SK2H
Part 14
"Ri...bangun Ri....." sebuah tepukan
di bahu membangunkan gue.
"ikut gue."kepala gue mendadak pening.
gue baru saja tertidur selama beberapa menit. tidur sebentar selalu nggak baik
buat gue.
perlahan gue bangkit dan mengikuti Indra ke
tembok balkon. bahkan saat itu gue nggak menyadari pakaian gue masih belepotan
darah wanita itu.
"kita harus bereskan ini sebelum yg lain
tau," kata Indra melirik percikan darah yg
menghubungkan dua pintu kamar.
"gimana sama si Meva? kita perlu bawa dia ke
rumah sakit."
"enggak. lo tau sendiri kan dia ngotot nolak
ke rumah sakit? biar gue minta dokter kenalan gue ke sini. makanya gue butuh
bantuan lo. lo beresin kamernya sementara gue jalan yaa?" gue mengangguk.
dan lima menit kemudian mulailah gue membersihkan
noda darah di lantai sekitar pintu.
"gue nggak lama kok. magrib juga balik,"
kata Indra sambil lalu. langkah kakinya menuruni tangga terdengar semakin
menjauh.
hufft....gue berdiri mematung menatap pintu kamar
Meva. saat berjalan masuk ke sana bau amis langsung menyeruak. bau darah. gue
memutar kepala menyapu pandangan ke semua sudut kamar.hati gue mencelos ketika
gue sadar banyak darah di kamar ini. terlalu banyak darah!
bekas darah yg mengering di lantai dan tembok.
O my gosh!! pantas saja wanita itu jarang terlihat
di sini. dia menjadikan kamar ini hanya semacam laboratorium praktek atau entah
apa namanya. hanya ada sebuah rak buku kecil di dalam sini. padahal
buku-bukunya sendiri berserakan di lantai.dan beberapa pasang stoking
hitam.........
"tempat macam apa ini???" gerutu gue
dalam hati.gue mendekat ke dinding kamar dekat pintu.
jejak tangan berlumur darah membekas jelas dengan
beberapa tetes yg baru saja menempel di sana. bahkan sidik jari wanita itu
nampak jelas di dinding bercat putih ini.melihat semua ini maka nggak butuh
waktu lama buat gue sepakat dengan hati gue bahwa Mevally, wanita berkaos kaki
hitam itu memang gila! ada semacam gangguan jiwa gue yakin itu.sambil berharap
kamar yg sedang gue tempati ini belum jadi lokasi pembunuhan berantai gue
bersihkan bekas darah di lantai.
beberapa kali gue mengalami kesulitan dengan bercak
kering di tembok sebelum gue putuskan menyerah. biar nanti tembok ini dicat
ulang untuk menghilangkan bekas darahnya.lantai sudah gue pel dan buku-buku itu
bertumpuk di tempat yg semestinya. kaos kaki hitam wanita itu gue bawa ke kamar
Indra. gue yakin dia akan butuh ini nanti. Indra datang saat matahari sudah
benar-benar terbenam.
dia bersama seorang lelaki paro baya yg kemudian
gue kenali adalah Dokter Yusuf.
"dia menderita non-suicidal self injury,"
kata Pak Dokter saat kami bertiga keluar dari kamar.
dia baru saja melihat keadaan Meva.
"apaan tuh Dok?" gue bingung.
"kalo dilihat dari bekas luka-luka yg ada, itu
adalah bekas luka yg sengaja dia buat sendiri," Dr. Yusuf coba
menjelaskan.gue merinding sendiri mendengarnya.
"orang bodoh mana yg mau melukai dirinya
sendiri??" gue masih sulit mempercayai yg gue dengar barusan.
"apa enaknya ngelakuin kayak gitu,
nyobek-nyobek kulit tubuh?!"
"itulah yg saya maksud. non-suicidal self
injury atau biasa disebut self injury saja, adalah penghancuran disengaja
diskrit jaringan tubuh tanpa maksud bunuh diri," nampaknya Dr. Yusuf
mencari bahasa yg mudah gue mengerti. gue dan Indra memperhatikan dengan
ekspresi ngeri.
"kita coba untuk menghancurkan tubuh kita,
tapi kita nggak bermaksud untuk bunuh diri. beberapa perilaku menyimpang ini
seperti memotong, membakar dan ukiran kulit untuk mematahkan tulang, atau
menempelkan pin dan jarum pada bagian tertentu tubuh kita. biasanya tangan dan
kaki jadi sasaran empuk penderita ini melampiaskan keinginannya."nafas gue
seperti tertahan di kerongkongan.
bulu kuduk gue mendadak berdiri.
"saya baru denger ada yg kayak gitu Dok,"
komentar Indra.
"kok bisa...punya hobi ngelukain diri
sendiri?" gue mendukung pernyataan Indra.
"dia gila tingkat tinggi ya?"
Dr. Yusuf menggeleng.
"penderita self injury ini normal. samasekali
nggak menderita kegilaan."
"tapi kenapa bisa kayak gitu??"
"mereka melakukan self injury saat pikiran
mereka kalut, takut, pusing atau semacamnya yg sifatnya berlebihan. karena
menurut mereka, dengan cara ekstrim seperti itu bisa menenangkan mereka dan
membawa rasa lega. mereka menggunakan self injury untuk mencoba merasa lebih
baik dalam jangka pendek."
gue dan Indra terdiam. kami hanya saling pandang
keheranan takjub, aneh dan tentu saja ngeri mendengar penjelasan tadi!!
"terus..kami mesti gimana Dok?" tanya
gue.
"lebih baik bicarakan dengan psikiater, karena
ini bukan soal medis belaka, faktor psikis lebih berperan dalam hal ini."
gue benar-benar shock! kegilaan apa ini?? mana ada
orang yg mau melukai dirinya sendiri?? hanya orang-orang bodoh yg nggak
mensyukuri hidup.
huuffftt.....gue terduduk di kursi depan kamar.
sambil mencoba membayangkan rasa sakit akibat melukai diri sendiri, diam-diam
gue justru merasa lebih baik kalau wanita itu adalah hantu...
Sk2h
Part 15
"jadi gimana nih selanjutnya?" tanya
gue ke Indra sambil menatap tumpukan obat yg tadi diberikan dokter.
Indra diam sebentar.
"kita tunggu dia bangun dulu, baru kita
bicarakan baik-baik apa yg harus kita lakukan." jawabnya.
potongan kain di kedua kakinya sudah diganti
dengan perban oleh dr. Yusuf.
wanita berkaos kaki hitam itu kini jadi wanita
"berkaos kaki" putih.
dalam hati gue sendiri
nggak pernah menyangka kaos kaki hitam yg dipakainya ternyata untuk menutupi
bekas-bekas luka yg dibuatnya sendiri.
muncul rasa iba sekaligus takut melihat sosok
wanita yg sekarang sedang tertidur di kasur.
gue melangkah keluar kamar menuju tembok balkon
favorit gue.
haah...betapa tadi gue masih meratapi kesedihan
karena kehilangan Eci dan beberapa jam terakhir pikiran gue tersedot ke wanita
berkelainan jiwa bernama Mevally.
sekarang waktunya gue mengistirahatkan otak gue.
gue duduk di kursi kecil depan kamar yg gue taroh
di sudut tembok balkon.
sambil menjulurkan kaki gue coba pejamkan mata.
menikmati heningnya malam yg sejuk ini.
"Ri," belum juga lima detik gue pejamkan
mata suara Indra terdengar memanggil di sebelah kiri gue berada.
"apa?" gue menoleh.
"gue mau buang pakaian bekas tadi,"
katanya mengangkat sebuah kantong hitam berisi pakaian berlumur darah yg tadi
kami pakai sebelum mandi.
"sekalian beli nasi goreng. lo mau
nitip?"
"boleh tuh."sial, begitu tersedotnya
pikiran gue sampai-sampai gue lupa sejak siang tadi gue belum mengisi perut.
"pedes nggak? telornya dicampur apa
dipisah?" tanya Indra lagi.
"pedes tapi telornya dipisah." itu adalah
menu favorit gue kalau makan nasi goreng. ternyata Indra masih belum hafal juga
padahal gue sering nitip beli nasi goreng ke dia.
"ya udah tolong lo jagain cewek ini
yah.." lanjut Indra lalu melangkah menuruni tangga. suara sandalnya beradu
dengan lantai keramik terdengar seperti sebuah irama yg memecah keheningan
malam ini.heyy...
kok gue baru sadar yaa malam ini sepi banget nih
kosan? pada kemana para penghuni kamar yg biasanya begitu berisik dengan
lagu-lagu dari speaker mereka? sekarang malah suara jangkrik yg bersahutan
menyanyikan senandung mereka.dan
tiba-tiba gue melihatnya! Echi!
dia berdiri di depan tempat gue duduk!!aah..itu di
dalam pikiran gue aja. ketika gue buka kedua mata gue, nggak ada siapapun di
sana. hanya sebuah kekosongan yg begitu hampa. sama dengan yg gue rasakan
sekarang dalam hati gue.sangat menyakitkan rasanya mendapati kenyataan orang yg
kita cintai harus direnggut dengan cara yg begitu tragis. kadang gue menerka
seperti apa wajah
"malaikat pencabut nyawa" yg sudah membuat
gue merasakan sakit yg sangat ini. dan jantung gue selalu berdegup kencang
tanda emosi gue naik setiap mencoba menerka hal itu.gue menarik nafas berat.
ah, rasanya nafas gue selalu berat setelah kehilangan Echi. entah apa yg harus
gue katakan buat menggambarkan sakit ini.gue hanya diam membiarkan otak gue
bermain dengan bayangan-bayangan yg berkelebat nggak jelas. entah sudah berapa
lama gue terdiam saat sebuah suara membawa gue ke alam sadar.
"woii...malah molor di depan kamer!"
suara Indra mengagetkan gue.
"eh, lo udah balik Dul. kok gue nggak denger
suara lo ya?"
"orang tidur mana bisa denger suara?"
Indra tertawa.dia menarik kursi dari depan kamar nomor 21 dan menyeretnya ke
dekat gue.
"laper banget nih gue," katanya.
"kok elo beli tiga bungkus? lo mau makan
dua?" tanya gue melihat jumlah bungkusan nasi di kantong di tangan Indra.
"gue beliin buat cewek itu. kasian dia juga
laper gue yakin."kami mulai menyantap nasi di tangan kami. ah, akhirnya
perut gue terisi juga..rasanya seperti dua tahun kelaparan! (lebay...lebay....)
"udah jam sepuluh nih," gue mengecek jam
di hp.
"tuh cewek belum bangun juga, dan gue yakin
nggak akan bangun sampe besok pagi. jadi gimana?"
"kita tidur aja deh. besok gue kan shif
pagi."
"ya udah gue duluan yaa," gue buka pintu
kamar gue.
"eeh...mau kemana lo?" Indra menarik
leher kaos gue.
"kan lo bilang kita tidur dul??" protes
gue."tidur dimane lo?"
"ya di kamer gue laah. masa di kamer
lo?!"
"ide bagus. lo tidur di kamer gue."
"lho, kok gitu? kan ada si Meva di sana? lo
mau temen lo ini diperkosa sama tuh cewek??"
"aje gile! otak lo isinya bokep mulu!"
Indra menepuk jidat gue.
"tenang aja lo nggak akan diperkosa sama dia.
paling juga kepala lo dikuliti pake silet pencukur jenggot!"
"ogah ah! gue tidur di kamer gue!"
"ya udin gue ikut."
"dari tadi kek bilang lo numpang di kamer gue
gitu..kan nggak perlu debat nggak penting."
"yaah...penting nggak penting serah lo aja
dah."dan kami mulai mencari tempat yg nyaman untuk mengirim kami ke alam
mimpi.
"eh, pintu kamer gue belum ditutup." kata
Indra.
"ya udah tutup sana."
"lo aja deh yg nutup."dengan terpaksa
akhirnya gue beranjak keluar hendak menutup pintu kamar Indra. wanita itu masih
tertidur di sana.
gue sempatkan memandang wajahnya sesaat.
hmm...manis juga sebenarnya. dan wajah itu pun menghilang tertutup daun pintu
yg gue tutup.
*A1
Sepasang kaos kaki
hitam
Part 16
"HUUAA.....JAM SETENGAH SEMBILAAN!!"
setengah berteriak gue bangun dan menatap jam dinding.
"berisik. gue juga tau," kata Indra
dengan santai sambil kucek-kucek mata.
"lo kok nggak bangunin gue dul?"
"nih, lo liat gue juga masih ileran
noh.." dia menunjuk mulutnya.
"gue juga baru bangun."gue pandangi
lagi jam dinding. berharap dengan begitu jarum-jarumnya akan berputar mundur.
tapi gue tau itu nggak mungkin.
hari ini pertama kalinya gue bangun kesiangan di
hari kerja.
"santai aja lah nggak usah dibikin
panik," kata Indra lagi. dia rebahkan diri di kasur.
"busett..kesiangan gini malah nyantai?!"
"terus mau ngapain? maksain berangkat?
kebayang nggak gimana bos lo bakal ngomelin plus maki-maki lo gara-gara dateng
terlambat dua jam?" gue diam.
sepertinya gue mendapat pembenaran dari statement
Indra.
"so?" tanya gue pelan.
"tidur lagi."
gue diam lagi. masih memikirkan mana yg lebih
baik..
memaksakan berangkat dan mendapat 'kopi anget' dari
bos yg galak atau melanjutkan tidur seperti kata Indra.
menganggap hari ini adalah hari kemerdekaan
sehingga sekolah diliburkan.
"ngapain puyeng-puyeng? tinggal bilang aja
kalo kita sakit. beres kan?"
"sakit kan mesti ada surat keterangan dari
dokternya?"
"halaaah...gampang itu mah. bayar sepuluh rebu
juga dapet kertas gituan mah."
gue masih berpikir.
"kelamaan mikir lo," kata Indra.
"udah lo tau beres aja. entar sore gue bikinin
surat sakit buat elo."
"serius lo dul?"
"dua rius, empat, lima, serebu rius gue jamin
deh!" dia tertawa lebar.
"asli nggak nih? gue kan nggak pernah bolos
gawe. gue nggak pengalaman kayak gituan."
Indra mengacungkan jempol tangannya.
"tenang aja," katanya.
dan terbujuk kata-kata Indra akhirnya gue rebahan lagi
di kasur.
terlanjur kesiangan Ri, ngapain berangkat?
kira-kira kalimat itu yg menghibur gue dari kegalauan. maklum aja, selama enam
bulan ini absen gue di kantor sangat baik.
baru kali ini gue nggak masuk.
"eh, gimana sama si cewek itu?" mendadak
gue ingat Mevally.
"mana gue tau? kan tadi gue udah bilang gue
baru bangun. lo coba cek deh ke kamer gue, jangan-jangan dia kabur."
"kenapa sih kalo bagian yg kayak gitu pasti
gue yg kena?"
"yaelaah.....timbang ngecek doang jual mahal
amat lo? kagak ada pahalanya pisan."
"lo deh yg liat."
"ya udah anggep aja tuh cewek masih ada di
kamer gue. beres kan?"
"ah, elo mah suka ngegampangin masalah."
"lha, daripada gue bikin susah? pilih yg mana
hayoo??"
gue mendengus kasar.
"iya..iya...gue yg ngecek."
gue lalu beranjak keluar menuju kamar sebelah.
pintunya masih tertutup. dengan pelan gue buka
pintu dan mendapati wanita itu sedang duduk bersandar ke dinding kamar.
sebagian rambutnya menutupi wajahnya dengan mata terpejam.
"hey, met pagii..." gue coba
menyapanya.hening.
nggak ada jawaban.
padahal gue yakin dia mendengar suara gue.
"met pagii Va.." gue ulangi salam gue.
matanya terbuka. dan dia menatap gue.
cuma ada kengerian sendiri melihat tatapannya.
gue tunggu dia menjawab salam gue.
"kok nggak jawab salam gue?" gue masih
pura-pura menganggap dia nggak mendengar suara gue tadi.
"met pagi..."
senyum di wajah gue hilang mendapati kamar tetap
hening.
wanita itu belum mau mengucapkan sepatah kata pun.
hanya sebuah tatapan tajam yg nyaris menusuk
menembus kepala gue.
"bangun jam berapa tadi?"
gue masih sok ramah. malah sekarang gue duduk di
tepi kasur.
sh*t !wanita ini masih membisu !
"sabar Ri...sabar......" gue dalam
hati.gue alihkan pandangan dari matanya. aneh memang ditatap dengan cara
seperti itu.
sambil berjaga-jaga siapa tau wanita ini melakukan
hal ekstrim, gue mengajaknya bicara lagi.
"lo laper nggak? dari kemaren belum makan
kan?" gue ingat nasi goreng semalam yg membusuk di pojok kamar gue.guys,
dia masih clep diem! cewek macem apa sih sebenernya dia???
"gue beliin sarapan ya? nasi atau
bubur?"aaaaarrrgggghh..!!! sumpah pengen banget gue getok kepala tuh
cewek! dia bener-bener nggak nanggepin gue yg udah cape ngomong?!
"ya udah gue beliin bubur aja ya," entah
kenapa mulut dan hati gue nggak kompak banget.gue bergegas ke kamar gue, cuci
muka lalu turun keluar ke warung nasi langganan gue.
biasanya di sana juga sekalian jual bubur. tapi
katanya buburnya udah habis jadi ya terpaksa gue jalan ke depan gang ke tempat
mangkal tukang bubur sop.
dari sana gue balik ke kamar membawa dua bungkus
nasi uduk buat gue dan Indra, serta sekantong kecil bubur sop buat cewek aneh
plus nyebelin itu.
"nih, silakan dimakan." gue menyodorkan
mangkuk berisi bubur dan segelas air dari dispenser.
"kalo udah makan, lo minum obatnya. nih
obatnya."
gue sodorkan bungkusan obat ke dekat mangkok.
"nggak perlu gue suapin kan?" canda
gue.sepi.
"ah, cape juga ngomong nggak diladenin! serah
lo deh!" gue kesal.
gue masuk ke kamar gue dan langsung melahap nasi
uduk tanpa sela, menghiraukan ekspresi keheranan Indra.
mending Ndra, lo cuma heran. gue nih cape plus
kesel daritadi ngomong nggak diladenin!!
"dasar cewek aneh!" omel gue dalam hati.
*A1
SK2H
Part 17
.
gue hirup rokok di tangan gue dalam-dalam.
"tumben-tumbenan lo ngudud Ri," Indra
berkomentar setengah mengejek.
siang itu gue dan Indra duduk-duduk di tembok
balkon menikmati 'bolos bersama' hari itu.
"lo pikir gue banci?" balas gue.
"eits..jangan salah lo, banci juga
ngudud."
"ngudud beneran atau apa nih? yg jelas dong
kalo ngomong."Indra tertawa lebar.
"itu mah hobi lo Ri."
"najis, ogah gue biar dibayar mahal
juga."
"jadi lo mau kalo nggak dibayar?"
giliran gue yg tertawa.
"nggak usah bahas masa lalu lo deh," kata
gue.
saat itulah pintu kamar Indra terbuka dan Meva
keluar berjalan agak tertatih.
perban di kedua kakinya pasti sudah membuatnya
tidak nyaman.
"mau ke mana lo?" Indra bertanya padanya.
"percuma nggak akan dijawab," kata gue
mengingatkan.
"mau ke kamer gue."
gue menoleh kaget. bercampur kesal gue rasa.
nggak salah nih cewek ngomong?
apa gue yg tadi salah denger yaa?
ah, kali aja tadi gue berhalusinasi seolah denger
dia ngomong.
"lo kebanyakan dosa sih.." Indra berbisik
lalu tekekeh geli.gue hanya mencibir pelan.
"butuh bantuan?" kata Indra lagi pada
Meva.
"nggak perlu, gue bisa sendiri," jawab
Meva tanpa menoleh ke arah kami.
beneran loh, cewek itu ngomong!
gue dan Indra saling pandang.
"padahal kalo sama gue dia nggak mau ngomong
loh," gue menggerutu kesal.
mata gue menatap lekat sosok wanita itu.
dia akhirnya sampai di depan kamar dan masuk ke
dalamnya.
"mumpung dia udah pergi, gue ganti seprai
kasur dulu deh." Indra bergegas menuju kamarnya dan sepuluh menit kemudian
dia sudah kembali lagi dengan gitar cokelat kesayangannya.
"kayaknya bulan ini gue tekor nih," katanya.
"mesti beli baju sama seprai baru. gara-gara
cewek itu." dia memonyongkan mulutnya ke arah pintu kamar Meva.
"tuh cewek pembawa sial kali yaa?"
"ssstt...jangan kenceng-kenceng entar dia
denger marah lho."
"iya gue pelanin deh suara gue," sengaja gue
keraskan volume suara gue.
Indra seperti membisikkan kalimat 'bego lu!' tapi
entahlah gue sendiri nggak yakin karena biasanya dia bilang 'goblok lu!'.
"kalo gue sendiri nggak mau men judge terlalu
dini soal cewek itu," kata Indra.
"yg gue pikirkan sekarang adalah apa yg harus
kita lakukan sama dia. biar kita nggak kena dampak dari kebiasaan anehnya. gue
yakin dia masih punya kemungkinan buat nyerang orang-orang di sekitarnya."
"tapi kan dia cuma melukai diri sendiri?
dokter sendiri yg bilang gitu kan?"
"ya sapa tau aja gitu. waspada bos,
waspada."
"kalo gue sih nggak takut dia akan nyerang
kita. yg gue takutkan gue nggak bisa nahan emosi gara-gara dicuekin sama
dia!"
"hahaha....itu mah tergantung elo nya aja,
kebanyakan dosa sih."
"gue masih punya stok pahala banyak, jadi
tenang aja."
"kalo dosanya lebih banyak ya percuma aja
lah," Indra nyengir lebar.
"eh, tapi dia nggak sepenuhnya cuek kok. tadi
gue ke kamer kan.. bubur sama obatnya udah dia makan tuh."
"baguslah. ternyata dia bisa laper juga
toh."
rokok di tangan gue habis. gue lempar asal-asalan
ke bawah.
"lo kasian nggak sih sama si Meva?" tanya
gue.
"jelas gue prihatin lah. nggak kebayang deh
kalo gue yg punya keanehan macem itu. iiiihh....sumpah ngeri gue."
"menurut lo kita mesti ngapain?"
"ngapain apanya? ya udahlah biarin aja toh dia
bukan siapa-siapa kita kan? kenal juga enggak. tapi yg namanya waspada ya tetep
kudu dijaga. biar gimanapun kita yg paling deket sama kamer dia. kamer
sebelahnya kan udah pindahan."
"pindah? Mang Eko sama istrinya emang pindah
kemana? kok gue nggak pernah liat mereka angkut-angkut barang?"
"ya iyalah nggak akan tau, elo sih ngayap
mulu. mereka udah lama pindah kok, dapet dua bulan lah. katanya sih pindah ke
Gempol gitu biar lebih deket ke tempat kerja."
gue mengangguk pelan.
"by the way enaknya ngapain nih?" tanya
Indra.
"lo udah nenteng gitar kan? ya udah tinggal
nyanyi aja."
"lagu apa? request deh, terus salamnya buat
sapa aja?"
"haha..lo kata request lagu di radio?"
gue menyulut sebatang rokok lagi.
lumayan lah gratisan, rokok ini punyanya Indra.
tiba-tiba gue teringat sesuatu.
"eh, lagunya Jamrud aja yg lagi tenar
sekarang. lo apal kan?"
"yg mana?"
"yg ceritanya jam dinding bisa ketawa
tuh."
"oh itu. gue tau kok, tapi lo yg nyanyi
yaa."
gue mengangguk.
Indra mulai asyik dengan gitarnya. gue pun
bernyanyi. sambil nyanyi sekali-kali gue lirik kamar Meva, berharap pintunya
terbuka dan dia menghampiri tempat ini. kayaknya lagu ini memang lebih cocok
dinyanyikan duet bareng cewek. seperti waktu malam itu..
hey..heyy...kan dia nyebelin? bikin kesel? kok
bisa-bisanya gue ngarepin dia nongol terus nyanyi bareng di sini?
ah, bodo amat. gue lanjutkan nyanyi-nyanyi sampai
Indra nyerah dan memberikan gitar ke gue.
"ngantuk ah," katanya lalu menuju kamar
gue.
gue diam. nggak seru nih nyanyi sendirian.
gue beranjak ke kamar Meva. berdiri di depan pintu
dan mengetuknya. nggak ada jawaban.gue ketuk lagi. dan kali ini jelas terdengar
suara di telinga gue.
suara tangisan seorang wanita....
*A1
SK2h
Part 18
pintunya nggak dikunci.
dengan mudah gue membukanya dan mendapati cewek
itu sedang duduk memeluk lutut di sudut kamar yg gelap dan pengap.
gue meraba-raba dinding mencari saklar lampu.
"jangan nyalain lampu," kata Meva
tanpa menoleh ke gue.
isaknya terdengar lirih di ruang kosong ini.
"kenapa?" sahut gue.
telunjuk gue tertahan di saklar.
Meva menggeleng.
wajahnya masih terbenam di lututnya.
"ada yg mau lo ceritain? seenggaknya sedikit
bercerita dengan orang lain adalah lebih baik daripada dipendam
sendirian," kata gue sok bijak.
"bukan urusan lo."
"heh, lo pikir kalo ada seseorang yg dengan
bodohnya nyoba bunuh diri di depan mata lo, itu bukan urusan lo?? huh..mungkin
lebih baik kemaren gue biarin lo mati tolol di WC." kata gue dengan
sengitnya.
gue sengaja ngomong begitu untuk memancing
emosinya.
kalau manusia normal, gue yakin dia akan
mencak-mencak ke gue. tapi yaah mungkin dia memang nggak normal kali yaa? nggak
ada reaksi apapun dari dia.
hanya duduk dan terdiam.
"come on guys..mau sampe kapan sih lo bisu
gitu? cerita aja apa masalah lo, siapa tau gue bisa bantu."
dan seperti yg sudah terjadi sebelumnya, cewek aneh
ini tetap diam dalam bisu nya.
rasanya gue mulai nyerah ngajak dia bicara. gue
putuskan keluar, menutup pintu lalu duduk di bawah jendela kamar.
masih dengan gitar di tangan, gue mulai bernyanyi.
kalo lo pikir ini seperti cerita-cerita di film
india, lo salah. karena entah dapet ide darimana, gue bernyanyi dengan suara
tinggi melengking dan dengan nada yg sangat mengkhawatirkan. dan hasilnya?
nggak butuh satu menit buat Indra membuka pintu kamar dan melempar sandal tepat
ke jidat gue tanpa sempat gue menghindar.
"kerasukan jin ifrit lo ye??" serunya.gue
hanya geleng kepala sambil nyengir lebar.
"semprul lo.!" katanya lalu menutup
pintu.
dan gue melanjutkan 'ritual' gue.
aneh memang saat kita bernyanyi tapi kita sendiri
nggak kenal lagu apa yg sedang dinyanyikan.
kunci gitar asal-asalan ditambah suara sumbang,
lengkap sudah 'penderitaan' mereka yg mendengarnya.
"mau sampe kapan nyanyi kayak gitu??" sebuah
suara terdengar di atas kepala gue.gue menoleh ke asal suara.
Meva nampak muncul dari jendela yg kacanya belum
sempat gue pasang lagi.
"bukan urusan lo," jawab gue sekenanya.
"lo udah ganggu ketenangan orang lain. lo
bilang bukan urusan gue??"
gue berdiri. menaruh gitar di lantai lalu bicara.
"dengan nyanyi seenggaknya gue bisa
mencurahkan perasaan gue. itu lebih baik daripada mojok di kamer yg
gelap."
"nyindir nih?"
"sorry deh kalo lo ngerasa kesindir."
"kenapa sih lo demen banget bikin orang kesel?"
"enggak papa, gue seneng aja. dengan begitu
kan lo jadi mau ngomong sama gue?" gue mengakhirinya dengan sebuah senyum
lebar.
Meva diam.
gue lihat matanya sembap karena menangis cukup
lama.
"ayo keluar. kita ngobrol di luar. di dalem
sumpek,"
gue menarik tangannya.
"eh..eh...gue masih di dalem nih!"
protesnya.
"sembarangan aja narik-narik orang."
"oh, maaf gue lupa," padahal gue tadi
sengaja.
Meva keluar dari kamarnya dan duduk di tembok
balkon.
entah kenapa kali ini gue merasakannya lagi.
perasaan yg enam bulan lalu pernah gue rasakan saat pertama kali gue
melihatnya. saat gue mainkan gitar dan dia bernyanyi di tengah malam.
"Ari," gue sodorkan tangan.
"lo udah tau nama gue," katanya tanpa
menghiraukan ajakan gue untuk bersalaman.
"ah iya...gue..baru inget," sumpah gue
salah tingkah plus kesel. malu juga sebenernya.
tapi gue tetep coba jaga image.
"jadi udah berapa lama?" tanya gue.
"apanya yg berapa lama?"
"yaah..udah berapa lama nama lo Mevally?"
kedengarannya konyol banget yak !
"pertanyaan yg nggak perlu dijawab," kata
Meva.
"mau minum?"
"thanks. nggak usah basa-basi deh."
"so, apa yg bikin lo sering nangis?"
"harus ya..nanya langsung ke intinya? nggak
ada basa-basinya banget.
"hhhhhh.....beneran kesel gue sama cewek yg
satu ini!!
"gue akui, gue bukan orang yg pinter
berbasa-basi. tapi gue jago lho ngasih julukan ke orang."
"maksudnya?" Meva kernyitkan dahi.
"sejak pertama ketemu elo, gue udah punya
julukan buat lo. lo mau tau? karena belum tau nama lo, gue kasih lo julukan
'wanita berkaos kaki hitam'.
" hahaha..(tertawa dengan hambar)
"gue sekarang pake perban putih tuh.
"gue perhatikan kedua kakinya yg dibalut
perban.
"kalo gitu julukannya wanita ber perban
putih.?"
dia tersenyum kecil.
wouw ini pertama kalinya gue bikin dia tersenyum.
keinginan yg sempat hinggap beberapa waktu yg lalu akhirnya kesampean.
"sakit nggah sih kaki lo?" kata gue.
"lo mau nyoba menyayat kaki lo pake pisau
cutter? nanti lo tau sendiri gimana rasanya."
gue menggeleng merinding.
"ngebayanginnya aja ngeri gue," komentar
gue.
"lo nggak akan pernah tau sesakit apa rasanya
sakit itu sebelum lo ngerasainnya sendiri."
"oiya? tapi kita nggak akan begitu sakit kan
seandainya kita mau berbagi dengan orang di dekat kita?"
Meva terdiam.
sejenak dia ayunkan kedua kakinya. turun dari tembok
lalu kembali ke kamarnya meninggalkan gue sendirian.
*A1
SK2H
Part 19
sore harinya gue terbangun dengan wajah tertutup
sebuah amplop putih kecil berkop tinta biru.
nampaknya amplop resmi dari lembaga tertentu,
dan karena nyawa gue belum sepenuhnya kumpul, gue taruh amplop putih itu di
atas galon.
sambil menggeliat melemaskan otot gue mulai
berfikir soal menu makan yg enak sore ini.
baru saja gue melangkah keluar kamar saat
terdengar suara indra memanggil dari tembok balkon.
"tuh surat sakitnya tadi gue taro di muka
lo," katanya.
"oh, sembarangan aja lo naro barang gituan di
muka gue. mending tuh amplop nggak basah kena iler,"
gue melangkah dan duduk di kursi.
"laper nih. udah beli makan belom?"
"udah barusan."
"yaah nggak bisa nitip dong gue?"
"skali-kali beli sendiri lah."
"busett...jahat amat lo. kan selama ini yg
sering nitip tuh elo, gue yg jadi babu."
"pahala...ri...pahala. lo mau masuk surga
kan?"
"nggak gitu juga kali."
indra tertawa.
"eh, si cewek aneh kemana?" tanyanya.
"dari tadi gue nggak liat dia."
"mana gue tau? kan lo liat sendiri gue baru
bangun?"
"tau tuh, sejak gue bangun satu jam yg lalu
gue nggak liat dia di kamer gue."
"berarti lagi di kamernya."
"ngapain?"
"pertanyaan bodoh yg nggak perlu gue
jawab."
"kenapa?"
"pertanyaan tolol yg nggak perlu gue
jawab."
indra diam.
"padahal kalo kakinya nggak cabik-cabik kayak
gitu, dia seksi lho," katanya lagi.
"lo suka sama tuh cewek?" tanya gue
menyelidik.
"kagum man.. tolong lebih dibedakan antara
kagum dan suka."
"dia cantik kok. ramah pula, sebenernya..kalo
kita udah kenal deket."
"lo demen sama tuh cewek?"
"sekali lagi lo ngajuin pertanyaan bodoh, gue
jorokin lo ke bawah."
"yaelah...gitu aja pundung. kalo emang nggak
ya udah nyantai aja lagi."
"udah ah gue cari makan dulu," kata gue
melangkah turun.
"gue titip sop buah ya?" teriak indra
saat kaki gue memijak anak tangga ke tiga.
gue jawab dengan acungan jempol.ah, sore begini
asyiknya makan yg pedes-pedes.
mie ayam langganan di depan gang selalu jadi
pilihan tepat buat menu kuliner sore.
kali ini gue sengaja pesen yg pedes banget.
setelah mendapat pesanan indra gue mampir ke
salahsatu warteg.
gue beli nasi telor karena gue pikir meva pasti
belum makan. jadilah gue kembali ke kamar dengan tiga bungkusan berbeda.
"ciyee...perhatian amat lo," komentar
indra melihat nasi bungkus punya meva.
gue melangkah menuju kamar meva.
tiga kali gue ketuk pintunya nggak ada jawaban,
jadi gue putuskan langsung masuk dan mendapati meva sedang terlelap di lantai
dengan berbantal lengannya.
"hei..hei...bangun," gue goyang-goyang
bahunya.
"makan dulu baru lanjutin tidurnya."
kedua matanya terbuka.
dia terperanjat kaget melihat gue di sebelahnya.
"ngapain lo?" tanyanya penuh selidik.
"gue belum ngapa-ngapain kok, lo udah keburu
bangun dulu. tidur lagi deh biar bisa gue apa-apain," canda gue.'
PLAKK!' sebuah tamparan mendarat telak di pipi
gue."
busettt ! galak bener non.
gue kan becanda doang."
meva memasang wajah nggak senangnya.
"becanda lo jelek," sungutnya.
"ya udah nih," seraya gue serahkan bungkusan
nasi telor di tangan gue.
"gue cuma mau ngasih ini aja. nih air
minumnya, dan ini obat yg harus lo minum. jangan lupa diminum obatnya."
"lo mau ke mana?" tanya meva begitu gue
beranjak pergi.
"balik ke kamer, daripada kena tampar
lagi."
"maaf...." gue hentikan langkah.
"lo bilang apa barusan?" kata gue.
"maaf...soal yg tadi. gue memang suka bereaksi
berlebihan."
"kalo kata maaf berguna, buat apa ada
polisi?"
"emang apa gunanya polisi? maling aja banyak
yg berkeliaran." gue pandangi matanya yg sayu.
takjub bercampur heran, ternyata cewek ini 'bisa'
ngomong juga.
"kalo butuh apa-apa ke kamer gue aja,"
lanjut gue lalu mundur dan menutup pintu kamarnya.baru sedetik tertutup
tiba-tiba pintu terbuka lagi.
"ari," panggil meva.
"kenapa?" tanya gue.
"thank's buat nasinya."gue mengangguk.
"thank's juga buat tamparannya," gue
dalam hati.
Sepasang kaos kaki
hitam, by pujangga lama
Part 20
.
hari yg dingin kali ini diakhiri dengan hujan yg
turun deras sejak petang.
indra sudah meringkuk di balik selimutnya yg
hangat beberapa saat setelah hujan turun.
gue sendiri belum ngantuk, jadi gue putuskan
malam itu duduk nonton televisi sambil otak gue menerka-nerka kira-kira apa yg
akan ditanyakan bos gue di kantor besok terkait absennya gue hari ini.
dan baru saja gue berhasil memunculkan bayangan bos
gue sedang memandang galak ke arah gue dari balik mejanya ketika pintu kamar
indra terbuka.
"hei meva," gue buru-buru menoleh ke arah
pintu.
"eh, ng......kirain kalian tidur di sebelah
lagi kayak semalem," katanya.
"emang kenapa?"
"yaah gue pikir gue bisa tidur di kasur lagi.
hehehe.."
"si indra udah tidur dari tadi. kalo mau lo
bisa tidur di kamer gue aja, di sana juga ada kasur."
"lho, bukannya kamer lo yg ini ya?"
gue menggeleng.
"ini kamer indra. kamer gue yg sebelah."
gue berjalan ke pintu dan melewati meva.
tiba di depan pintu kamar gue berhenti.
"tidur di kamer gue aja, biar nanti gue tidur
di sini."
"eh, nggak usah lah. udah biar aja, gue tidur
di kamer sendiri nggak papa."
"maksud lo, malem ini lo tidur kayak tadi sore
tanpa kasur dan bantal?"
meva mengangguk. sedikit ragu.
"udah biasa kok," katanya pelan.
"jangan dibiasain."
"mau gimana lagi? keadaannya emang kayak gitu
kok."
"itulah salahnya. jangan biarkan keadaan
mengalahkan kita. kita yg harus mengalahkan dia,"
gue membuka pintu kamer gue.
"gue janji nggak akan masuk kamer ini selama
lo ada di dalem. tenang aja."
"udah lah biasa aja sih. nggak perlu
repot-repot, biar gue tidur di kamer sendiri. gue nggak enak ngerepotin lo
mulu."
"sedikit ngerepotin tapi kalo ikhlas nggak
masalah kok."
"gue tidur di kamer sendiri." agaknya dia
memaksa.
"oke," gue masuk kamer lalu melipat kasur
menjadi satu tumpukan besar.
"mau diapain tuh kasur?" meva melongok
dari pintu.
"gue pindahin ke kamer lo."
"eeh...nggak perlu, nggak perlu. oke gue tidur
di sini." meva masuk dan mendorong gue menurunkan kasur yg sempat gue
angkat.
"oke silakan menikmati mimpi yg indah
nona.." gue melangkah mundur.
"anggep aja kamer sendiri."
"nah, lo sendiri mau ke mana?"
"bawel. ya ke kamer indra lah, masa mau bareng
tidur di sini?"
"enggak, maksudnya kok buru-buru amat? masih
jam tujuh nih, gue juga belum ngantuk."
"mau kopi?" meva menggeleng.
"teh anget?" tanya gue lagi.
"boleh," jawabnya.
"ujan gini asyik tuh minum teh anget."
"kalo gitu silakan bikin sendiri. teh sama
gulanya ada di kaleng di samping dispenser,"
gue menunjuk ke sudut kamar.
"jangan lupa nyalain dulu pemanas
dispensernya."
"gue bikin sendiri gitu?" protes meva.
"yaelaah...timbang teh gituan aja masa kudu
dibikinin sih? lo kan cewek?"
"apa hubungannya cewek sama bikin teh?"
"ya biasanya yg cekatan bikin kayak gituan kan
cewek?"
"nggak mau. lo aja deh yg bikin teh nya."
gue kernyitkan dahi.
"kok malah gue?" gue juga protes.
"kan elo yg mau minum teh?"
"ya udah deh nggak jadi. gue udah nggak
tertarik," dia memasang wajah cemberut.
gue mendengus pelan.
ni cewek masih aja nyebelin. gue jadi penasaran apa
dia emang ngeselin sejak lahir?
gue masuk dan melangkah mendekati dispenser,
menyalakan pemanas, lalu mulai menuang gula dan memasukkan teh celup ke dalam
gelas kosong tanpa air.
"lo sendiri nggak bikin?" tanya meva
ketika gue menyodorkan segelas teh manis hangat yg baru saja gue buat.
"gue lagi nggak pengen," jawab gue
pendek.
meva berhati-hati sekali meminum teh yg masih
mengepulkan asap ke wajahnya.
"lo mau langsung tidur?" tanya meva.
gue menggeleng.
"kalo gitu kita ngobrol aja sambil duduk di
luar," ucap meva.
dia keluar dan duduk di tembok balkon.
gelas teh hangat ditarohnya di sebelahnya.
gue sih ngikut aja. meva duduk di tembok balkon,
sedikit demi sedikit meminum teh manisnya sementara gue berdiri bersandar pada
tembok.
kami menikmati dinginnya angin yg berembus dingin.
"thanks ya tehnya manis, gue suka,"
katanya.gue mengangguk pelan.
gue amati baik-baik wajahnya. masih ada kemuraman
di raut mukanya.
"kalo boleh tau, lo gawe dimana?" gue
beranikan diri bertanya.
"gue kuliah kok di UN**KA, semester
empat."
"ooh.. lo asli sini?"
"bukan, gue lahir dan besar di Padang."
"wah, kok bisa nyasar ke Karawang?"
"namanya juga orang nyasar, bisa kemana aja
kan?" dia tersenyum simpul.
"lo sendiri orang mana?"
"gue dari sebuah kota kecil di
Kalimantan."
"rasanya gue nggak perlu tanya kenapa lo bisa
ada di sini kan?" dan kami tertawa kecil.
malam itu kami berdua mengobrol tentang asal-usul
kami, cerita masa kecil dan masa-masa sekolah dulu, serta beberapa motivasi yg
gue kejar di perantauan ini sambil diselingi candaan segar dari meva.
seperti sudah gue duga, meva memang orang yg
menyenangkan. dia pintar mencari bahan pembicaraan.
memang baru sebatas perkenalan nggak formal tapi
well, malam ini cukup menyenangkan mengobrol ditemani rintikan hujan.
lama kami ngobrol sampai lupa waktu.
kami baru tidur saat malam mulai beranjak pagi..
*A1
Part 21
entah sudah berapa lama gue duduk di atas kursi
ini.
sebaik apapun pembawaan gue dan seceria apapun
keadaan di sekitar gue, toh tetep aja masih ada separuh hati gue yg menangis.
kehilangan echi benar-benar satu pukulan telak
yg nggak bisa gue elakkan.
terlalu sakit buat meyakinkan hati bahwa ini
akan berlalu seperti satu detik yg baru saja terlewati.
dan terlalu dalam perasaan yg telah tumbuh di
hati untuk menganggapnya berlalu.
"gue udah ikhlasin dia kok," kata gue
menanggapi pernyataan indra yg ingin gue segera mengikhlaskan echi.
"ya udah kalo emang ikhlas, jangan terlalu
dibawa sedih terus.." ujar indra.
"kasian echi di sana." indra kepulkan
asap putih dari mulutnya dan membubung tinggi lalu lenyap tertelan dinginnya
malam.
dua isapan lagi dan rokok di tangannya sudah
mendekati ujung.
"lagian kayaknya sekarang lo udah dapet
gantinya echi," indra melirik pintu kamar meva.
"ah, terlalu cepet buat gue nyari pengganti
dia. susah dul nyari ganti cewek yg udah gue sayang banget.."
"mending gitu daripada nggak dapet samasekali,
iya khan?"
gue hanya nyengir sedikit.
"meva cakep kok kata gue," komentar
indra.
dia membuang puntung rokoknya.
"iya tau. gue masih normal kali."
"wedeew.....gue pikir loe udah kehilangan
selera ama cewek. kadang gue suka takut lho, suatu hari nanti lo nembak
gue.?"
dan kami berdua tertawa lebar.
"sialan loe. biar gue homo juga gue
pilih-pilih kali. hahaha..."
"wah berarti gue parah dong sampe cowok aja
ogah sama gue."
"begitulah elo dul. haha.."
"udah ah," indra menengok arlojinya.
"udah mau jam delapan. gue berangkat gawe
lah." indra masuk ke kamarnya dan keluar dengan seragam lengkap.
"di bawah tivi ada mie instan tuh, lo masak
aja kalo laper," katanya.
gue mengangguk.
"eh iya, gue abis beli kaset baru tuh. tonton
gieh semaleman sampe puas." dia tertawa kecil.
"iya, udah berangkat sana."
"oke oke. kayaknya loe seneng banget gue
pergi?"
gue lempar sandal tapi meleset.
"udah berangkat sana, telat kena marah bos
lo."
"iya iya gue cabut dolo." dan kurang dari
semenit kemudian gue mendapati diri gue seorang diri di beranda.ya, gue memang
lebih sering sendiri di sini. kalo indra shif malem, gue cuma punya beberapa
jam buat ngobrol-ngobrol sepulang gawe, sampe dia berangkat gawe.
sementara meva, seperti biasa, sudah beberapa hari
ini gue nggak melihat dia. nampaknya dia mulai lagi dengan kebiasaannya yg suka
"menghilang".
setelah beberapa hari sempat rutin ngobrol di
tembok beranda yg menghubungkan kamar kami, gue kembali merasakan sepi. dan
kesepian selalu membuat gue merasa semacam sentimentil yg membawa gue dalam
kesedihan.
sudah berhari-hari gue perhatikan pintu kamar meva
tidak pernah terbuka.
itu yg membuat gue yakin dia
"menghilang", seperti biasanya. semenjak gue kenal dekat 'cewek aneh'
ini, meva selalu menyempatkan ngobrol bareng gue sepulang gue kerja. itu kalo
dia lagi ada di sini, kalo lagi pergi (gue selalu lupa menanyakan hal ini ke
dia) ya begini inilah gue.
sendiri dan sepi.
tapi gue pikir gue akan terbiasa dengan kesendirian
ini.
maka alangkah terkejutnya gue ketika tiba-tiba saja
sosoknya muncul di atas tangga, sambil membawa beberapa kantong plastik yg
nampak seperti belanjaan.
gue sempat mematung di kursi menatap ke arahnya.
"lagi ngapain?" tanya meva ramah.
"duduk," jawab gue.
dalam hati gue bersyukur karena malam ini gue bakal
punya temen ngobrol.
meva, khas dengan stoking hitamnya, berjalan
mendekat ke gue, menaruh semua kantongnya, lalu menyilangkan kedua tangannya di
depan dada dan menatap lekat gue.
"ngapain lo?" gue sedikit protes dengan
tatapan matanya.
"berdiri," jawabnya pendek.
gue mendengus pelan.
"nggak enak kan dapet jawaban kayak
gitu?" meva mencibir.
"iya sorry," kata gue.
"bawa apaan tuh?" gue menunjuk kantong di
lantai.
"tadi abis belanja di minimarket. oh iya, lo
udah makan belom? gue beli mie ayam tuh buat lo."
"yaah...barusan aja makan tadi abis
isya."
"waduh, jadi gimana nih mie ayamnya? gue
sengaja beli buat lo."
"ya udah lo makan aja.""gue juga
barusan makan, masih kenyang ah."
"lagian lo sih sok baek pake beliin gue
mie."
"yaelaah sekali-kali dapet pahala boleh
lah."
"emang darimana lo malem-malem gini baru
balik? udah kemaren pergi nggak bilang-bilang lagi."
"hadeuh..baru juga jam delapan, ri." meva
menunjuk arlojinya.
"ehem..lo kangen ya sama gue?"
gue kernyitkan dahi.
"iya kangen mau nimpuk lo pake sendal,"
cibir gue.
"ciie...ciiee....." godanya sambil
kerlingkan mata ke gue.
dan dia pun tertawa.
"eh iya, gue minta tolong dong.."
"tolong apaan?"
"gue udah pindahin barang-barang dari kosan yg
dulu ke kamer ini. bantuin gue beresin kamer gue ya?"
"ooh..kapan?"
"sekarang atuh," dia menarik tangan gue.
tiba di kamarnya, ternyata benar, ada beberapa
tambahan perabot kamar yg sebelumnya nggak pernah gue lihat. dan setelah beradu
argumen antara 'besok' dan 'sekarang' akhirnya malam ini gue habiskan dengan
beres-beres kamer dan diakhiri dengan makan mie bareng meva....
*A1
part 22
“woi Ri...bangun woii................” sebuah
suara di pagi hari membangunkan gw dari tidur.
“sapa sih??” gw menggerutu tanpa pedulikan orang
itu.
“ganggu orang tidur aja.”
“busett dah ni anak susah amat bangunnya,” suara
cewek.
Tepat di samping gw.
Gw yakin pasti si Meva. Dia mengguncang bahu gw
beberapa kali.
“kan lo janji mau bantu gw beresin kamer? Bangun
laaah......”
“............................”“
bener-bener dah ni anak kayak kebo tidurnya!”
“entar deh siangan aja....” kata gw dengan malasnya
tanpa bergerak sedikitpun dari posisi tidur gw.
“sekarang aja siih,” dia mulai merengek.
“nanti siang gw ada kuliah...”
“ya udah kalo gitu kuliahnya sekarang aja, biar
siangnya bisa beres-beres kamer,” gw masih bertahan di balik selimut.
“enak aja. Emang pangkat gw apa bisa ngatur-ngatur
jadwal kuliah?”
“cuti, cuti. Bisa kan?”
“iiih....lama-lama lo nyebelin. Buruan bangun! Kalo
nggak gw bakar dah ni kamer lo.”
“bakar aja gak papa.........”
“Aaaarrrriiiiiii..................................
...........” dia kembali mengguncang bahu gw, kali ini dengan keras.
“B-A-N-G-U-N!!”
“iya iya gw bangun!” gw sibakkan selimut dari tubuh
gw.
“nah, gitu dong,” seru meva senang.
“namanya janji itu harus ditepati. Inget janji
adalah hutang.”
“.................................”
“yah, dia malah tidur lagi,” meva mengomel lagi.
“ayo lah bangun!”
Gw balikkan badan menghadap ke arahnya.
Dengan mata masih setengah terpejam gw paksakan
untuk duduk.
Gw ingat dua hari yg lalu memang janji akan
membantu Meva berbenah kamarnya.
Dia memang baru pindahan dua malam yg lalu.
“masih ngantuk Va......” kata gw sedikit memelas.
“cuci muka biar nggak ngantuk,” nampaknya cewek ini
tetep keukeuh
gw harus bantu dia pagi ini.
“masih pagi nih. Nggak bisa entar-entaran yah?”
pinta gw.
“sekarang udah jam delapan, Mas.....udah siang!”
“jam delapan masih pagi atuh. Setengah jam lagi deh
ya abis itu gw beneran bangun deh. Ya ya ya?”
dan tubuh gw kembali ambruk ke kasur.
“lagi-lagi tidur,” Meva menggerutu.
“baru tau gw ternyata lo susah amat bangunnya.”
Gw rasakan pipi gw ditepuk-tepuk.
“bangun lah ri, dua jam lagi gw udah harus udah ada
di kampus.”
Gw bergeming. Dan tepukan di pipi gw semakin keras.
Sekarang malah sudah pantas disebut tamparan.
“sakit Meva!!” gw bener-bener bangun sekarang.
Duduk sambil usapi pipi gw yg merah.
“hehehe.....” Meva nyengir lebar.
Hebat sekali dia!
Tanpa sedikitpun bersalah dengan santainya dia
tertawa setelah menampar gw.
“makanya bangun coba. Tuh gw udah bikinin teh
anget.”
“lain kali nggak pake tamparan ah,” protes gw.
“hehe..iyah maap, ya abisnya loe susah amat sih
bangunnya? Terpaksa gw pake kekerasan deh.” Gw mencibir.
“udah cepet cuci muka sana. Muka lo jelek amat kalo
baru bangun tidur.” Dengan masih menggerutu gw beranjak ke kamar mandi.
Sekedar cuci muka lalu keluar kamar. Meva sudah ada
di kamarnya.
Sebenernya males banget sumpah, hari Sabtu bangun
pagi kayak gini.
Gw biasa bermalas-malasan dan memilih bangun lebih
siang kalau hari libur seperti ini.
Tapi yah mau gimana lagi, gw terlanjur janji ke
Meva bakal bantuin dia berbenah kamarnya hari ini.
Dua malam yg lalu, Meva memang baru saja
memindahkan sebagian barang miliknya dari kosan yg lama.
Gw baru tau ternyata selama ini dia menyewa dua
kosan.
Satu di sini dan satu lagi di daerah Gemp*l.
Dan dia sering bolak-balik kedua kosannya ini
karena memang bosan.
Tapi jujur aja, selama ini gw nggak pernah
menyinggung atau mempertanyakan soal kebiasaan anehnya yg gemar melukai diri
sendiri.
Gw takut ini akan merusak mood nya, dan malah nanti
akan mendorong dia melakukan lagi hal aneh dan ekstrem itu.
Biarlah gw anggap dia cewek normal aja.
Gw pura-pura nggak tau tentang keanehan dalam
dirinya.
Dan memang dia normal kok.
Sebagai teman ngobrol dia asyik dan nyambung diajak
bicara, Cuma memang ada beberapa momen gw temui dia tengah melamun seperti
biasa.
Kalo udah kayak gitu, bahkan kebakaran pun mungkin
nggak akan mengalihkan perhatiannya.
Entah hobi atau memang tuntutan profesi. Hehehe....
“Ri, sini deh..” panggil Meva dari dalam kamarnya.
“ada yg bisa gw banting?” gw masuk ke kamarnya.
Masih kamar yg sama, kamar yg gelap dengan lampu
penerangan yg remang-remang, sama seperti pertama gw masuk ke kamar ini
beberapa waktu yg lalu.
“menurut lo kasur ini enaknya ditempatin di mana
ya?” Meva berdiri di sudut kamar, di sebelah kasur yg terlipat di sudut lain
kamar.
“dimana aja boleh,” komentar gw.
“asal jangan di kamer mandi aja.”
Meva melotot ke arah gw dengan tatapan
‘gw kan nanya serius?!’
“di situ aja deh,” gw menunjuk tempat dia berdiri
saat ini.
“ya udah, sok atuh gelar kasurnya,” dia berjalan ke
arah gw.
“kenapa mesti gw? Kan elo sendiri bisa?”
“kenapa mesti gw? Kan elo udah janji mau bantu gw?”
“gw emang janji ngebantu Neng, bukan jadi
pembantu.”
“udah, sama aja. Buruan kerjain,” Meva mendorong gw
ke tempat kasur.
“huh, kerja rodi ini mah.”
Omel gw.
Tapi gw kerjakan juga memindahkan kasur ke tempat
yg gw tunjuk tadi.
Selain lampunya yg tetap redup, kamar ini memang
sedikit mengalami perubahan dengan penambahan beberapa perabot semacam galon
dan dispenser.
Ada juga lemari kecil tempat baju, dan beberapa
piring dan gelas untuk makan dan minum.
Sebuah tas punggung tergeletak di dekat pintu, dan
beberapa buku tambahan jug tergeletak begitu saja di sebelahnya.
Dibandingkan dulu yg hanya ada rak buku, kamar ini
jelas lebih padat sekarang.
Acara hari ini adalah nyapu dan ngepel kamer dan
membersihkan kamar mandi.
Dan itu semua gw yg kerjakan sementara si Meva
duduk manis memperhatikan pekerjaan gw!
Memang hebat cewek yg satu ini! Hah?!
“oke deh, semua udah selesai. Gw kuliah dulu yaa..”
kata Meva.
“udah jam sembilan lewat nih.”
Gw cuma bisa melongo melihat cewek ini mengepak
buku-bukunya ke dalam tas.
Hari ini lo nyebelin banget! Gw udah dipaksa bangun
pagi, cape-cape ngerjain sendiri dan setelah semua beres, lo maen tinggal kabur
aja!
Bener-bener dah ini cewek.............!!
“nah, terimakasih lo udah bantu gw beresin kamer.
Sekarang gw berangkat yaa,”
Meva melambaikan tangan dan beranjak keluar.
“tunggu dulu,” gw menahannya di depan pintu.
“ya?”
“lo mau berangkat?” tanya gw.
Meva mengangguk.
“udah gitu aja? Lo maen pergi aja setelah gw
beresin kamer lo??”
“agenda hari ini emang itu kan? Inget..janji adalah
hutang.”
Gw menarik nafas panjang. Kesel bener gw, sumpah!
“ya udah berangkat sana,” kata gw akhirnya.
Meva tersenyum. Senyuman manis yg dulu pernah gw
idam-idamkan.
Dia benar-benar tersenyum untuk gw.
Tapi kekesalan gw pagi inis edikit merusak
senyumnya di mata gw.
“daah.....” ucapnya lalu bergegas pergi.
Gw cuma bisa mengomel dalam hati.
Yaaah, sudahlah....mau diapain lagi.
Gw tutup pintu kamar Meva dan beranjak ke kamar gw.
Lebih baik gw melanjutkan tidur sampe malem........
*A1
Part 23
Tadinya gw pikir gw baru akan bangun setelah
1000 tahun setelah seorang puteri mencium gw, tapi baru setengah jam gw
terlelap (itupun sudah dengan susah payah) ternyata suara berisik dari luar
berhasil membuat gw terjaga.
Pengapnya kamar juga membuat gw sesak bernapas.
Maka gw putuskan segera keluar dan duduk di
tembok balkon dengan rambut dan wajah masih acak-acakan.
Indra sedang duduk di depan
pintu kamarnya, dan Pak Haji sedang berbincang bersama seorang pria di depan
pintu kamar nomor 20, kamar kosong yg ditinggalkan oleh pasangan suami istri yg
dulu menghuninya.
Nampaknya pria itu akan jadi penghuni baru di kosan
ini.
Pria berambut ikal dengan kumis dan jenggot lebat
serta berkacamata.
Hampir sebagian wajahnya tertutup rambut-rambut
dari kedua jambangnya.
“Siapa tuh dul?” tanya gw ke Indra yg berjalan
mendekat.
“orang baru,” katanya seraya duduk di sebelah gw.
“gantiin Mas Harjo.”
“ah, tapi tetep aja bakal sepi seperti biasanya.
Liat aja dua kamar di seberang kita, udah kayak nggak ada penghuninya aja.
Mereka nggak pernah bersosialisasi sama kita-kita ya?”
“mereka pada sibuk. Wajarlah, gawe di pabrik
otomotif macem gitu, pasti lemburannya kenceng,” dia mengambil sebatang rokok
dan menyulutnya.
“kadang gw suka iri sama mereka berdua, pasti asyik
yah punya gaji gede.”
“tapi lo mesti ngorbanin banyak waktu lo, kayak
mereka ini. Lo mau?”
“yaah...kalo Sabtu-Minggu masih libur sih oke aja
gw mah. Yg penting duid banyak.”
“yaelaah...syukuri aja apa yg ada dul.”
“haha.. iya sih, gw segini juga udah bersyukur
banget dapet gawean. Temen-temen angkatan gw aja masih banyak yg nganggur.”
“gw juga ngerasa beruntung bisa nyampe sini. Di
kota kelahiran gw lapangan pekerjaannya nggak seluas di Jakarta ataupun di
sini. Makanya sejak awal kuliah dulu gw udah tekadkan untuk ngerantau. Jauh
dikit dari orangtua gak papa lah asal lebaran bisa balik.”
“eh, pacar lo itu asli mana sih?”
“pacar yg mana?”
“gebetan baru lo itu, si cewek aneh. Anak mana
dia?”
“bujug buneng, sejak kapan gw jadian sama tuh
cewek?”
“tapi keliatannya lo deket banget sama Meva.”
“deket bukan berarti jadian kan?”
“yaah....kali aja entar kalian bisa jadian.”
Gw tertawa pelan.
“gw terlalu sayang sama Echi, dul. Susah banget
ngelupain dia.”
“yaaah mulai lagi deh ngomongin ini.” Indra
menggaruk kepalanya.
“kenapa sih lo terlalu sentimentil gitu?”
“namanya orang ditinggal pacar gimana sih? Lo belum
pernah ngerasain ini sih......”
“gw emang nggak pernah ngerasain ditinggal pacar,
tapi gw tau gimana kehilangan yg lo rasain. Sejak SMP gw ditinggal bokap gw.
Seenggaknya gw tau gimana rasanya ditinggal mati.”
“udah ah, jangan bahas ini.” Gw menggeliat
melemaskan otot.
Di depan kami Pak Haji dan pria itu nampak turun ke
tangga.
Dari pembicaraan yg sempat gw dengar upanya mereka
sudah menemukan kesepakatan dan si pria akan mulai tinggal di kamar itu nggak
lama lagi.
“gw tidur dulu ya? Dari balik gawe semalem gw belum
tidur nih. Mumpung libur bisa seharian ngebo. Hehehe...”
dan Indra berjalan ke kamarnya.
Tuh kan, gw sendirian lagi... huh, mungkin gw
memang ditakdirkan untuk selalu sendiri.
Iseng gw berjalan ke kamar Meva.
Di depan pintu gw hentikan langkah.
Pemilik kamar ini pasti masih sibuk di kampusnya.
Secara baru satu jam yg lalu dia pergi. Gw buka
pintu kamar dan masuk ke dalamnya.
Berdiri memandang berkeliling memperhatikan hasil
kerja gw barusan, lalu gw duduk di tepi kasur.Kenapa sih tuh cewek seneng
banget gelap-gelapan di kamer?
Gw pernah sarankan ganti lampunya dengan lampu
freon tapi Meva menolak dan ingin mempertahankan lamu kusam di kamarnya ini.
Lalu pandangan gw beralih ke lemari kecil tempat dia menyimpan pakaiannya.
Gw ingat benar waktu Meva membenahi lemari itu, ada
banyak stoking hitam yg biasa dipakainya.
Bener-bener, meskipun gw udah lumayan kenal dekat,
tetep aja Meva merupakan sosok misterius di mata gw.
Gw yakin, banyak yg nggak gw tau tentang cewek yg
satu ini.
Dan pandangan mata gw tiba-tiba terpaku ke tumpukan
buku di samping dispenser.
Mendadak gw pengen tau anak Sipil kalo kuliah
belajar apa aja ya..
gw ambil buku paling atas di tumpukan.
Sebuah buku tulis besar tapi tidak terlalu tebal.
Sesuatu jatuh dari dalamnya saat gw membuka halaman
pertama.
Secarik kertas warna abu-abu. Mirip potongan dari
sebuah surat kabar.
Gw ambil kertas kecil itu. Memang potongan dari
sebuah halaman surat kabar.
Tapi bukan surat kabar biasa.
Ini surat kabar berbahasa Inggris.
Di bagian paling atas potongan itu terdapat judul
”Children of God”.
Dan di bawahnya tampak wajah seorang pria bule, tua
dan berjanggut putih.
“hebat juga tuh cewek bacaannya koran Inggris,”. gw
tersenyum kecil.
Gw taruh lagi potongan kertas itu ke dalam buku.
Gw nggak mau menimbulkan kecurigaan dengan mengacak
isi kamar ini.
Saat gw buka lembar ke tiga buku itu, terdapat
potongan surat kabar lagi. Kali ini kertasnya tertempel di halaman buku.
Buku ini pasti adalah kliping, kata gw dalam hati.
Tapi anehnya lagi-lagi gw menemukan kata ”Children
of God” di judul potongan surat kabar itu.
Beberapa gambar tampak kumpulan orang sedang
menyembah sesuatu, dan seperti seseorang yg sedang berdiri di tengah ruangan
dengan kaca berukir mozaik layaknya sebuah gereja.
Di halaman lain gw menemukan sebuah artikel
berjudul
“Anak-Anak Tuhan Mulai Masuk ke Indonesia”.
Dan gambar pria tua berjanggut putih kembali
menghiasi gambar penjelas dari artikel ini.
Di bawah gambarnya ada kalimat
“David Berg, pendiri Children Of God”.
Gw buka lagi lembar berikutnya dan kali ini sebuah
artikel berjudul
“The Family Was Exist”.
Karena gw nggak begitu ahli berbahasa Inggris,
butuh empat sampai lima kali buat gw mencoba menterjemahkan kalimat di artikel
itu.
Tapi tetap saja gw nggak paham dengan isinya.
Pandangan mata gw tertuju pada sebuah majalah
berbahasa Inggris yg tergeletak di bawah buku yg gw ambil.
Lagi-lagi wajah pria tua itu gw lihat, di cover
depan terpampang sebagai sampul majalah, dan gw sangat tertarik dengan tajuk
majalah itu :
”Children of God”.
Gw nggak begitu hafal isinya, tapi ada satu kalimat
yg menarik perhatian gw. Bunyinya kurang lebih seperti ini :
In the quitness of your chamber when you’re alone,
you can tell Me you love Me and you can show Me you love Me. For this intimate
and special way of loving Me...
Kalimat itu banyak muncul di beberapa halaman.
Entah apa arti kalimat itu, gw nggak begitu
tetarik.
yg pasti gw sendiri memang bukan kutu buku y hobi
baca, apalagi bacaan yg aneh-aneh macem ini.
Gw tutup majalah dan gw taruh lagi di tempatnya
sebelum gw ambil.
Gw samasekali nggak mengerti dengan artikel-artikel
yg dikoleksi Meva.
Selera baca yg aneh, menurut gw.
Dan setelah ini gw benar-benar yakin bahwa cewek yg
satu ini memang benar-benar aneh.....................
*A1
Sepasang Kaos Kaki
Hitam by pujangga.lama a.k.a Ariadi Ginting
Sumber: kaskus
Part 24
Gw tetap terjaga sampai malam tiba.
Dan seperti malam-malam sebelumnya, malam minggu
ini gw cuma duduk di balkon sambil bermain gitar.
Indra tadi sempat mengajak bermain PS
tapi gw akui gw nggak ahli dalam bermain game
seperti itu.
Indra sudah tenggelam di depan layar tivinya
beberapa saat setelah maghrib.
Malem ini suasana
kosan terbilang ramai.
Dua kamar yg nyaris selalu kosong karena
penghuninya lembur, sekarang terbuka lebar dengan alunan lagu-lagu remix
terdengar nyaring dari salahsatunya.
Sedang asyik bernyanyi terdengar suara langkah kaki
menaiki tangga.
Dan sesuai dugaan gw, Meva muncul dari tangga.
Dia tersenyum begitu melihat gw.
Tapi jujur saja gw masih kesal soal tadi pagi.
“malem minggu nggak ngapel Ri?” tanyanya dengan
nada riang.
Gw sengaja acuh dengan pertanyaannya.
Gw berpura-pura menyibukkan diri dengan nyanyian.
“hallooo..........” dia todongkan wajah di depan
wajah gw dengan jarak yg sangat dekat.
“ada orangnya nggak nih?”
“lagi keluar,” jawab gw pendek.
“yaah padahal saya ada perlu penting Pak. Mau
nraktir makan orang yg namanya Ari.”
“oh..ada, ada. Saya sendiri.”
Meva tertawa.
“hadeuh......giliran makan aja nyaut,” dia menepuk
pipi gw pelan lalu beranjak ke kamarnya.
“kemana lo?? Katanya mau nraktir???”
“enggak jadi, kan tadi katanya lagi keluar.” Jawab
Meva tanpa menoleh ke gw.
Di depan kamar dia berhenti, lalu balikkan badan.
“tadi pas gw pergi lo masuk kamer gw yaa?” tanyanya
menyelidik.
“eh, enggak. Ngapain juga gw ke kamer lo? Nggak ada
kerjaan banget.”
Gw bohong.
“yah sapa tau lo iseng gitu, terus nyuri daleman gw
lagi.”
“anjrid,,emang gw cowok apaan nyuril gituan? Masih
banyak yg lebih berharga buat dicuri.”
“hehe.. iyah gw becanda. Gitu aja sewot ah!” lalu
dia berbalik lagi dan masuk ke kamarnya.
Belum ada setengah menit dia keluar lagi ke tempat
gw duduk.
“udah makan belum lo?” tanyanya.
“gw lagi keluar, kalo mau nraktir entar aja next
time.”
“ciie ilee.... lagu lo kayak orang penting aje.”
Meva memukul bahu gw pelan.
“mau makan gratis nggak nih? Mumpung gw lagi baek
hati.”
“serius nggak lo?”
“waduh, lo meragukan gw nih. Masa kayak gituan aja
gw bohong? Mau nggak?”
“oke deh, bentar gw taro gitar dulu.”
“eh, temen lo mana? Sekalian aja ajak dia.”
“lagi maen PS di kamernya,” jawab gw dari dalam
kamar.
“lo tanyain sendiri aja.”
“ogah ah, lo aja.”
“kenapa mesti gw mulu sih?”
gw keluar kamar.
“ya udah.. ya udah, kalo nggak mau ya udah kita
berdua aja deh. Buruan, gw laper nih.”
“gw tanya dulu deh,” gw masuk ke kamar indra.
Dia sedang asyik bermain balap mobil.
“mau makan nggak?” tanya gw.
“lo mau ke warung?” indra balik tanya tanpa
mengalihkan pandangan dari layar tivi.
“gw makan di sana. Si Meva yg nraktir, kalo mau
makan gratisan ikut kita yuuk.”
“oh, sama si aneh itu. Ya udah lo berdua aja deh.
Gw nitip dibungkus aja ya?”
“bener lo nggak mau ikut?”
“lagi nanggung seru nih.”
“ya udah. Kayak biasa kan?”
“iiyaaa.....jangan lupa kasih sambel pedes yah.”
“oke.”
Meva sudah menunggu di ujung tangga.
“gimana? Temen lo nggak ikut?” tanyanya.
Gw menggeleng.
Dan akhirnya kami berdua pun berjalan menuruni
tangga.
Ternyata di luar lumayan dingin.
Gw suka heran, kalo siang kota ini kerasa panas
banget, tapi begitu malam panasnya seolah hilang berganti dingin yg kadang
menusuk tulang.
Kami berjalan menyusuri jalanan yg sepi.
Maklumlah, ini bukan jalan utama, dari sini ke
jalan raya jaraknya lumayan jauh.
“eh, tumben lo ngajakin gw makan?” tanya gw.
“yah anggep aja ini sebagai ucapan terimakasih gw
karena tadi pagi lo bantuin gw beresin kamer gw.”
“oh, thanks deh kalo gitu.” Meski sempat kesal,
akhirnya perasaan itu hilang. Yah seenggaknya Meva bukan orang yg nggak tau
terima kasih.
“maaf yah tadi pagi langsung gw tinggal.
Gw buru-buru soalnya.
Gw tau lo pasti kesel, iya kan?”
“ah, enggak kok. Ngapain kesel cuma gara-gara hal
sepele kayak gitu?”
“oh, gw kirain lo marah tadi pagi. Hehehe..
”Gw tersenyum simpul.
“mau makan apa nih?” tanya Meva menunjuk deretan
kedai-kedai dadakan di pinggir jalan.
“apa aja deh. Lo sendiri mau makan apa?”
“pecel lele kayaknya enak tuh. Lo mau?”
“ya udah kita makan pecel aja.”
Kami masuk ke sebuah kedai lumayan besar dan
langsung memesan dua porsi pecel lele.
Selain kami, ada dua orang pembeli di kedai ini.
“ehm, Mas, saya pake nasi uduk yah?” kata gw ke si
penjual.
“eh, saya juga dong Mas.. nasi uduk dua-duanya
yah?” sahut Meva.
Mas mas si penjual mengangguk dan segera mengurus
pesanan kami.
“tadi ngapain aja di kampus, kok sampe malem baru
balik?” tanya gw.
“yaah biasalah anak kuliahan paling nongkrong di
kampus doang. Tapi tadi kebetulan ada tugas tambahan dari dosen, jadi gw mampir
ke kosan temen dulu numpang ngerjain soalnya gw nggak punya komputer sendiri.”
“kenapa nggak beli aja biar nggak ribet?”
“males ah,” ujar Meva menggelengkan kepala.
“gw lebih suka pinjem daripada punya sendiri. Ribet
gw ngurusin barang kayak gituan.”
“gw malah kepengen banget punya komputer.”
“ide bagus tuh.
Gw setuju deh loe beli komputer.”
“iya, biar lo bisa pake sepuasnya komputernya kan?”
“hehehe.. tau aja lo.”
“jelas lah gw hafal sama orang-orang nggak modal
kayak lo.”
“idiiih....kata sapa gw nggak modal? Lah ini
buktinya gw nraktir lo makan?”
Gw mencibir.
“eh, lo pinter bahasa Inggris yah?” kata gw
mengalihkan pembicaraan.
“enggak juga ah, kok lo nanya gitu?”
“ya enggak, soalnya di kamer gw liat lo kayaknya
seneng ngoleksi kliping dari koran berbahasa asing gitu.”
“tau dari mana lo? Wah, jangan-jangan lo beneran
ngoprek barang-barang gw yah?”
“ah, enggak kok orang cuma liat-liat aja dikit.”
“liat-liat tanpa ijin sama aja ngoprek, dodol...”
“beda.”
“sama.”
“ah, udah ah jangan dibahas. Males gw debat sama
cewek.”
“ya elo duluan yg ngebahas.”
“eh, tapi kok kliping punya lo isinya tentang apa
tuh namanya.............. ‘god god’ gitu deh. Tau ah namanya apaan. Kok gituan
semua?”
“tuh kan elo yg bahas lagi?” meva mencibir.
“emang apaan sih yg namanya ‘Children of God’ itu?”
Meva diam sejenak.
Ada sedikit perubahan ekspresi di wajahnya.
“bukan apa-apa kok.
Itu tugas kliping salahsatu mata kuliah.
Gw sendiri nggak begitu paham dengan
pembahasannya.”Gw mengangguk beberapa kali.
“beneran aneh nih cewek,” kata gw dalam hati.
“ngumpulin kliping tapi nggak ngerti sama yg
dikumpulin.”
“eh, besok lo lembur nggak?” tanya Meva membuyarkan
lamunan gw.
“enggak,” gw menggeleng.
“kenapa emangnyah?”
“kalo lo nggak sibuk, besok temenin gw yuk.”
“ke mana?”
“jalan-jalan aja sih. Ke tempat nongkrong favorit
gw kalo lagi bete.”
“di mana tuh?”
“alun-alun Karang Pawitan alias KaPe.” Meva nyengir
lebar.
“oh, yg deket mall itu?”
Meva anggukkan kepala.
“mau yaah? Yaah mau yaaah?” pintanya.
“asyik loh di sana tempatnya.”
“liat besok aja deh, gw paling males kalo bangun
pagi soalnya.”
“yaaah kok gitu? Pokoknya harus mau, oke? Deal.”
“waduh, maen deal-deal ajah.”
Gw memprotes keputusannya yg sepihak itu.“enggak
ada kompromi. Oke? Nah, tuh pecelnya udah jadi. Selamat makaan...”
Gw mendengus kasar. Apa boleh buat, kami samasekali
nggak bicara selama makan.
Setelah menyantap habis hidangan di depan meja kami
berjalan kembali ke kosan.
Gw sempat pesen sebungkus buat Indra sesuai
pesanannya tadi.
Di perjalanan balik kami nggak banyak ngobrol.
Gw juga malas ngobrol, yg ada nanti malah debat
soal rencana besok. Kebisuan itu berlangsung sampai tiba di kosan.
Gw ke kamar Indra sementara Meva langsung tidur di
kamarnya.............
Part 25-A
13-03-2013
12:51
Minggu pagi yg dingin. Gw terbangun saat langit di luar Nampak sedikit
menghitam tertutup awan hujan. Ah, senangnya gw karena pagi ini gw nggak
direcoki cewek aneh si Meva. Gw lihat jam dinding menunjukkan pukul setengah
sebelas. Cukup siang, tapi karena mendung jadi saat ini Nampak seperti masih
jam delapan pagi.
Gw menggeliat dengan malasnya. Sambil memikirkan menu apa yg enak buat sarapan
sekaligus makan siang kali ini, gw duduk di tepi kasur. Masih dengan nyawa yg
baru setengah kumpul gw duduk melamun. Sampai sebuah suara dari kamar mandi
mengagetkan gw. Gw diam, mencoba memperhatikan dengan saksama. Ada seseorang yg
sedang bersenandung dari dalam kamar mandi kecil itu. Suara wanita.
“Siang-siang kok ada setan?” gw dalam hati. “apa si Indra yah? Ah, sejak kapan
suara si gundul mirip suara cewek??”
Gw lebih lekat lagi mendengarkan.
“Jangan-jangan Meva?” bating w lagi. “Tapi sejak kapan suara Meva kayak suara
cewek?? Eh, dia kan emang cewek? Gpblok bener gw!”
Dan baru saja gw hendak bicara, pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sesosok
wanita di hadapan gw. Dengan hanya berbalut handuk putih yg bahkan nggak sampai
ke lutut, dia tertawa melihat gw. Untung saat itu dia tetap mengenakan stoking
hitamnya, kalo nggak gw bisa bergidik ngeri melihat bekas sayatan-sayatan di
kedua kakinya yg jenjang itu.
“Kebonya udah bangun,” katanya seraya nyengir lebar.
“Busett…sejak kapan kamer mandi gw jadi pemandian umum?” gerutu gw kesal.
“Lagian keluar kamer mandi udah maen ketawa-ketawa aja, bikin parno tau nggak.”
“Haha..maap deh, kamer mandi gw lagi kering tuh. Nggak keluar airnya,” ujar
Meva. “Tadinya juga mau minta ijin sama elo, tapi berhubung lo lagi ngebo ya
udah gw inisiatif sendiri ajah.”
“Huh, untung gw nggak kebelet pipis tadi.”
“Emang kenapa? Tinggal masuk ajah, bareng juga nggak papa kok.” Lalu dia
tertawa lebar.
Bisa banget nih cewek! Gw masih normal wooooiiii……………
“Laen kali kalo mau numpang mandi lagi, lo mesti ijin gw dulu,” kata gw
mengultimatum. “Nggak peduli gw lagi tidur atau lagi ngapain, pokoknya lo harus
seijin gw. Okay? Bisa dimengerti?”
“Iya..iya..siap boss! Udah pelit, bawel lagi!” kata Meva lagi kemudian
berhambur pergi dari kamar gw menuju kamarnya.
“aarrggh…tuh anak bikin kesel aja,” omel gw dalam hati.
Baru saja gw hendak rebahan lagi, Meva menggedor pintu kamar gw. Masih dengan
handuknya dia setengah teriak ke gw.
“Lo cepetan mandi! Inget hari ini lo janji nemenin gw ke Karang Pawitan!” dan
lalu dia pergi lagi.
Ah, kenapa sekarang setiap hari gw jadi selalu punya janji ke dia?? Lagipula,
emang kapan sih gw janjinya?? Gw coba ingat-ingat lagi, semalam Meva emang
ngajakin gw ke KaPe, tapi khan gw belum mengeluarkan pernyataan setuju ke dia!
Hadeuuh…………..cewek yg satu ini beneran nyebelin!
Maka gw sengaja tiduran lagi dan nggak buru-buru mandi seperti permintaannya
barusan. Sekitar sepuluh menit dia kembali lagi ke kamar gw. Kali ini sudah
berpakaian rapi seperti biasa.
“Waduh, kok loe belom ngapa-ngapain sih??” cecarnya. “Buruan mandi atuh, emang
mau jam berapa ke sananya?”
“Kayaknya lebih cocok deh kalo gw yg nanyain itu ke loe,” balas gw. “Mau ke
sana jam berapa?? Sekarang mah nanggung ah, entar aja sorean.”
“Eeehh….takut ujan dulu kalo sore mah.”
“Ya udah berarti nggak jadi. Selesai. Ribet amat.”
“Enak aja ngebatalin janji secara sepihak.”
“Loe sendiri bukannya meresmikan janji secara sepihak juga yah???”
“Udah lah debat mulu kalo sama loe tuh,” akhirnya dia berganti wajah cemberut.
“Buruan mandi.”
Dan dengan sejuta keterpaksaan beranjaklah gw menuju kamar mandi. Bukan semata
takut atau patuh pada perintah cewek itu, tapi gw memang kebelet buang air
kecil.
“Jangan lama-lama!” perintahnya lagi setelah gw masuk ke kamar mandi.
“Emang gw pikirin????” sahut gw.
Nggak ada jawaban. Kayaknya dia udah balik ke kamernya. Dan gw sengaja
berlama-lama di kamar mandi, rasanya asyik juga kalo berhasil menyulut
kemarahan Meva. Kurang lebih limabelas menit kemudian gw selesai dan sudah
berganti pakaian. Meva masuk kamer gw lagi.
“Ayo,” ucapnya. “berangkat sekarang.”
“Hah?? Belom juga gw makan??” protes gw.
“Makan di sana aja. Banyak yg jualan kok di sana. Udah yukk, buruan ah. Loe
cowok tapi dandan aja lama banget kayak cewek.”
“Udah lo tunggu di kamer lo ajah,” kata gw. “Entar gw ke sana.”
Satu gerutuan nggak jelas meluncur dari mulutnya tanpa bisa gw dengar sebelum
akhirnya dia pergi juga.. Bodo amat, maki gw dalam hati. Selesai sisiran gw
berjingkat ke kamar sebelah, ke kamar Indra. Yg empunya kamar lagi asyik meluk
bantal dengan iler yg berceceran di samping pipinya.
“Yahh, masih molor ternyata,” kata gw pelan. Tadinya gw mau berkonspirasi
dengan Indra, pura-pura ada janji penting yg nggak bisa ditinggal, maka gw bisa
terbebas dari ‘janji palsu’ Meva. Tapi tampaknya konspirasi itu tidak akan
terlaksana mengingat seonggok manusia yg lagi mimpi jorok kayaknya.
Gw keluar kamar. Meva muncul dari dalam kamarnya secara bersamaan.
“Udah beres lo?” tanyanya.
“Yaudah, tapi kita makan dulu di depan,” kata gw akhirnya
Meva mengangguk setuju. Maka berangkatlah kami berdua ke alun-alun Karang
Pawitan dengan menggunakan angkot kuning. Sekitar duapuluh menitan kami tiba di
sebuah lapang luas yg berbentuk melingkar serta terdapat area lari atletik
mengikuti bentuk lapangan.
“Kita ke sana aja,” Meva menunjuk seorang penjual mie ayam yg menggelar lapak
dadakannya di salahsatu sisi lapangan. “Lo belom makan khan?”
“Seharusnya sih udah di warteg depan gang, kalo aja lo nggak buru-buru ngangguk
ke sopir angkot yg ngetem di depan.”
“Udah ah, yg penting makan, daripada nggak samasekali.”
Gw mencibir pelan.
Kami duduk di kursi dekat gerobak penjual mie tersebut.
“Kuah apa kering neng?” tanya abang penjual ke Meva, dengan sedikit nada genit.
“Saya kering aja Pak,” Meva melirik ke gw. “Lo gimana?”
“Saya kasih kuah deh Bang,” gw sengaja memilih yg nggak sama dengan yg dipilih
Meva.
Si abang penjual segera menyiapkan pesanan kami dengan cekatan.
“Tuh khan, di sini asyik loh. Bisa liat kembaran lo juga,” Meva menunjuk
deretan kandang berisi monyet yg sedang bergelantungan di pohon kecil di
dalamnya.
“Gw nggak nyangka ternyata gw seganteng itu,” cibir gw.
Meva tertawa. Ditoyornya kepala gw.
“Dibilang mirip ama monyet malah bangga,” katanya.
“Haus nih, lo pesen minuman dong..” gw memandang berkeliling mencari gerobak
penjual minuman dan menemukannya di samping gerobak mie ayam yg sedang kami
pesan. Kenapa gw baru liat yah??
Dan Meva pun segera memesan dua teh botol dingin untuk kami berdua. Selesai
acara makan (tentu saja Meva yg bayar) Meva mengajak gw ke bangku taman di
pinggir lapangan yg memang ada di bawah setiap phony g ditanam sengaja untuk
meneduhi pengunjung. Suasana di sini memang teduh sih, gw akui itu. Apalagi pas
mendung kayak gini, cocok banget deh tidur di bawah pohon-pohon beringin ini.
Beberapa bangku sudah terisi oleh sekumpulan orang yg berbincang dan
tertawa-tawa menikmati keteduhan di sini. Bangku-bangku ini terbuat dari semen
jadi nggak mungkin bisa digotong untuk dibawa pulang. Hehehe..
BERSAMBUNG
(too many character)
Part 25-B
13-03-2013
12:52
“Gw kalo lagi bête pasti ke sini,” Meva bercerita.
“Emang kapan lo nggak bête nya?” timpal gw.
“Emh…kapan yah?” dia tampak berpikir. “Kalo lagi sama loe, kayak sekarang ini.
Gw nggak bête.”
“Tadi lo bilang lo ke sini kalo lagi bête, berarti sekarang juga lo lagi bête
dunk?”
“Yeeeey………..bukan gitu maksud gw. Pertanyaan tadi nggak ada hubungannya sama
itu.”
Gw tertawa. Benar juga kata Meva, sekedar duduk-duduk di sini memang
menyenangkan. Gw mulai suka tempat ini. Selain pengunjung atau pejalan kaki yg
beristirahat, ada juga pedagang-pedagang mainan anak kecil serta aksesoris
sederhanasemacam itu di sekitar alun-alun ini. Kalau hari biasa, gw yakin pasti
jam segini dipenuhi dengan anak-anak sekolah yg baru balik. Ada beberapa gedung
sekolah di sekitar sini.
“Eh, lo mau liat monyet-monyet itu nggak?” tanya Meva, membuyarkan lamunan gw.
Dia menunjuk deretan kandang besi di sisi timur.
“Tiap hari gw kiat wajah gw di kaca, itu udah cukup kok.”
“Yeeeeyyy itu mah beda atuh, kingkong itu mah. Hahaha..” Meva tertawa. Entah
kenapa gw merasa tawanya itu menyenangkan. “ada yg lain juga loh, bukan cuma
monyet. Ada kelinci juga, lucu deh. Ke sana yukk?”
“Entar aja ah, gw lagi betah duduk di sini.”
Meva tampak kecewa.
“Ya udah gw sendiri yg kesana, lo tunggau di sini ajah.” Dan dia pun beranjak
pergi.
“Jangan lama-lama, gw bisa jadi pohon beringin juga di sini.”
Meva nggak menjawab. Semenit kemudian dia sudah berada di depan kandang-kandang
itu. Memandang gembira dan kadang menggoda kelinci ataupun monyet yg ada di
dalamnya. Gw sendiri sudah nyaris benar-benar tertidur saking teduhnya di sini.
Sebuah tepukan di pipi membangunkan gw.
“Bangun,” kata Meva. “Ternyata lo beneran kebo ya? Dimanapun berada, tidur
selalu nomor satu.”
“Hawanya bikin ngantuk, dodol.” Gw bangkit dan duduk, Meva di sebelah gw.
“Biar nggak ngantuk, kita maen ini ajah,” dia menunjukkan sebuah kotak kecil
panjang bermotif kotak-kotak hitam putih, dan masih terbungkus sebuah plastik
bening. “Mari bermain catur.”
“Dapet catur dari mana lo?” tanya gw heran.
“Tadi pas balik kesini ada yg jualan maenan di pinggir jalan itu, dan gw liat
ada catur kecil yg dari magnet itu loh, gw beli ajah. Lucu sih.”
“Berarti lo nggak bisa maen catur donk?”
“Gw bisa kok!” katanya semangat. “Gw sering maen catur sama temen-temen waktu
SMA dulu.”
“Lama amat tuh. Lo nggak bakalan menang lawan gw.”
“weleh weleh….sembarangan lo. Gini-gini, Utut si Master Catur aja berguru ke
gw.”
“Masa’?”
“Iya, bener.”
“Masa bodo! Hahaha..”
“Udah, udah, kita buktiin ajah sapa yg lebih jago!” meva membuka plastik
pembungkus dan mulai menyusun bidak-bidak ke petaknya. “Yg kalah bayarin makan
malem di warung Mang Bedjo. okay?”
“Oke!!” gw merasa tertantang. Mendadak kantuk di mata gw hilang.
Gw dapet pion hitam, dan Meva yg putih. Di luar dugaan gw, cewek ini beneran
bisa maen catur! Permainan pertama gw kalah telak, sisa kuda sama kedua luncur
sementara dia cuma kehilangan benteng dan luncur di petak hitam. Jelas gw habis
dibombardir lah!
Dan seperti sudah diduga, saat permainan ke dua berjalan, kuping gw nggak
hentinya dipanasi oleh ejekan-ejekan atas kekalahan gw tadi. Gw coba strategi
andalan gw, dan saat permainan mulai berpihak ke gw, tetesan gerimis yg turun
tiba-tiba terpaksa membuat kami mengemasi set catur. Dengan sejuta perasaan
gondok, gw berlari menghindari hujan dan berteduh di mesjid seberang alun-alun.
Hujan semakin deras beberapa saat setelah kami berteduh. Ah, kalo aja nggak
ujan, gw yakin gw pasti menang tuh! Gw liat jam tangan Meva menunjukkan pukul
setengah dua.
“Va, kita sholat aja dulu yuk? Sekalian berteduh di dalem,” ajak gw.
“Maaf, Ri, gw non-muslim..” kata Meva dengan sangat halus. Dia menunjukkan
kalung salib perak polos yg melingkar di lehernya.
Mampus gw! Gw nggak pernah tau sih sebelumnya, dan menurut gw itu salahsatu
pertanyaan sensitif yg kurang etis untuk ditanyakan. (maaf buat yg baca, gw
nggak ada maksud SARA di sini)
“Oh, maaf, gw baru tau,” ucap gw dengan malunya.
“Enggak papa kok, nyantai aja lah..” dia tersenyum. “Ya udah lo solat ajah,
biar gw tunggu di sini.”
“Kalo gitu lo duduk aja deh di teras, di sini masih kena cipratan ujannya.”
“Lho, emang b
oleh ya gw duduk di sana? Gw kan…”
“Udah nggak papa,” gw menarik tangannya. Menggandengnya ke teras, lalu
meninggalkannya di sana sementara gw melaksanakan sholat. Sekitar limabelas
menit baru gw selesai dan kembali ke tempat Meva menunggu.
Hujan masih turun dengan derasnya. Gw duduk-duduk sambil nunggu hujannya reda.
Dan setelah sekitar satu jam, barulah kami bisa pulang………………..
kalau mau yang lengkap buka aja ini :
atau kalau mau donload juga bisa :
Sepasang kaos kaki
hitam (sk2h) true story by ariardi ginting,
Sumber: kaskus
Part 1
akhir bulan September 2000...
Gue lulusan SMA tahun 1997 dan memutuskan
meneruskan kuliah sampai berhasil mendapatkan ijazah Diploma 3 yg gue
selesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun di sebuah fakultas di kota
kelahiran gue.
dan berbekal ijazah itu gue coba mengirim
lamaran ke beberapa perusahaan di ibukota karena
gue pikir perusahaan di kota tempat gue tinggal nggak begitu menjanjikan.
makanya gue pilih ke luar kota, siapa tau
peruntungan gue memang di sana.
namun berbulan-bulan gue tunggu tetapi belum juga
ada jawaban dari lamaran gue.sudah hampir genap satu tahun gue menganggur di
rumah membebani orangtua.
dan pada pertengahan Agustus tahun 2000 gue
mendapatkan sebuah surat panggilan dari sebuah perusahaan produsen alat-alat
elektronik di Karawang.
gue sendiri heran karena seingat gue, gue hanya
mengirim lamaran ke perusahaan di Jakarta dan Bandung.
tapi namanya pengangguran, gue ambil aja kesempatan
ini.dan berangkatlah gue ke Karawang....
di Karawang gue nggak punya kenalan siapa-siapa.
maka gue keliling di sekitar perumahan yg letaknya dekat ke kawasan industri
biar lebih dekat dengan kantor.
selama tes berlangsung gue numpang tidur di sebuah
mesjid. untungnya tes nya cuma tiga hari.
setelah ada keputusan gue diterima kerja magang,
gue putuskan mencari kosan.
dengan bantuan tukang ojek yg gue kenal sewaktu
ngobrol-ngobrol di mesjid, gue akhirnya menemukan sebuah kontrakan di daerah
Perumahan Teluk Jambe. kontrakan itu lumayan
laris.
dua lantai di bawah sudah terisi penuh dan hanya
ada sisa satu kamar di lantai tiga.
"tinggal yang ini Mas," kata Pak Haji
pemilik kosan menunjuk pintu sebuah kamar di ujung koridor..
gue memandang berkeliling sementara Pak Haji
membukakan pintu untuk gue melihat-lihat kamarnya.
.
di lantai atas ini cuma ada enam kamar.
masing-masing kamar sudah dilengkapi dengan
fasilitas kamar mandi di dalamnya.
dengan harga sewa seratus ribu rupiah per bulan,
gue terima dan mulai hari itu gue resmi jadi penghuni kamar nomor 23.
kamar-kamar di sini terpisah koridor selebar kurang
lebih dua meter.
tiap sisi ada tiga kamar yg saling berseberangan.
gue sendiri merasa cukup beruntung karena mendapat kamar yg posisinya paling
ujung.
kamar gue dan kamar di depan disambung oleh sebuah
tembok pendek berukuran setengah meter sebagai pembatas.
.
besok gue sudah mulai kerja, maka hari ini juga gue
berbenah kamar.
menyapu dan mengepel serta membersihkan dinding
dari sarang laba-laba yang menempel.
nampaknya kamar ini sudah lama tidak ditempati. dan
sesi bersih-bersih itu selesai pukul setengah lima sore.
gue sedang duduk di kursi kecil depan kamar saat
kamar sebelah gue mulai menyetel lagu dengan volume kencang.
.
beginilah nasib anak kos baru, cuma bisa jadi
pendengar setia.setelah capek bersih-bersih dan menyempatkan mendengar tiga
buah lagu yg disetel kamar sebelah, gue turun keluar mencari warung makan.
limabelas menit kemudian gue sudah berjalan di
tangga menuju kamar gue dengan sekantong nasi bungkus di tangan.
.
anak-anak kamar sebelah gue nampaknya masih asyik
tidur di kamar mereka, karena gue tau rata-rata penghuni kosan ini adalah
karyawan yg bekerja di kawasan industri.
hanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar
seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk
lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya.
rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit
menutupi wajah. hidung mancung dan berperawakan lumayan tinggi.
.
saat itu dia mengenakan sebuah celana jeans pendek
se paha, tapi yg menarik perhatian gue adalah kaos kaki yg dipakainya itu.
kaos kaki panjang sampai menutupi lutut.
.
Karawang adalah kota yg panas, maka gue sendiri
aneh melihatnya memakai kaos kaki yg begitu panjang
"sore Mbak," sebagai "anak
baru" gue memberanikan diri menyapa supaya dinilai sopan.diam.
wanita itu bergeming. jangankan membalas sapaan
gue, mengangkat kepalanya pun tidak.
"selamat sore Mbak..." kali ini gue coba
keraskan suara.dia tetap diam.
"sialan," omel gue dalam hati.
maka gue putuskan langsung masuk ke kamar dan
menyantap nasi bungkus gue.
nggak ada yg spesial di hari pertama gue di kosan.
kecuali momen mati lampu pada jam delapan malam,
gue memutuskan segera beranjak tidur karena besok pagi gue tidak boleh
terlambat datang ke kantor.
gue cukup senang listrik mati, karena itu artinya
gue bisa dengan tenang tidur.
kamar sebelah gue mendadak menjadi
"bisu".entah sudah jam berapa saat itu,
dalam kondisi kantuk yg mulai menjalari mata,
samar-samar gue seperti mendengar sebuah suara.
asalnya dari luar,
entah dari sebelah mana.
sebuah suara isak tangis seorang wanita,
gue yakin. isakan kesedihan yg dalam.
bulu kuduk gue merinding.
pikiran gue mulai membayangkan kelebatan-kelebatan
sosok yg bahkan nggak pernah gue tau keberadaannya.
.
gue menaikkan selimut sampai menutup kepala.
suara itu hilang.gue diam memasang telinga berusaha
menangkap suara-suara lagi.
tapi tidak ada suara apa pun.
beberapa menit gue masih terjaga memastikan.
tetap sunyi.
hanya suara degup jantung di dada gue yang
terdengar mengalun berkejaran dengan suara detik jam di dinding..
Sepasang kaos kaki
hitam (sk2h) by ariardi ginting
Part 2
esok paginya gue terbangun dengan kepala pening.
agaknya gue salah posisi tidur semalam. gue
lihat jam setengah enam pagi.
buru-buru gue mandi, gue harus sudah di kantor
jam tujuh meski jam masuk adalah jam setengah delapan.
hari pertama ini gue harus memberikan kesan yg
baik kepada atasan gue.
selesai mandi gue bergegas mencari sarapan.
pagi begini ada penjual nasi uduk
"dadakan" di depan kos jadi gue nggak perlu repot-repot nyari
sarapan.
seperti yg sudah gue bilang, penghuni kontrakan ini
kebanyakan karyawan pabrik.
lapak nasi uduk ini sudah dipenuhi antrian mereka
yg hendak berangkat shif pagi.gue berdiri di belakang antrian.
dari sini gue bisa melihat pintu kamar gue di atas.
dan di tembok pembatas itu, gue melihat dia.
wanita yg kemarin gue temui di depan pintu
kamarnya. dia sedang memandang kosong seperti kemarin.
dan saat gue perhatikan ekspresi hampa nya, gue
jadi teringat suara tangisan yg gue dengar semalam.
apa mungkin tangisan itu adalah suara dia? kalau
dilihat dari sikapnya, kemungkinan besar memang benar.
wanita berkaos kaki hitam, begitu gue memanggilnya
mulai hari ini.
dan pagi itu pun gue memulai hari pertama gue
kerja, atau lebih tepatnya disebut magang.
setelah lewat masa magang selama 1 tahun, gue akan
dipromosikan sebagai staff di bagian General Affair sesuai fresh graduate gue.
suasana kantor cukup menyenangkan dan bersahabat.
meski sangat terkesan kikuk, gue mencoba secepat
mungkin beradaptasi dengan lingkungan kerja yg baru ini.
karena ini hari pertama, gue cuma diberi tugas
ringan.
mengecek data kelengkapan barang keperluan karyawan
dan beberapa tugas ringan lainnya.
gue lebih banyak nganggur.
nganggur bikin gue bengong.
dan orang bengong pasti melamun.
maka mulai melintas pertanyaan-pertanyaan aneh di
benak gue.
tentang wanita berkaos kaki hitam itu.
apa yg selalu dilamunkan oleh dia? apa dia
menderita depresi berkepanjangan?
karena gue lihat nggak ada sedikitpun ekspresi
ceria di wajahnya.
dan lambat laun otak gue mulai dipenuhi
bayangan-bayangan wanita itu.
gue mesti cari tahu. dan sorenya sepulang kerja gue
beranikan diri berkenalan dengan penghuni kamar sebelah gue yg selalu
"berisik".
sore itu dia menyetel lagu band yg sedang naik daun
saat itu.
"kerja dimana Mas?" Indra, nama laki-laki
itu.
kami mengobrol di teras kamarnya.
"di SH**P," jawab gue.
"udah lama?"
"baru kemaren kok. semalem baru gue tidur di
sini."
indra mengangguk.
dan kami mulai larut dalam obrolan ringan.
setelah gue rasa cukup akrab sebagai orang baru,
gue beranikan diri bertanya tentang
'dia'.
"oh iya Ndra, lo tau nggak cewek penghuni kamer
depan gue?"
"emang ada ya yg nempatin kamer itu?" dia
malah balik tanya.
"lah..kemaren gue liat kok. cewek yg pake kaos
kaki item panjang itu?"
"lo liat setan kali?" Indra tertawa
lebar.
"hahaha.. sorry cuy. gue nggak hafal soalnya
balik gawe gue 'ngebo' di kamer.
keluar kalo nyari makan doang, abis itu molor lagi.
sama kamer sebelah juga gue nggak kenal.
cuma sama lo aja.
itu juga lo nya yg ngajak kenalan duluan..
"gue menggaruk kepala yg sebenernya nggak
gatal.
rupanya gue salah pilih informan.
dan rasa penasaran gue semakin membubung dalam
dada.
gue sengaja membuka sedikit gorden jendela kamar
gue supaya bisa mengintip keluar kalau-kalau wanita itu menampakkan dirinya.
gue ingin sekali melihat dengan jelas wajahnya
tanpa tertutup rambut.
berjam-jam gue duduk di samping jendela yg kacanya
rendah ini. tapi pintu kamar di depan gue tidak bergerak se inchi pun.
entah berapa lama gue duduk dalam diam mengawasi
dengan saksama.
tapi nampaknya malam ini misi gue nggak membuahkan
hasil.
gue malah tertidur di samping jendela dan bangun
keesokan paginya dengan kepala lebih sakit.....
Sk2h by Ariadi
ginting
Part 3
minggu pertama gue lalui tanpa kejadian aneh
seperti malam pertama.
rentang waktu ini gue gunakan untuk mengenal
orang-orang di sekitar gue.
selain Indra yg sekarang sudah jadi teman dekat
gue, dua kamar lain dihuni karyawan sebuah perusahaan pabrikan mobil ternama.
mereka terlalu sibuk dengan jam lemburnya jadi
gue nggak begitu sering bertatap muka.
sementara satu lagi
kamar ditempati sepasang suami istri yg sama-sama berkarir sebagai karyawan
swasta.
gue sekarang sudah akrab dengan Indra.
hampir tiap malam gue numpang nonton tivi di
kamarnya karena dengan bekal yg gue bawa dari kampung nggak mencukupi untuk
membeli barang-barang kebutuhan sekunder.
yg penting bulan pertama ini gue punya tempat untuk
tidur dan mandi dulu.
kebutuhan lainnya akan gue pikirkan nanti.
gue berhasil membuat Indra "tobat" dari
kebiasaannya menyetel lagu menggunakan speaker aktif dengan volume berlebihan.
gue menyarankan dia untuk memakai headset dan
sekarang dia jadi maniak headset kalau balik kerja.
dan sekarang lantai atas sudah sepi dari kegaduhan.
satu bulan berlalu sejak kejadian malam pertama,
dan anehnya satu bulan ini gue nggak pernah sekalipun bertemu lagi dengan
'wanita berkaos kaki hitam'.
berkali-kali saat hari libur gue tongkrongin depan
kamarnya sambil main gitar milik Indra.
gue yakin kalau kamar ini memang berpenghuni,
orangnya pasti akan keluar.
tapi nyatanya gue nggak mendapatkan hasil apapun.
kamar ini seolah ditinggal begitu saja oleh
pemiliknya.
entah sudah berapa lama dia nggak balik ke
kamarnya.
kadang gue coba beranikan diri mengintip ke dalam
lewat celah di jendela.
tapi kaca jendela tertutup rapat kertas koran yg
ditempel dari dalam.
dan karena nggak juga membuahkan hasil, minggu
ketiga dan keempat gue nggak lagi begitu tertarik dengan 'wanita berkaos kaki
hitam'.
gue nggak lagi mengintip dari balik jendela ataupun
nongkrongin kamarnya.
aktifitas gue kembali normal seolah tanpa terjadi
sesuatu apapun.
dan meski Indra masih menganggap yg gue lihat waktu
pertama di sini adalah penampakan hantu, gue nggak begitu menakutkannya.
satu bulan pertama berhasil gue lalui dengan baik.
karena gue mulai masuk job training pada
pertengahan menjelang akhir September, gue baru menerima gaji pertama di akhir
bulan berikutnya.
setelah mengambil uang secukupnya dari ATM gue
balik ke kosan membawa beberapa makanan dari mini market.
sekali-kali gue traktir si Indra makan-makan karena
selama satu bulan ini gue memang sering ditraktir olehnya dan gue juga sempat
pinjam uang ke Indra karena bekal gue habis.
maka gajian ini gue lunasi hutang gue. hehehe..
kamar Indra masih tertutup pagi itu.
semalam dia masuk shif malam. gue putuskan menunda
dulu acara makannya sampai dia bangun.
lalu gue duduk di kursi depan kamar gue sambil main
gitar nggak jelas sesuka hati.
gue sudah nggak begitu penasaran lagi dengan
penghuni kamar depan gue karena lelah dengan pengintaian tanpa hasil.
gue mulai berpikir untuk menerima argumen Indra
bahwa yg gue lihat waktu itu adalah penampakan hantu.
maka alangkah terkejutnya gue pagi itu ketika dari
bawah terdengar suara kaki menapaki anak tangga menuju lantai atas dan yg
muncul kemudian adalah dia !!
wanita berkaos kaki hitam itu !!
mata gue langsung terpaku menatap sosok yg berjalan
menuju kamarnya. dan
sama seperti yg gue lihat waktu pertama kali, dia
kali ini juga memakai kaos kaki hitam panjang.
saat itu dia memakai kaos oblong putih dan rok
pendek selutut. rambutnya diikat ke belakang.
gue berhasil melihat wajah wanita itu secara utuh !
bahagianya gue...
dan jantung gue tiba-tiba berdegup sangat kencang
ketika wanita itu menoleh dan tersenyum ke arah gue.
gue balas senyumannya dengan cengiran culun.
"anak baru yah?" dia bertanya sambil
tangannya membuka kunci pintu kamarnya.
nada suaranya terdengar sangat ramah dan
bersahabat.
gue mengangguk.
dan dia tersenyum lagi sebelum akhirnya masuk ke
kamar lalu menutup lagi pintunya.
secara refleks gue bergegas ke kamar Indra mengetuk
pintunya dengan keras.
"Dul, bangun Dul.." teriak gue sambil
tangan gue tetap menggedor pintu.
beberapa lama nggak ada jawaban sampai akhirnya
kepala Indra yg gundul plontos itu muncul dari balik pintu yg terbuka. mukanya
kusut dan berminyak.
"apaan sih ganggu orang tidur aja?!"
Indra menggerutu.
"cewek itu Ndul," kata gue bersemangat.
"cewek mana??" Indra kesal.
"cewek depan kamar gue ! dia barusan dateng
tuh, ada di kamernya !!"
"terus apa hubungannya sama gue?"
"gue mau buktiin kalo dia bukan hantu. gue mau
lo ketemu langsung sama orangnya !"
"busyet..gue baru tidur satu jam udah maen
bangunin aja buat yg nggak jelas!"
"lo tadi tidur jam tujuh, sekarang jam
sembilan. berarti lo tidur dua jam."
"iya..beda dikit!" lalu Indra menutup pintu
lagi dan terdengar suara gerendel yg dikunci dari dalam.
beberapa kali gue panggil lagi tapi dia enggan
menjawab.
gue berdiri terpaku menatap pintu kamar di depan
gue.
gue yakin hari ini semua pertanyaan gue akan
terjawab..
Sk2h by ariadi
ginting
Part 4
ada semacam rasa senang saat memandang wanita
itu tersenyum.
love at the first sight atau entah apapun itu
namanya, gue seperti terkena addict.
gue ingin melihatnya tersenyum lagi. ekspresi tenang
dan menyenangkan yg gue lihat pagi ini benar-benar berbeda dari yg pertama gue
temui dia tengah murung dan melamun.
entahlah, apa sekarang beban pikirannya sudah
hilang?
apa masalah yg menghantuinya sudah benar-benar bisa
diatasi?
gue nggak peduli itu. yg gue pedulikan adalah
gimana caranya gue bisa ngeliat dia senyum lagi ke gue.
dua jam sudah gue duduk mengamati kamarnya tanpa
bergeser se inchi pun dari posisi gue.
sambil menikmati makanan yg akhirnya gue habiskan
sendiri, gue menunggu dia membuka pintu dan menampakkan diri.
saat itulah nanti gue akan coba berkenalan atau
sekedar say hayy.
lampu dalam kamarnya masih menyala.
saking konsentrasinya gue sampai nggak menyadari
kehadiran Indra di depan pintu kamar gue.
"ngapain lo Ri bengong gitu?" kata Indra
sambil kucek-kucek mata dan menguap lebar.
gue menoleh ke arahnya yg menatap gue heran.
"gue pengen buktiin ke elo," kata gue.
"bukti apaan?" sahutnya malas.
"tuh liat," gue menunjuk kamar wanita
itu.
"apaan yg lo maksud?"
"tuh liat lampu kamer nya nyala. berarti ada
orang di dalemnya kan?" gue mengamati ekspresi wajah Indra.
"mana? apanya yg nyala??" katanya datar.
"itu lamp.........." gue terdiam saat
menoleh ke depan dan mendapati lampu kamar di dalamnya mati.
keadaan di dalam sana gelap total.
gue nggak percaya ini.
gue kedipkan kedua mata gue berkali-kali, berharapa
pada kedipan ke sekian gue akan melihat lampunya menyala lagi dan gue akan
bilang ke Indra
'tuh kan..'
tapi lampu itu tetap mati.
"ckckck..." Indra geleng kepala.
"lo beneran liat setan kali Ri!"
gue diam. gue tau posisi gue saat ini nggak
menguntungkan untuk melakukan debat dengannya.
gue hanya heran, kenapa wanita ini sepertinya
enggan menampakkan diri ke orang lain.
"ngapain lagi lo, Ri?" tanya Indra begitu
melihat gue bergerak ke pintu kamar depan gue.
"permisi..." gue mengetuk pintu.
gue tunggu beberapa detik, dan gue ulangi lagi
ketukan saat nggak ada sahutan dari dalam.
"serah lo deh Ri. mau lo bilang cewek pake
kaos kaki item, atau kaos kaki nya dipake cewek... lo kayaknya butuh
dukun," Indra berkomentar.
"dukun? buat apaan?"
"kali aja lo mau melahirkan." jawabnya
asal.
"gue bawa makanannya ya. thanks," lanjut
Indra sambil meraih kantong berisi makanan dari atas kursi lalu masuk lagi ke
kamarnya.
gue diam memandang pintu kayu di hadapan gue saat
ini.
ingin sekali gue mendobraknya dan memastikan wanita
ada di baliknya.
tapi rasa penasaran gue perlahan diselimuti rasa
takut yg tiba-tiba.
"jangan-jangan emang hantu??" batin gue
dalam hati.
"Ndra..." gue berjalan ke kamar Indra.
"utang gue berapa ke elo?" Indra sedan
nonton berita di tivi.
"pego. eh, emangnya lo udah ada buat
bayarnya?"
"ada dong. kemaren gue gajian," gue
mengambil dompet lalu memberikan sejumlah uang yg dimaksud ke Indra.
"thanks ya. laen kali gue nganjuk lagi ke elo.
hehehe..." Indra hanya menggerutu pelan.
"eh, ada temen gue mau kenalan sama elo
Ri." kata Indra.
"temen? siapa? cewek apa cowok?"
"cewek. cakep lagi," Indra mengacungkan
jempol tangannya.
"serius lo?" Indra mengangguk mantap.
"kok bisa, mau kenalan sama gue?" tanya
gue heran.
"temen gue namanya Desi, biasa pada manggil
Echi. temen sekolah dulu sih, ketemu lagi di sini.
doi lagi patah hati ditinggal kimpoi mantannya,
jadi ya butuh temen ngobrol gitu.
tapi inget, jangan macem-macem lo.
jangan di apa-apa in deh."
"busett...kayak gue penjahat kelamin
aja," sahut gue.
"lagian kan udah ada elo? kenapa nggak sama lo
aja ngobrolnya?"
"kan gue sama dia udah kenal? ya sama temen
sekolah gimana sih rasanya? gue pikir sama lo bakal nyambung deh."
"ya udah bawa sini aja anaknya."
"beneran? entar malem gue suruh ke sini
deh." gue mengangguk setuju lalu beranjak pergi.
"eh eh...mau ke mana lo?"
"tidur," jawab gue singkat.
"inget lho pesen gue tadi!"
"iyaa bawel lo!"
gue masuk ke kamar.
sepintas gue pandangi pintu kamar di seberang gue.
tertutup rapat dan gelap di dalamnya.
mungkin tadi memang benar-benar hantu? atau gue yg
berhalusinasi? entahlah, yg pasti saat ini gue butuh yg namanya tidur.
Sk2h by ariadi
ginting
Part 5
malam minggu itu Indra benar-benar membuktikan
ucapannya.
sekitar jam setengah delapan malam dia muncul di
atas tangga bersama seorang wanita yg baru gue lihat.
mereka berjalan ke arah gue yg sedang duduk di
atas tembok beranda pembatas kamar.
"Chi, ini dia cowok yg gue ceritain ke
lo." Indra menunjuk gue.
"Ri, kenalin nih Echi."kami berjabat
tangan.
"salam kenal ya,"
kata Echi seraya tersenyum.
Echi bertubuh pendek, tingginya sekitar di telinga
gue kalau kami sama-sama berdiri.
kulitnya putih dan berambut panjang sebahu.
sebenarnya gue yakin wajahnya manis, tapi agaknya
dia sedikit over dengan make up yg dipolesnya di wajah.
"ya udah kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, gue
mau ngapel." Indra meninju lengan gue pelan.
"inget pesen gue tadi pagi." gue cuma
nyengir.
Indra mengedipkan matanya ke Echi lalu beranjak
turun ke tangga.
"kalian ada 'pesen' apa sih?" Echi
tertarik dengan ucapan Indra tadi.
"eh, enggak kok bukan apa-apa. biasalah Indra
emang ngaco. hehehe..." gue turun dari duduk gue lalu berjalan mengambil
kursi di depan kamar.
"duduk," gue mempersilakan Echi.
"lo sendiri?"
"biar gue berdiri aja gak papa kok."
"kita ngobrol di kamer lo aja deh biar bisa
sama-sama duduk."
"udah gak papa nyantai aja lah. gue lagi
pengen menikmati udara malem," gue memandang ke depan.
lampu-lampu pabrik di kejauhan sana seperti
kunang-kunang di tengah ladang.
gue kerap menikmati pemandangan ini yg sering
membuat gue kangen kampung halaman.
"lo udah kenal lama sama Indra?" Echi
membuka pembicaraan.
"belum sih. gue baru ke sini sebulan yg lalu,
kurang lebih.." gue biarkan angin malam berembus menerpa wajah gue dengan
sejuknya.
"lo sendiri temen sekolahnya kan?" Echi
tertawa.
saat itulah kawat giginya tampak berkilat tertimpa
cahaya lampu.
"kok malah ketawa?"
"enggak papa lucu aja kalo inget jaman sekolah
dulu," kata dia. dan Echi mulai bercerita tentang dia dan Indra yg dulu di
sekolah sering cekcok adu mulut gara-gara hal sepele.
Indra terkenal murid yg suka nyontek, dan setiap
ada kesempatan menangkap basah dia yg lagi nyontek, Echi pasti langsung melapor
ke guru yg mengajar.
jadilah mereka sering ribut.
sejauh ini penilaian gue terhdap Echi adalah dia
anak yg smart.
dia juga pintar membawa suasana dengan candaannya
yg fresh.
samasekali nggak gue lihat kemurungannya akibat
broken heart seperti yg diceritakan Indra tadi pagi.
kami larut dalam obrolan ringan sebagaimana dua
orang yg baru kenal. gue sendiri belum berani menanyakan hal-hal yg bersifat
pribadi darinya dan nampaknya dia pun sama.
cukup lama kami ngobrol tanpa terasa sudah hampir
jam sepuluh malam.
anak-anak kos di lantai bawah yg tadi terdengar
rame dengan obrolan dan nyanyian kini lebih menyepi.
mereka mulai beranjak tidur.
di lantai atas sendiri cuma ada gue dan Echi.
dua kamar yg lain penghuninya sedang lembur shif
malam dan pasangan suami-istri di depan kamar Indra sudah sejak awal mengunci
pintu.
dan kamar di seberang kamar gue, entahlah gue nggak
mengerti.
"eh iya, keasyikan ngobrol sampe lupa ngasih
minum," kata gue.
"mau minum apa? adanya aer putih doang sih.
hehehe..."
"udahlah gak perlu repot-repot." saat itu
gue dan Echi berdiri bersebelahan bersandar pada tembok beranda.
gue pandangi Echi yg sedang menikmati lampu-lampu
di seberang sana.
dan saat itulah gue melihatnya!!
kedua mata yg mengintip dari celah kertas koran di
kaca jendela.
dari seberang kamar gue.
wanita itu...dia kah itu?
"kenapa?" Echi bertanya melihat perubahan
ekspresi di wajah gue.
"ah, ng....anu....enggak papa enggak papa
kok," gue tarik nafas panjang.
"kita turun aja yuk cari makan? gue laper
nih."
"mau makan apa?"
"pecel lele aja deh, yg di deket wartel itu
enak lho. mau?"
"boleh deh..
"walau keheranan Echi mengikuti gue turun
keluar mencari kedai nasi pecel langganan gue.
di sana kami ngobrol-ngobrol lagi.
kami sudah lebih saling kenal sekarang.
dan malam itu gue akhiri dengan mengantar Echi
sampai pertigaan untuk menggunakan angkot balik menuju kosannya.
Sepasang kaos kaki
hitam by ariadi ginting
Sumber: kaskus
Part 6
gue tapaki anak tangga menuju kamar.
tiba di anak tangga terakhir mata gue terpaku
pada sosok wanita yg duduk di beranda sambil memandang kosong ke depan seperti
biasanya.
malam sudah larut saat gw balik mengantar Echi,
dan wanita itu seolah tidak peduli dengan dingin angin ataupun gigitan nyamuk
di lengannya.
dia benar-benar seperti
patung.
gue masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menyapa
wanita berkaos kaki hitam itu.
lalu gue mulai berguling di atas kasur mencoba
mencari posisi yg pas untuk segera tidur.
lima menit...sepuluh...duapuluh....sampai setengah
jam, mata gue enggan terpejam.
gue duduk. memandang hampa atap kamar lalu
memutuskan keluar untuk sekedar menghirup udara segar.
dan wanita itu masih di tempatnya. sama persis
posisi duduknya seperti yg terakhir gw lihat.
"nih," gue menyodorkan lotion anti nyamuk
kepadanya.
ada lebih dari lima ekor nyamuk yg sedang asyik
menyedot darah di lengan kirinya.
"..............."
wanita itu diam.
bola matanya bahkan nggak bergeser satu milimeter
pun dari tempatnya.
"ya udah gue aja yg pake," kata gue,
lebih tepatnya pada diri sendiri.
semenit kemudian kulit gue sudah terlindung dari
nyamuk.
gue pandangi wajah wanita itu, lalu mencoba
mengikuti arah pandangan matanya. hanya menatap deretan lampu-lampu di kejauhan
sana.
"ngeliatin apa sih mbak?" tanya
gue.sunyi.......
"lagi sariawan ya?" kata gue lagi.tetap
sunyi..........
"mau kopi?" masih sunyi...............
"udaranya dingin banget yah?"
"sendal jepit gue putus."
"tadi di jalan tukang nasi gorengnya
brewokan."
aaaahhh..... mulut gue nyaris berbusa mencoba
berbicara pada wanita itu tapi tetap nggak ada jawaban satu huruf pun dari
mulutnya.
gue mulai kesal. gue masuk kamar, mengambil gitar
dan kembali ke beranda lalu duduk di tepian tembok.
tanpa memedulikan orang di sebelah gue mulai
bernyanyi. ada lagu yg liriknya tepat sekali untuk menyindir wanita ini.
sebuah lagu yg waktu itu lagi in banget.
dengan sedikit serak tapi banyak fals nya gue coba
menyanyikan
'Pelangi di Matamu' milik Jamrud.
"tigapuluh menit kita di sini tanpa
suara..." gue yakin lirik awal lagu ini ngena banget.
itu kalau dia mendengarkan.
"dan aku resah...harus menunggu lama...kata
darimu......"
gue terdiam. suaranya terdengar dalam.
ya, wanita di samping gue tanpa gue duga
melanjutkan liriknya.
kedua mata gue melongo menatap wajahnya.
dia samasekali nggak bergerak dari tempatnya duduk,
hanya bibirnya yg tipis terbuka perlahan melantunkan lirik lagu.
gue speechless.
jari-jari gue mendadak kaku untuk memetik senar di
tangan gue.
tapi wanita itu tetap bernyanyi meski tanpa iringan
gitar dari gue.
setelah bisa menguasai diri lagi gue kembali
memetik gitar membiarkan dia yg bernyanyi.
memang ada beberapa kata dalam liriknya yg salah
tapi over all ini adalah lagu yg indah dinyanyikan di malam hari bareng seorang
wanita.tepat saat lagu selesai wanita itu turun dari duduknya, tanpa memandang
gue, lalu beranjak ke kamarnya. lampu dimatikan.
dan hanya hening yg tersisa sekarang.
sampai detik ini gue masih belum yakin kalau yg
tadi itu benar-benar terjadi.
mimpi apa gue denger dia nyanyi sementara untuk
bicara pun dia pelit.
"woy..belom tidur lo?". Indra tiba-tiba
muncul dan membuyarkan lamunan gue.
"eh, tadi dia di sini lho. di sebelah gue.
kita nyanyi bareng malah, lagunya Jamrud itu lho! yg jam dinding nya bisa
ketawa," gue mencecar Indra dengan antusias yg agak berlebih.
Indra geleng kepala sambil elus-elus dadanya.
"gue juga sebenernya pengen ketawa,"
katanya sambil berjalan mendekati gue.
"awalnya gue pikir lo becanda waktu bilang
ketemu cewek itu, tapi kayaknya lo beneran deh."
"kan gu..."
"beneran gila lo!" sela Indra.
"mana? mana cewek itu sekarang? gue jadi
prihatin sama lo. besok kita ke psikiater deh, kalo nggak dukun aja buat
periksain otak lo yg mulai jereng itu."
"gue serius, Dul."
"serius gila nya? hahaha..." gue tarik
napas panjang. lagi-lagi percuma untuk mendebat Indra.
"udah deh jangan bahas itu. gimana tadi sama
Echi nya?" tanya Indra mengalihkan topik.
"engga gimana-gimana kok. biasa aja."
"biasa kayak gimana maksud lo?"
"setau gue yg namanya 'biasa aja' ya nggak
gimana-gimana deh."
"itu kata elo. kalo kata gue, kayaknya lo suka
deh sama dia. iya kan?"
"ah, ngasal aja lo."
"alaah...sama gue aja pake
rahasia-rahasiaan." Indra menyalakan rokoknya.
"terus gimana kelanjutannya?"
"tau deh, ketemu aja nggak tau kapan."
"makanya beli HP doong biar bisa SMS an.
canggihan dikit napa? nih kayak gue," Indra mengeluarkan Nokia 3315 nya.
(jaman segitu ni HP masih tergolong kelas atas cuy! gue aja belom punya HP saat
itu)
"tuh liat bisa bikin gambar sendiri. canggih
kan??" lanjut Indra menunjukkan layar monochrome kuning bergambar sebuah
logo nama dirinya.
saat itulah ada panggilan masuk. Indra segera ke
kamarnya.
tinggal gue sendirian lagi.
cukup lama gue termangu menatap pintu kamar itu.
dan akhirnya gw habiskan malam dengan menyanyikan
lagi lagu itu berkali-kali.
Sepasang kaos kaki
hitam (sk2h) by ariadi ginting
Sumber: kaskus
Part 7
harusnya minggu pagi yg mendung itu gue habiskan
dengan meringkuk di bawah selimut
sampai siang karena semalaman tadi gue begadang
di kamar Indra main Play Station sampai jam empat pagi.
selepas subuh gue baru bisa terlelap.
tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik
kenyamanan gue pagi itu.
awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.
"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal
lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.
"hay Ri..." gue mendapati Echi tersenyum
lebar ke gue.
"baru bangun ya?"
"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap
wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.
"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.
"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait.
gue yakin saat itu gue culun banget.
muka kusut, rambut acak-acakan ditambah sisa-sisa
iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya! )
"masuk gih," gue mempersilakan Echi masuk
sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.
"gue ganggu tidur lo ya Ri?"
"enggak kok nyantai aja lah kayak di
pantai," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.
"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu
gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan handuk.
"staff mana dapet lembur sih? paling yg lembur
orang-orang di jalur produksi aja."
gue duduk bersandar di dinding, seberang tempat
Echi duduk. gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan sisiran
rambut.
"tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini?
perasaan baru semalem kita ketemu deh?
" asap dari mulut gue mulai memenuhi seantero
kamar.
" gue beliin lo sarapan. nih," Echi
menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.
"apaan tuh?"
"cuma nasi uduk kok. kebetulan lewat depan
gang masih ada yg jual. sok dimakan, nanti basi dulu."
"wah lo tau aja gue laper," gue meraih
bungkusan itu.
"sory yah ngerepotin."
"enggak papa kok, enggak ngerepotin
juga."
"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok
beliin sarapan buat gue. yg sering aja ya?"
"yeeeey.....enak aja. tekor dong gue?!
hehehe."
"kok belinya cuma satu? lo udah sarapan?"
"tadi gue belinya memang pas udah mau abis.
itu juga cuma ada segitunya kok."
"lo udah sarapan belum?" Echi menggeleng.
"ya udah kita barengan aja," gue
mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.
"entar lo nya kurang nggak?". Echi
menerima sendok dari gue dengan ragu.
"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli
lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa mematikan rokok gue dulu
di asbak.
"yakin nih?" tanya Echi lagi.
"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo
makan," gue mulai melahap sendokan pertama.
awalnya ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg
sama.dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua.
hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi
di piring.
"thanks ya Chi," gue bersendawa kecil
setelah minum.gue duduk lagi di tempat gue tadi.
menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai
"hidangan penutup" sarapan pagi itu.
gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan
lewat seperempat.
berarti tadi gue tidur hanya sekitar tiga jam.
hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut
gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti mata gue juga ikut pergi
bersamanya.
"Indra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan
lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg sempat menghinggapi gue
beberapa detik yg lalu."eh, enggak kok.
semalaman gue begadang sama dia maen game.
jam segini mah di masih asyik sama bantalnya."
"kalian begadang sampe pagi yah?" gue
mengangguk.
"wah berarti tadi gue beneran ganggu dong? lo
pasti masih ngantuk ya, Ri?" gue tersenyum.
"kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya
basa-basi pura-pura nggak ngantuk.
"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi
tidurnya."
"nah terus elo nya?"
"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa
nada terpaksa.
"lo punya koleksi novel kan? lo tidur aja, gue
mau baca novel deh."
"enggak bosen tuh? kalo nggak kuat dan mau
balik, ya balik aja nggak usah ngerasa nggak enak sama gue."
"lo ngusir nih ceritanya?"
"hehehe.. enggak kok bukan gitu. ya udah tuh
novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di atas lemari kecil di
sudut kamar.
"bentar gue abisin dulu rokoknya. tanggung
nih." beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya.
gue menikmati hisapan terakhir rokok gue, setelah
itu beranjak ke kasur.
rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.
"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.
"wah gue hafalnya doa makan nih." Echi
menepuk kaki gue.
gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan
kehangatan mulai menyelimuti tubuh gue. gue membuka mata. Echi menutup tubuh
gue dengan selimut.
"thanks Chi. lo baik banget yah?"
"udah tidur sana jangan banyak komentar."
Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue.
dia kembali asyik dengan novel yg dipegangnya.ah,
pagi yg dingin ini gue rasakan mendadak hangat.
entah karena selimut ini atau karena sosok wanita
di samping gue.
yg jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke
dunia mimpi..
SK2h by Ariadi
Ginting
Part 8
hari-hari gue kini sedikit banyak berbeda dengan
sebelumnya.
Echi hadir menjelma jadi pengisi kekosongan yg gue
rasakan sebelumnya.
kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka
gue yg ngandong ke kosannya.
kebetulan kami berdua sama-sama non shift
jadi nggak ada istilah jam kerja malam.layaknya
pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan waktu berdua meski harus menolak jam
lembur yg ditawarkan bos di kantor.
gue pikir gaji tanpa lembur gue sudah lebih dari
cukup.
selain itu Echi adalah tipe cewek yg pengertian.
nggak harus selalu cowok yg nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan
gratis dari dia.soal Indra,
awalnya dia heran karena gue sering nggak
menampakkan diri di kosan.
setelah gue beritahu kalo gue udah jadian sama Echi
dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong
"jangan diapa-apain dulu!" yg gue jawab
"udah terlanjur!" jarang balik ke kosan,
itu berarti gue juga jarang ketemu Indra. apalagi dia kan kena shift. makin
jarang lah gue ketemu tuh anak.
hari libur gue lebih suka menghabiskan waktu di
kosan Echi atau sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota bareng dia.
yah pokoknya asal bareng Echi semua berasa indah
deh. hehe...memasuki bulan keempat gue kerja, gue memutuskan membeli sebuah
handphone untuk mempermudah komunikasi gue dengan teman-teman dan juga Echi
tentunya.
sebuah handphone mungil dengan layar monochrome
warna biru gue ingat betul handphone pertama yg gue punya waktu itu. dengan
fasilitas seadanya hp itu tergolong elit lho pada masanya.
perlahan tapi pasti gaya hidup gue yg dulu seadanya
dan gue usahakan sesederhana mungkin, kini mulai berubah ke arah glamour dan
foya-foya. sebagai jiwa muda yg masih berkobar
waktu itu gue merasa sedang dalam momen terbaik di
hidup gue. berpenghasilan lumayan plus punya pacar cantik dan setia membuat gue
mabuk kepayang. beberapa kali bahkan gue mabuk beneran bareng Echi di kosannya.
sudah setengah tahun kini gue bekerja di Karawang.
meski jarang ditempati, tapi gue memilih bertahan di kosan gue.
selain gue juga malas mencari lagi kosan yg lain,
ada Indra yg membuat gue memutuskan bertahan di sana. bagaimanapun Indra tetap
sahabat terbaik gue di kota ini.
dia yg pertama gue kenal dan dia juga yg kerap
membantu saat gue sedang kesulitan alias bisa ngutang dulu gitu! hehehe..
tapi gue akui Indra memang orang baik kok. walau
jarang bertemu kami tetap berteman baik.
dan hari itu genap sudah dua minggu berturut-turut
gue nggak balik ke kosan.
kangen juga pengen tidur di ruangan kecil itu.
pengen maen gitar punya Indra lagi.
maka sepulang kerja gue kirim pesan ke Echi bahwa
gue nggak ke kosannya malam ini.
"wah tumben lo balik," Indra menyambut
gue di gerbang bawah.
"masih inget kamer lo ya??"
"iya gue kangen nih sama kamer gue. pengen
maen gitar juga. lo ngapain di sini?"
"abis balikin setrikaan temen. punya gue
mendadak eror soalnya." kami berjalan menapaki tangga menuju lantai atas
sambil berbincang ringan. rasanya seperti kembali ke rumah sendiri saat gue
pandang berkeliling kamar-kamar di sini.
"wah elo kumat lagi nih ya,". gue
mengomentari volume kencang dari speaker aktif di kamar Indra.
"kan elo jarang balik? nggak ada yg protes
lagi. lagian juga di sini sepi kalo lo nggak ada. kan lo tau gue nggak begitu
interaktif sama tetangga kamer."
kami duduk di beranda. dan saat itulah mata gue
menatap pintu kamar di seberang kamar gue. kamar yg sampai sekarang masih
menyimpan rasa penasaran gue.
wanita itu....dia cukup terpinggirkan beberapa
bulan ini saking sibuknya gue pacaran sama Echi.
"eh, kamer yg itu masih ada penghuninya
enggak?" gue menunjuk kamar itu.
"tau deh gue juga nggak ngerti," Indra
geleng kepala.
"bener kata lo sih, emang ada cewek yg
nempatin kamer itu. tapi jarang keliatan keluar masuk nya. gue beberapa kali
pernah liat dia di kamer ini."
"terus?" gue seperti disulut penasaran
lagi.
"terus apanya? ya biasa aja."
"bukan. maksud gue, cewek itu masih pake kaos
kaki item panjang?" Indra mengangguk lagi.
"menurut lo tuh cewek orang apa setan
sih??" tanya Indra.
"jelas orang lah. mana ada setan pake kaos
kaki?"
"ya kali aja dia lagi kedinginan?" gue
tertawa kecil. gue seperti mendapat sesuatu yg sempat hilang. rasa penasaran
itu, yg sempat sirna beberapa waktu terakhir, kini mulai menjalar lagi di otak
gue.
terakhir gue ketemu cewek itu ya pas lagi nyanyi
tengah malem itu aja. setelah itu dia seolah lenyap.
atau gue yg melenyapkan diri ya?? yg pasti malam
itu gue duduk lagi di tembok beranda.
sambil menyetem gitar milik Indra, gue berharap
wanita itu akany muncul lagi malam ini. gue pengen ketemu dia.Indra lagi shift
malam jadi gue sendirian di sana.
dan sengaja malam ini gue akan menyanyikan lagu yg
sama yg dulu pernah dinyanyikan wanita itu. baru saja gue masuk intro,
terdengar sebuah suara dari belakang gue melantunkan lagunya.
suara yg cukup melekat di pikiran gue.wanita
berkaos kaki hitam itu.
dia ada di belakang gue...
*A1
Lanjutin ga yah
Sepasang kaos kaki
hitam by pujangga lama,
Part 9
bukan.
itu bukan dia...
suaranya lain.
eh, iya itu dia.
tapi bukan! cara menyanyinya lain!
ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan
dan...
"hemmpph........" gue cukup dibuat
terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. nyaris saja gue
terlompat ke bawah.
"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit
terengah karena benar-benar terkejut tadi.
"by the way kok lo ke sini gak bilang dulu
sih?" Echi tersenyum simpul. sangat sederhana dengan sedikit sudut
bibirnya terangkat ke samping.
beda dengan cara dia tersenyum biasanya.
"lo kenapa Chi? kok murung gitu?" tanya
gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.
Echi menggeleng perlahan.
"mau bikin kopi?" gue menawarkan.
Echi menggeleng lagi.
"atau lo laper?" dijawab dengan gelengan
lagi.
gue turun dari tempat gue duduk.
menyandarkan gitar ke dinding lalu berdiri di
samping Echi.
gue raih dan genggam tangannya.
dingin...
tadi sore memang sempat hujan cukup lama dan baru
selesai menjelang malam.
Echi pasti kedinginan. maka gue pun memeluknya.
"kok agak bau lumpur-lumpur gitu yaa?"
gue membatin dalam hati.
gue cari ke sekeliling dan di bawah sana ada
kubangan lumpur becek tergenang air berwarna cokelat.
pasti asal baunya dari sana.
gue membelai pelan rambutnya.
entah kenapa malam ini gue merasa sangat damai
dengan memeluk Echi sambil menatap langit yg pekat bersih nyaris tanpa bintang.
mungkin mereka masih sembunyi gara-gara hujan tadi.
"Ri..." akhirnya Echi bicara.
"kenapa, sayang?" sahut gue di
telinganya.
"lo liat bintang itu?" Echi menunjuk
satu-satunya bintang yg bersinar di selatan langit.
"gue liat." jawab gue.
"seandainya gue jadi bintang itu, lo mau nggak
tiap hari bolak-balik bumi-langit buat ketemu gue di sana?" itu pertanyaan
teraneh yg pernah gue denger dalam hidup gue.
"kok nanyanya gitu?" gue tertawa kecil.
"apapun akan gue lakukan buat elo, Chi."
ciee...gue mulai gombal.
Echi diam merenungi kalimat gue barusan.
gue memeluknya makin erat.
ah, betapa gue ingin selalu seperti ini.
bersama melewati malam dan tak pernah terganti
sampai nanti.
beberapa menit kami sama-sama diam.
hanya menatap langit tanpa bicara.
tiba-tiba nada dering hp gue berbunyi dari kamar
Indra.
gue lagi nge charge soalnya jadi nggak gue bawa.
"bentar ya sayang, gue angkat telepon
dulu." gue lalu bergegas ke kamar.bokap gue dari kampung nelepon. hanya
pembicaraan ringan menanyakan kabar gue di sini dan sedikit perlu dengan uang.
nggak lama, hanya sekitar sepuluh menit lalu gue
keluar lagi hendak menemui Echi.
"heyy..." gue berseru tertahan mendapati
beranda kosong tanpa seorang pun di sana.
"Chi, lo di mana say? mau maen petak umpet
yah??" gue tertawa sendiri.
tapi bingung juga karena di sini nggak ada tempat
buat bersembunyi.
gue tunggu lima menit dia nggak muncul juga. maka
gue cek ke bawah.
gue coba tanya ke temen-temen yg gue kenal dan
katanya mereka nggak memperhatikan karena lagi asyik di kamar masing-masing.
gue coba keluar siapa tau Echi lagi di warung depan
kos, tapi nggak ada juga.maka gue memutuskan kembali ke atas, mencoba
menghubunginya lewat hp.
baru aja gue buka pintu kamar, hp gue berbunyi
tanda sms masuk.
Gue balik dulu ya, Ri...
begitu pesan dari Echi.
langsung gue balas seperlunya ditambah sedikit
basa-basi seperti biasanya.
gue lalu rebahan di kasur.
jam kecil di atas televisi menunjukkan pukul
setengah sembilan malam.
sudah waktunya tidur.
besok pagi-pagi gue harus ke kosan Echi dulu
sebelum berangkat kerja karena pakaian ganti gue memang ada di sana.
di kamar gue sendiri hanya ada beberapa untuk
perlengkapan tidur.
"permisi.." seseorang mengetuk pintu
kamar.bergegas gue buka pintu dan gue lihat penghuni kamar seberang Indra
berdiri menenteng gitar milik Indra.
"udah mau tidur ya Mas? ini gitarnya
ketinggalan di luar, barangkali ilang kan sayang." dia menyerahkan gitar
itu.
"eh iya Pak, tadi saya lupa. makasih banyak
Pak.
"beberapa saat setelah itu gue sudah rebahan
lagi di kasur. malam ini gue pengen ditemani lagu-lagu Mariah Carey. gue cari
kaset CD nya di tumpukan kaset di atas VCD lalu gue setel dengan volume
seperlunya.
damai sekali nampaknya malam ini.gue pejamkan mata.
dan bayangan-bayangan wanita berkaos kaki hitam mulai muncul di benak gue.
gue buka mata dan seketika bayangan itu lenyap.
saat gue pejamkan lagi mata gue, yg muncul di
hadapan gue sekarang adalah wajah Echi.senyuman teduhnya menghantarkan gue ke
alam mimpi..
*A1
SK2H
Part 10
.
"tok tok tok!"
ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur.
ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja
pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya.
"apaan sih lo Ndra?" gue mendengus
begitu tau yg mengetuk pintu adalah Indra.
"masih pagi juga udah gedor-gedor kamer
orang."
"ini kan kamer gue?"
"iya iya. gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi
gedor kamer elo?"
"buruan pake pakean lo!" kata Indra tetap
berdiri di tempatnya.
"ada apaan emang?"
"sms gue masuk nggak sih??" gue cek hp yg
masih tersambung dg charger.
di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan
penuh.
maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu
pesan baru dari nomor Indra langsung masuk.
'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i. nanti
gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'
"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar
cukup hebat.
gue berharap yg gue baca ini hanya sms lelucon.
"tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue
sms elo kok nggak masuk-masuk ya jadi gue pastikan aja ke sini."
"lo becanda kan?"
"gue tau batasan-batasan becanda Ri. ini
serius! semalam gue dapet kabar dari family nya Echi, gue kenal baik
keluarganya dan mereka tau gue juga ada di karawang yaa jadi mereka ngehubungin
temen terdekatnya Echi yaitu gue."
"terus gimana keadaan Echi sekarang??"
Indra menarik nafas berat." dia lagi sekarat.
kepalanya mengalami pendarahan hebat, itu yg gue
denger dari kakaknya yg ngehubungin gue."
"kok bisa? emang gimana kronologinya?"
"yaah... katanya sih Echi lagi nyebrang mau ke
mini market gitu, tanpa dia tahu dari arah kanan ada motor yg melaju kencang
dan terjadilah tabrakan maut itu. sayangnya pelaku penabrakan itu kabur."
seketika darah dalam tubuh gue memanas.
tulang-tulang gue seolah lemas.
gue terduduk dalam diam.
"bukannya lebih baik sekarang kita pastikan
keadaannya di rumah sakit?" gue mengangguk.
maka setelah merapikan diri seperlunya gue dan
Indra bergegas turun keluar.
"lo napa Ndra?" tanya gue melihat Indra
berjalan agak tertatih di belakang gue.
"udah sejak tiga hari yg lalu, gue kecelakaan
kerja di pabrik. kebentur mesin gitu."
"ya udah gue aja yg bawa motornya," gue
berjalan ke tempat parkir.
"motor lo mana Dul?"
"tuh yg Sup*a item. gue lagi pake punya cewek
gue. motor gue lagi turun mesin di bengkel kemaren."
dan berangkatlah kami berdua menuju rumah sakit
tempat Echi dilarikan.
saat itu fajar baru menyingsing tapi gue abaikan
rasa dingin yg menusuk sekujur tulang dalam tubuh.
kami memacu menembus kabut yg memang masih kerap
muncul di pagi hari di karawang.
gue nggak peduli. seperti yg gue bilang semalam
pada Echi, gue akan lakukan apapun untuknya...
-----ahh.....
rasanya sangat sakit.
teramat sangat sakit melihat tubuhnya terkapar tak
berdaya. dengan nafas masih tercekat di kerongkongan
gue cuma bisa terdiam merelakan mobil ambulans yg
membawa tubuhnya berlalu dari tempat ini.
"sabar yah Ri..." Indra menepuk bahu gue
pelan.
"gue tau yg lo rasain saat ini." entah
sudah berapa lama gue menangis.
waktu berjalan sangat lambat.pagi tadi, gue datang
saat tim dokter menyatakan menyerah.
pendarahan di kepala Echi begitu hebat
sehingga nyawanya tidak tertolong lagi.
keluarga Echi memutuskan untuk memakamkan jasadnya
di kota kelahirannya Surabaya.
nggak perlu bertanya bagaimana rasanya kehilangan
orang yg kita sayang dengan begitu tiba-tiba.
samasekali nggak pernah terfikir tentang
kepergiannya ini.
gue dan Echi sedang dalam hubungan yg harmonis dan
mulai membicarakan hal serius tentang hubungan kami.
tapi kini semua itu tinggal lalu.
menyisakan setitik perih yg mengendap di hati.
menurut info yg gue dapat, Echi mengalami
kecelakaan naas itu sekitar jam delapan malam.
"nggak mungkin!" gue masih mencari titik
lemah kenyataan di hadapan gue.
"semalem itu Echi ke sini. gue dan dia berdiri
di sini! kita malah pelukan gitu!" gue menunjuk tembok beranda dimana
semalam gue yakin gue berdiri di samping Echi.
"Ri, Echi itu ketabrak jam delapan. terus
dilarikan ke rumah sakit jam setengah sembilan.. kan lo liat sendiri jam
masuknya tadi." Indra mencoba menjelaskan.
"terus kalo gitu yg semalem ngobrol sama gue
siapa Ndra??" suara gue meninggi diiringi airmata yg jatuh.
"yg gue peluk itu siapa??? lo mau bilang kalo
itu setan lagi?!!"
Indra diam.
dia nggak berani mengkonfrontir gue.
dia lagi-lagi menepuk bahu gue mencoba menenangkan
emosi yg tengah mengurung gue.
"gue tau lo sayang banget sama Echi, dia juga
sayang sama lo. dia selalu cerita ke gue kalo dia tuh pengen lo jadi yg
terakhir buatnya." Indra diam.
gue masih sesenggukan menangis.
"gue nggak bilang yg semalem itu setan atau
apa lah itu..tapi gue yakin, kehadiran Echi waktu itu karena dia pengen ada di
samping lo menjelang saat terakhirnya. mungkin itu semacam ucapan perpisahan
buat lo."
sms itu! gue ingat sms terakhir dari Echi.
segera gue cek hp.
tapi gue terhenyak, karena tadi pagi gue menghapus
semua inbox di hp gue.
dan dalam terapi kejut itu, mendadak gue rasa
semuanya menjadi gelap...
*A1
*mulai ngantuk aye
Sk2h
Part 11
N 6689 M
gue pandangi coretan di kertas kecil di tangan
gue.
sudah dua hari ini gue sering menatap
berlama-lama deretan angka itu meski tanpa hasil apapun.
dua hari yg lalu saat gue ke kantor Polsek gue
mendapat informasi tentang identitas pelaku tabrak lari Echi. salahsatu saksi
berhasil menghafal
plat nomor sepeda motor yg melarikan diri
itu.sebuah sepeda motor Me*a P*o berplat nomor N
6689 M.
untuk identitas pelakunya, sayang belum ada
kejelasan karena saat kejadian si pelaku menggunakan helm full face dan jaket
kulit serta celana jeans hitam sehingga cukup menutup ciri-ciri fisiknya.
yg pasti dia memiliki tinggi badan se Indra lah..
lumayan tinggi. pihak Polisi sedang melacak
keberadaan kendaraan asal kota Malang itu (huruf N adalah kode nopol Malang).
hal ini juga menjadi ironi sendiri buat gue.
dimanapun gue berada, setiap gue melihat sepeda
motor melintas gue jadi selalu tertarik untuk memperhatikan plat nomornya.
siapa tau si pelaku kebetulan lewat di depan gue,
kan bisa langsung gue hajar tuh orang.
tapi gue jadi nggak tenang. gue selalu merasa si
pelaku bisa muncul kapan saja, maka sekali gue lengah gue akan kehilangan dia.
dan sore ini gue duduk di tembok balkon kamar gue
memandang kendaraan yg lalu lalang di bawah.
entah sudah berapa ratus kali gue membaca plat
nomor kendaraan yg gw lihat sejak mendapatkan informasi dari Polisi.
"berdoa aja semoga si pelaku lewat terus nyapa
lo," kata Indra yg tiba-tiba muncul di belakang gue sambil menenteng
gitar.
gue tersenyum kecut.
"ayolah bro...almarhum Echi udah tenang di
sana. jangan bikin dia sedih dengan tangisan kita," Indra coba menghibur.
"lo nggak tau sih gimana rasanya.." sahut
gue lirih tanpa menoleh ke arahnya.
"oke gue gak tau gimana rasanya kehilangan
pacar dg cara seperti ini, tapi gue tau rasanya kehilangan sahabat," Indra
duduk di sisi lain tembok.
"waktu sekolah dulu gue emang nggak terlalu
deket sama Echi, malah lebih cocok disebut Tom and Jerry daripada sahabat. tapi
gue beruntung sekolah di Surabaya, gue jadi kenal sama dia."
"emang lo aslinya darimana?"
"gue lahir dan tumbuh di Sidoarjo. tapi pas
SMA gue ikut Pakde gue di Surabaya sampe lulus kuliah, baru kerja di
sini."
"wah selama ini gue kira lo arek-arek Surabaya
asli."
"weleh weleh...koe nang endi wae toh
le...le...." dia geleng kepala lalu tertawa.
"kaki lo gimana, udah sembuh?"
"yaah lumayan lah udah bisa lari sedikit
sedikit."gue kembali diam melamun.
pikiran gue menerawang membayangkan Echi lagi. ah,
betapa sakitnya rasa ini.
gue akan membalasnya Chi, begitu gue ketemu pelaku
tabrakan itu, gue akan membalaskannya! gue bersumpah gue akan buat perhitungan
dengan dia!!
bukankah hutang nyawa harus dibayar nyawa juga???
"kadang nggak semua pembunuh itu dihukum
mati," kata Indra seolah bisa membaca yg ada di pikiran gue saat ini.
"hutang nyawa memang layak dibalas nyawa, tapi
bukan kita yg pantas membalasnya. ada yg lebih berwenang menentukan balasan yg
tepat. kalau dirasa balasan dari lembaga hukum kurang memuaskan, kita selalu
punya Tuhan sebagai harapan. Dia yg tau segalanya." gue diam mendengarkan
advice nya itu. kalau saja bukan seorang sahabat baik yg bicara, sudah pasti
gue akan tolak mentah-mentah paradigma nya tentang hukuman Tuhan.
gue yakin sore ini akan jadi debat yg menyenangkan.
tapi gue menghormati Indra. pikiran gue lagi keruh,
gue nggak mau menambah keruh lagi dengan debat kusir yg sia-sia.
dua minggu sudah berlalu sejak kecelakaan naas itu.
dan Indra kerap men support gue supaya cepat bangkit dari keterpurukan karena
kehilangan Echi.
gue tau dia pasti iba melihat gue yg akhir-akhir
ini jadi pemurung.
he's my best friend.
thanks guys gue nggak tau apa jadinya gue tanpa
elo, mungkin gue udah nyusul Echi kali yaa...
"pinjem pick punya elo dong Ri," suara
Indra membuyarkan lamunan gue.
"lah..bukannya lo punya pick kesayangan yg
selalu lo bawa kemana-mana itu?"I ndra memang punya sebuah pick
bertandatangan Ahmad Dhani personil grup band Dewa19.
pick itu didapatnya waktu masih aktif di fans club
nya Dewa19 semasa kuliah dulu. sekedar info, Indra memang fans berat sama grup
band itu.
"gue lupa naro dimana. lo punya kan? gue nggak
biasa gitaran pake jari doang."
gue merogoh saku jeans dan mengeluarkan sebuah pick
berwarna orange.
pick murahan yg gue beli di toko pinggir
jalan. Indra mengambilnya dan kemudian mulai
memetik gitar di tangannya.
gue pikir gue akan menghabiskan sore itu dengan
mendengarkan Indra bernyanyi, tapi kami sama-sama terdiam saat mendengar suara
itu.
"suara cewek nangis!" kata Indra.
"dari kamar itu," gue menunjuk kamar seberang.
kamar wanita berkaos kaki hitam..
suaranya jelas. bukan hanya desiran angin, tapi
benar-benar nyata seperti yg pernah gue dengar.
gue beranikan diri mendekat dan mengetuk pintunya.
"Ri, itu..." Indra menunjuk bawah kaki
gue.dari celah sempit di bawah pintu kamar, ada sesuatu keluar mengalir.
cairan berwarna merah. merah pekat dan kental...
DARAH.....!!
Sepasang kaos kaki
hitam
Part 12
.
"heyy...apa yg terjadi? lo baik-baik aja
kan?!" gue gedor pintunya berkali-kali. "buka pintunya!" panik.
berapa kali pun gue memutar handle pintu itu
bergeming.
tidak ada respon dari orang di dalam. hanya
suara tangisnya yg kini lenyap.
"minggir.." Indra memasang kuda-kuda.
gue menepi dan kemudian dia menghempaskan
tubuhnya ke pintu berusaha mendobraknya.
"aaaaarrggggh..."
suara Indra terdengar miris.
dia terhuyung mundur sambil pegangi kaki kanannya
yg kesakitan akibat benturan tadi.
"ah lo belagak di film laga aja,"
komentar gue.
aneh memang di saat seperti ini gue pengen
ketawa.cairan merah di bawah pintu masih menjalar sampai nyaris menyentuh ujung
kaki gue. gue gedor lagi pintunya.
tetap tidak ada jawaban.
"bongkar aja jendelanya," Indra
mengusulkan.
"nih ambil obengnya di bagasi motor gue."
dengan gelagapan gue menangkap kunci yg dilemparnya.
bergegas gue turuni tangga menuju tempat parkir di
bawah. bukan tempat parkir khusus memang, hanya halaman kosong yg cukup luas di
depan bangunan kamar-kamar ini.
"lagi ngapain lo Ri sama motor gue?"
seorang penghuni kamar di bawah muncul ketika gue bersikeras memutar kunci
bagasi salahsatu motor di sana.
"gue mau ambil obeng punya Indra, tapi kok
nggak kebuka-buka ya dari tadi?" gue sedikit menggerutu.
"jelas nggak bisa. itu kan R* King gue? punya
Indra mah yg itu tuh, yg plat nya 'W'."
"upz, sorry bos. gue buru-buru
soalnya."dan semenit kemudian gue sudah berlari lagi menaiki tangga menuju
lantai atas.
sempat terpeleset dua kali, gue tiba di sana tepat
sesaat setelah Indra terhuyung lagi.
rupanya dia masih berusaha mendobrak pintu.
"minggir," giliran gue yg beraksi.
dengan cekatan gue berhasil melepas engsel jendela
kurang dari dua menit.
jantung gue berdebar menebak-nebak apa yg akan gue
lihat di balik jendela ini.
ada sebuah gorden warna merah terpasang di lubang
jendela. bersama Indra gue turunkan daun jendela dan menyandarkannya ke tembok.
"lo aja yg masuk, gue nggak bisa lompat,"
kata Indra.nggak butuh instruksi yg ke dua kali buat gue menyibak gorden merah
itu dan bau amis langsung menyeruak menusuk hidung. gue sibakkan lebih lebar
sementara mata gue terperangah menatap pemandangan di dalam ruang kecil
berukuran nggak lebih dari 4x4 meter itu.
sebuah ruangan dengan pencahayaan redup dari bohlam
kuning yg kusam yg tergantung di atap.
keadaannya nyaris gelap dan gue harus memicingkan
mata supaya bisa melihat lebih jelas.
sampai akhirnya mata gue bisa beradaptasi dengan
kegelapan di dalam sana tangan gue meraba pintu dan membuka gerendelnya.
Gue dan Indra segera masuk ke kamar pengap itu.
yg pertama menarik perhatian gue adalah bercak
darah di depan pintu, yg tadi mengalir keluar lewat celah sempitnya. nampak
seperti bekas diseret dan tetesan-tetesannya menitik menuju ruangan yg lebih
kecil di sana, kamar mandi.
gue dan Indra saling pandang. rasanya kali ini
pikiran kami sejalan.
maka buru-buru kami buka pintu kamar mandi dan.....
baru kali ini gue melihatnya!!
perempuan itu setengah bersandar pada bak mandi
kecil di sana.
dia mengenakan pakaian lengkap plus kaos kaki
merah, ups itu bukan kaos kaki merah.
itu darah!!
darah yg mengalir deras hampir menutupi kedua
betisnya.
kedua telapak tangan perempuan ini juga bersimbah
darah.
dan di samping tubuhnya ada sebuah belati kecil
berlumuran cairan merah.
gue nyaris muntah melihat ini semua.
tubuh gue bergetar lebih cepat dari detakan jantung
gue.
penampilan perempuan itu sangat mengenaskan.
dengan sebagian rambut panjangnya yg menutupi
wajah, gue masih bisa mendengar dia terisak pelan menahan sakit.
"gotong dia keluar," kata Indra.baru saja
gue hendak meraih punggungnya ketika tiba-tiba dia mengambil belati dan
mengacungkannya tepat di wajah gue.
"jangan sentuh gue!!" teriaknya parau.
melengking dan tercekat.
mengerikan untuk didengar.
gue diam.
Indra juga diam.
menunggu apa yg mungkin terjadi.
"keluar kalian!" teriaknya lagi tetap
dengan pisau yg teracung di wajah gue.
"tenang Mbak...kita nggak ada maksud apa-apa
kok," gue coba berdiplomasi.
"kalian brengsek!! kalian sama aja dengan
mereka!!" dia menangis. lebih kencang.
sambil tangan yg memegang belati dipukul-pukulkan
ke dinding bak mandi.
ada kengerian sendiri saat mendengar tiap helaan
nafas yg dia lakukan.
"lebih baik kalian pergi..." suaranya
lebih rendah sekarang.
gue dan Indra saling pandang.
lalu seolah dikomando, gue cekal pergelangan tangannya
dan sebisa mungkin gue lepas belati di genggamannya.
bunyinya bergemerincing saat mata pisau beradu
dengan lantai.
perempuan itu sempat memberontak tapi tenaganya yg
lemah menjadi sia-sia melawan kami.
dengan kaki dan tangan yg masih kejang-kejang
memberontak dia berusaha melepaskan diri.
untung tangan gue berhasil menutup mulutnya
mencegah dia berteriak menarik perhatian yg lain.
"bawa ke kamar gue dulu," kata Indra.
"biar nggak memancing keributan." dan
walau susah payah beberapa saat kemudian kami berhasil memindahkannya ke atas
kasur di kamar Indra..
*A1
Sepasang kaos kaki
hitam
Part 13
.
"DIAM!!!" sebuah tamparan mendarat di
pipi kiri wanita itu.
seketika dia berhenti memberontak.
dengan cukup terkejut gue menatap bergantian
Indra dan wanita itu.
gue nggak nyangka Indra akan melakukan hal itu,
menampar si wanita.
"gue mau nolong lo...please lo jangan
berontak terus," suara Indra terdengar bergetar.
wanita itu diam.
nafasnya terengah-engah.
saat ini seprai kasur Indra yg berwarna putih sudah
nyaris ber metamorfosa jadi warna merah gara-gara darah yg terus mengucur dari
kaki si wanita ini.
"Ri, lo lap dulu lukanya. gue bikin perban
deh," Indra bergegas membuka lemari baju dan mulai menggunting di bagian
depan dan belakang baju yg dia ambil.
"sorry," gue pegang kaki wanita itu dan
mulai menyeka darah dari kakinya dengan secarik kaos yg diberikan Indra tadi.
lukanya cukup dalam.
meski sekarang darah yg mengucur nggak sebanyak di
awal tadi.
wanita itu meringis kesakitan saat gue menyentuh lukanya.
and did you know? yg bikin gue merinding bukan
darahnya, tapi bekas luka yg ada di sekujur kaki wanita itu, memaksa gue
menelan ludah menahan ngeri.
banyak sekali luka sayatan di sana, mulai dari paha
sampai telapak kaki!!
kebanyakan luka lama yg membekas dan belum
sepenuhnya menutup, dan ada tiga luka baru yg gw lihat masih mengucurkan darah.
rupanya luka inilah yg membuat kami mandi darah
hari ini.
saat itu si wanita mengenakan celana jeans pendek
biru, tapi sekarang sudah nyaris menjadi merah juga.
dan gue bener-bener shock nyaris pingsan melihat
semua goresan luka sayat di kaki wanita itu.
apa yg sebenarnya terjadi??
kenapa bisa begitu banyak luka??
siapa yg melakukan ini padanya???
percobaan pembunuhan kah??
atau bunuh diri??
karena di kamar tadi nggak ada orang lain selain
wanita itu.
aah, pertanyaan-pertanyaan gila ini mendadak
memenuhi ruang kecil di otak gue yg nyaris saja pecah menerima kengerian di
depan gue.
seumur hidup baru kali ini gue mengalami yg seperti
ini!!
dengan beberapa potongan panjang kain dari kaos yg
diguntingnya, Indra membalut betis wanita itu.
gue sendiri berinisiatif mengelap darah dari tangan
si wanita. dia nampaknya sudah lebih menguasai diri sekarang.
dia masih menangis pelan.
dari wajahnya gue bisa melihat ada penderitaan yg
teramat dalam di sana.
entah apa itu, mungkin sesuatu yg sangat sulit
untuk dihadapi.
wanita berkaos kaki hitam....
kali ini tanpa kaos kaki hitamnya.
tunggu, apa dia memakai stocking panjang itu untuk
menutupi luka-luka di kakinya??
kalau dilihat dari bekasnya, luka-luka itu jelas
adalah luka yg dibuat beberapa waktu yg lalu. cukup lama.
berarti, apa mungkin dia sendiri yg membuatnya?
tapi untuk apa dia melukai dirinya sendiri??
bukankah itu menyakitkan??
apa tujuannya melakukan hal itu??
huuffftt......gue sandarkan punggung ke dinding.
hanya bisa menatap wanita yg tergeletak lemah di atas kasur.
mungkin dia tertidur.
Indra sudah selesai membalut dan dia baru keluar
dari kamar mandi setelah mencuci bekas darah di tangannya.
"buruan mandi, kita akan bawa dia ke rumah
sakit," kata Indra.
"jangan...." wanita itu berkata lirih.
"jangan bawa gue ke rumah sakit. jangan bawa
gue ke sana.."
"eh, cewek aneh. lo itu mengalami luka serius.
lo butuh pertolongan yg layak."
"nama gue Mevally, bukan cewek aneh."
Mevally..........akhirnya gue tau namanya.
"oke lah siapapun nama elo, kita harus ke
rumah sakit. H-A-R-U-S!!"
"gue nggak apa-apa!" Mevally mencoba
bangkit dan duduk.
"nggak apa-apa lo bilang??" Indra
kernyitkan dahi.
"mandi darah gitu lo bilang nggak apa-apa???
lo nggak ngerasain sakit apa??! gue yg liatnya aja ngeri!"
"gue nggak apa-apa! gue udah biasa!" Meva
bersikeras menolak.
hey..apa maksudnya udah biasa?? apa wanita ini
benar-benar gila untuk melukai dirinya sendiri??!
"terus, lo pikir lo hebat gitu?? dengan semua
luka di kedua kaki lo, lo pikir lo cewek keren?? lo anak Banten yah?"
Indra mencibir.
Meva menangis lagi sambil terduduk.
gue yg sejak tadi diam mendengarkan jadi iba
dengannya.
pasti beban di pikirannya sudah melebihi batas yg
sewajarnya.
ada semacam guncangan hebat yg menerpa dirinya gue
yakin.gue
geleng kepala melihat penampilan cewek yg satu ini.
sangat acak-acakan.
dengan rambut basah oleh keringat dia nampak
semakin berantakan.
"ya udah kalo gitu lo tidur aja dulu,"
gue angkat bicara.
"jangan nangis aja."gue ambilkan segelas
air dan menyerahkannya ke Meva.
dia memegangnya dengan bergetar.
"minum," kata gue.dia menurut.
"makasih," ujarnya pelan seraya
mengembalikan gelas ke gue.
"lo tiduran aja dulu, jangan banyak
gerak." gue membimbingnya merebahkan badan di kasur.
gue sandarkan lagi punggung gue ke dinding.
memandang kosong sosok wanita yg tertidur di depan
gue.
hari ini seperti mimpi.
dari dulu gue memang pengen tau tentang wanita ini.
tapi bukan dengan cara semacam ini.
entahlah, gue harus bersyukur
atau apa.
wanita berkaos kaki hitam.
dia memang wanita yg misterius......
*A1.
SK2H
Part 14
"Ri...bangun Ri....." sebuah tepukan
di bahu membangunkan gue.
"ikut gue."kepala gue mendadak pening.
gue baru saja tertidur selama beberapa menit. tidur sebentar selalu nggak baik
buat gue.
perlahan gue bangkit dan mengikuti Indra ke
tembok balkon. bahkan saat itu gue nggak menyadari pakaian gue masih belepotan
darah wanita itu.
"kita harus bereskan ini sebelum yg lain
tau," kata Indra melirik percikan darah yg
menghubungkan dua pintu kamar.
"gimana sama si Meva? kita perlu bawa dia ke
rumah sakit."
"enggak. lo tau sendiri kan dia ngotot nolak
ke rumah sakit? biar gue minta dokter kenalan gue ke sini. makanya gue butuh
bantuan lo. lo beresin kamernya sementara gue jalan yaa?" gue mengangguk.
dan lima menit kemudian mulailah gue membersihkan
noda darah di lantai sekitar pintu.
"gue nggak lama kok. magrib juga balik,"
kata Indra sambil lalu. langkah kakinya menuruni tangga terdengar semakin
menjauh.
hufft....gue berdiri mematung menatap pintu kamar
Meva. saat berjalan masuk ke sana bau amis langsung menyeruak. bau darah. gue
memutar kepala menyapu pandangan ke semua sudut kamar.hati gue mencelos ketika
gue sadar banyak darah di kamar ini. terlalu banyak darah!
bekas darah yg mengering di lantai dan tembok.
O my gosh!! pantas saja wanita itu jarang terlihat
di sini. dia menjadikan kamar ini hanya semacam laboratorium praktek atau entah
apa namanya. hanya ada sebuah rak buku kecil di dalam sini. padahal
buku-bukunya sendiri berserakan di lantai.dan beberapa pasang stoking
hitam.........
"tempat macam apa ini???" gerutu gue
dalam hati.gue mendekat ke dinding kamar dekat pintu.
jejak tangan berlumur darah membekas jelas dengan
beberapa tetes yg baru saja menempel di sana. bahkan sidik jari wanita itu
nampak jelas di dinding bercat putih ini.melihat semua ini maka nggak butuh
waktu lama buat gue sepakat dengan hati gue bahwa Mevally, wanita berkaos kaki
hitam itu memang gila! ada semacam gangguan jiwa gue yakin itu.sambil berharap
kamar yg sedang gue tempati ini belum jadi lokasi pembunuhan berantai gue
bersihkan bekas darah di lantai.
beberapa kali gue mengalami kesulitan dengan bercak
kering di tembok sebelum gue putuskan menyerah. biar nanti tembok ini dicat
ulang untuk menghilangkan bekas darahnya.lantai sudah gue pel dan buku-buku itu
bertumpuk di tempat yg semestinya. kaos kaki hitam wanita itu gue bawa ke kamar
Indra. gue yakin dia akan butuh ini nanti. Indra datang saat matahari sudah
benar-benar terbenam.
dia bersama seorang lelaki paro baya yg kemudian
gue kenali adalah Dokter Yusuf.
"dia menderita non-suicidal self injury,"
kata Pak Dokter saat kami bertiga keluar dari kamar.
dia baru saja melihat keadaan Meva.
"apaan tuh Dok?" gue bingung.
"kalo dilihat dari bekas luka-luka yg ada, itu
adalah bekas luka yg sengaja dia buat sendiri," Dr. Yusuf coba
menjelaskan.gue merinding sendiri mendengarnya.
"orang bodoh mana yg mau melukai dirinya
sendiri??" gue masih sulit mempercayai yg gue dengar barusan.
"apa enaknya ngelakuin kayak gitu,
nyobek-nyobek kulit tubuh?!"
"itulah yg saya maksud. non-suicidal self
injury atau biasa disebut self injury saja, adalah penghancuran disengaja
diskrit jaringan tubuh tanpa maksud bunuh diri," nampaknya Dr. Yusuf
mencari bahasa yg mudah gue mengerti. gue dan Indra memperhatikan dengan
ekspresi ngeri.
"kita coba untuk menghancurkan tubuh kita,
tapi kita nggak bermaksud untuk bunuh diri. beberapa perilaku menyimpang ini
seperti memotong, membakar dan ukiran kulit untuk mematahkan tulang, atau
menempelkan pin dan jarum pada bagian tertentu tubuh kita. biasanya tangan dan
kaki jadi sasaran empuk penderita ini melampiaskan keinginannya."nafas gue
seperti tertahan di kerongkongan.
bulu kuduk gue mendadak berdiri.
"saya baru denger ada yg kayak gitu Dok,"
komentar Indra.
"kok bisa...punya hobi ngelukain diri
sendiri?" gue mendukung pernyataan Indra.
"dia gila tingkat tinggi ya?"
Dr. Yusuf menggeleng.
"penderita self injury ini normal. samasekali
nggak menderita kegilaan."
"tapi kenapa bisa kayak gitu??"
"mereka melakukan self injury saat pikiran
mereka kalut, takut, pusing atau semacamnya yg sifatnya berlebihan. karena
menurut mereka, dengan cara ekstrim seperti itu bisa menenangkan mereka dan
membawa rasa lega. mereka menggunakan self injury untuk mencoba merasa lebih
baik dalam jangka pendek."
gue dan Indra terdiam. kami hanya saling pandang
keheranan takjub, aneh dan tentu saja ngeri mendengar penjelasan tadi!!
"terus..kami mesti gimana Dok?" tanya
gue.
"lebih baik bicarakan dengan psikiater, karena
ini bukan soal medis belaka, faktor psikis lebih berperan dalam hal ini."
gue benar-benar shock! kegilaan apa ini?? mana ada
orang yg mau melukai dirinya sendiri?? hanya orang-orang bodoh yg nggak
mensyukuri hidup.
huuffftt.....gue terduduk di kursi depan kamar.
sambil mencoba membayangkan rasa sakit akibat melukai diri sendiri, diam-diam
gue justru merasa lebih baik kalau wanita itu adalah hantu...
Sk2h
Part 15
"jadi gimana nih selanjutnya?" tanya
gue ke Indra sambil menatap tumpukan obat yg tadi diberikan dokter.
Indra diam sebentar.
"kita tunggu dia bangun dulu, baru kita
bicarakan baik-baik apa yg harus kita lakukan." jawabnya.
potongan kain di kedua kakinya sudah diganti
dengan perban oleh dr. Yusuf.
wanita berkaos kaki hitam itu kini jadi wanita
"berkaos kaki" putih.
dalam hati gue sendiri
nggak pernah menyangka kaos kaki hitam yg dipakainya ternyata untuk menutupi
bekas-bekas luka yg dibuatnya sendiri.
muncul rasa iba sekaligus takut melihat sosok
wanita yg sekarang sedang tertidur di kasur.
gue melangkah keluar kamar menuju tembok balkon
favorit gue.
haah...betapa tadi gue masih meratapi kesedihan
karena kehilangan Eci dan beberapa jam terakhir pikiran gue tersedot ke wanita
berkelainan jiwa bernama Mevally.
sekarang waktunya gue mengistirahatkan otak gue.
gue duduk di kursi kecil depan kamar yg gue taroh
di sudut tembok balkon.
sambil menjulurkan kaki gue coba pejamkan mata.
menikmati heningnya malam yg sejuk ini.
"Ri," belum juga lima detik gue pejamkan
mata suara Indra terdengar memanggil di sebelah kiri gue berada.
"apa?" gue menoleh.
"gue mau buang pakaian bekas tadi,"
katanya mengangkat sebuah kantong hitam berisi pakaian berlumur darah yg tadi
kami pakai sebelum mandi.
"sekalian beli nasi goreng. lo mau
nitip?"
"boleh tuh."sial, begitu tersedotnya
pikiran gue sampai-sampai gue lupa sejak siang tadi gue belum mengisi perut.
"pedes nggak? telornya dicampur apa
dipisah?" tanya Indra lagi.
"pedes tapi telornya dipisah." itu adalah
menu favorit gue kalau makan nasi goreng. ternyata Indra masih belum hafal juga
padahal gue sering nitip beli nasi goreng ke dia.
"ya udah tolong lo jagain cewek ini
yah.." lanjut Indra lalu melangkah menuruni tangga. suara sandalnya beradu
dengan lantai keramik terdengar seperti sebuah irama yg memecah keheningan
malam ini.heyy...
kok gue baru sadar yaa malam ini sepi banget nih
kosan? pada kemana para penghuni kamar yg biasanya begitu berisik dengan
lagu-lagu dari speaker mereka? sekarang malah suara jangkrik yg bersahutan
menyanyikan senandung mereka.dan
tiba-tiba gue melihatnya! Echi!
dia berdiri di depan tempat gue duduk!!aah..itu di
dalam pikiran gue aja. ketika gue buka kedua mata gue, nggak ada siapapun di
sana. hanya sebuah kekosongan yg begitu hampa. sama dengan yg gue rasakan
sekarang dalam hati gue.sangat menyakitkan rasanya mendapati kenyataan orang yg
kita cintai harus direnggut dengan cara yg begitu tragis. kadang gue menerka
seperti apa wajah
"malaikat pencabut nyawa" yg sudah membuat
gue merasakan sakit yg sangat ini. dan jantung gue selalu berdegup kencang
tanda emosi gue naik setiap mencoba menerka hal itu.gue menarik nafas berat.
ah, rasanya nafas gue selalu berat setelah kehilangan Echi. entah apa yg harus
gue katakan buat menggambarkan sakit ini.gue hanya diam membiarkan otak gue
bermain dengan bayangan-bayangan yg berkelebat nggak jelas. entah sudah berapa
lama gue terdiam saat sebuah suara membawa gue ke alam sadar.
"woii...malah molor di depan kamer!"
suara Indra mengagetkan gue.
"eh, lo udah balik Dul. kok gue nggak denger
suara lo ya?"
"orang tidur mana bisa denger suara?"
Indra tertawa.dia menarik kursi dari depan kamar nomor 21 dan menyeretnya ke
dekat gue.
"laper banget nih gue," katanya.
"kok elo beli tiga bungkus? lo mau makan
dua?" tanya gue melihat jumlah bungkusan nasi di kantong di tangan Indra.
"gue beliin buat cewek itu. kasian dia juga
laper gue yakin."kami mulai menyantap nasi di tangan kami. ah, akhirnya
perut gue terisi juga..rasanya seperti dua tahun kelaparan! (lebay...lebay....)
"udah jam sepuluh nih," gue mengecek jam
di hp.
"tuh cewek belum bangun juga, dan gue yakin
nggak akan bangun sampe besok pagi. jadi gimana?"
"kita tidur aja deh. besok gue kan shif
pagi."
"ya udah gue duluan yaa," gue buka pintu
kamar gue.
"eeh...mau kemana lo?" Indra menarik
leher kaos gue.
"kan lo bilang kita tidur dul??" protes
gue."tidur dimane lo?"
"ya di kamer gue laah. masa di kamer
lo?!"
"ide bagus. lo tidur di kamer gue."
"lho, kok gitu? kan ada si Meva di sana? lo
mau temen lo ini diperkosa sama tuh cewek??"
"aje gile! otak lo isinya bokep mulu!"
Indra menepuk jidat gue.
"tenang aja lo nggak akan diperkosa sama dia.
paling juga kepala lo dikuliti pake silet pencukur jenggot!"
"ogah ah! gue tidur di kamer gue!"
"ya udin gue ikut."
"dari tadi kek bilang lo numpang di kamer gue
gitu..kan nggak perlu debat nggak penting."
"yaah...penting nggak penting serah lo aja
dah."dan kami mulai mencari tempat yg nyaman untuk mengirim kami ke alam
mimpi.
"eh, pintu kamer gue belum ditutup." kata
Indra.
"ya udah tutup sana."
"lo aja deh yg nutup."dengan terpaksa
akhirnya gue beranjak keluar hendak menutup pintu kamar Indra. wanita itu masih
tertidur di sana.
gue sempatkan memandang wajahnya sesaat.
hmm...manis juga sebenarnya. dan wajah itu pun menghilang tertutup daun pintu
yg gue tutup.
*A1
Sepasang kaos kaki
hitam
Part 16
"HUUAA.....JAM SETENGAH SEMBILAAN!!"
setengah berteriak gue bangun dan menatap jam dinding.
"berisik. gue juga tau," kata Indra
dengan santai sambil kucek-kucek mata.
"lo kok nggak bangunin gue dul?"
"nih, lo liat gue juga masih ileran
noh.." dia menunjuk mulutnya.
"gue juga baru bangun."gue pandangi
lagi jam dinding. berharap dengan begitu jarum-jarumnya akan berputar mundur.
tapi gue tau itu nggak mungkin.
hari ini pertama kalinya gue bangun kesiangan di
hari kerja.
"santai aja lah nggak usah dibikin
panik," kata Indra lagi. dia rebahkan diri di kasur.
"busett..kesiangan gini malah nyantai?!"
"terus mau ngapain? maksain berangkat?
kebayang nggak gimana bos lo bakal ngomelin plus maki-maki lo gara-gara dateng
terlambat dua jam?" gue diam.
sepertinya gue mendapat pembenaran dari statement
Indra.
"so?" tanya gue pelan.
"tidur lagi."
gue diam lagi. masih memikirkan mana yg lebih
baik..
memaksakan berangkat dan mendapat 'kopi anget' dari
bos yg galak atau melanjutkan tidur seperti kata Indra.
menganggap hari ini adalah hari kemerdekaan
sehingga sekolah diliburkan.
"ngapain puyeng-puyeng? tinggal bilang aja
kalo kita sakit. beres kan?"
"sakit kan mesti ada surat keterangan dari
dokternya?"
"halaaah...gampang itu mah. bayar sepuluh rebu
juga dapet kertas gituan mah."
gue masih berpikir.
"kelamaan mikir lo," kata Indra.
"udah lo tau beres aja. entar sore gue bikinin
surat sakit buat elo."
"serius lo dul?"
"dua rius, empat, lima, serebu rius gue jamin
deh!" dia tertawa lebar.
"asli nggak nih? gue kan nggak pernah bolos
gawe. gue nggak pengalaman kayak gituan."
Indra mengacungkan jempol tangannya.
"tenang aja," katanya.
dan terbujuk kata-kata Indra akhirnya gue rebahan lagi
di kasur.
terlanjur kesiangan Ri, ngapain berangkat?
kira-kira kalimat itu yg menghibur gue dari kegalauan. maklum aja, selama enam
bulan ini absen gue di kantor sangat baik.
baru kali ini gue nggak masuk.
"eh, gimana sama si cewek itu?" mendadak
gue ingat Mevally.
"mana gue tau? kan tadi gue udah bilang gue
baru bangun. lo coba cek deh ke kamer gue, jangan-jangan dia kabur."
"kenapa sih kalo bagian yg kayak gitu pasti
gue yg kena?"
"yaelaah.....timbang ngecek doang jual mahal
amat lo? kagak ada pahalanya pisan."
"lo deh yg liat."
"ya udah anggep aja tuh cewek masih ada di
kamer gue. beres kan?"
"ah, elo mah suka ngegampangin masalah."
"lha, daripada gue bikin susah? pilih yg mana
hayoo??"
gue mendengus kasar.
"iya..iya...gue yg ngecek."
gue lalu beranjak keluar menuju kamar sebelah.
pintunya masih tertutup. dengan pelan gue buka
pintu dan mendapati wanita itu sedang duduk bersandar ke dinding kamar.
sebagian rambutnya menutupi wajahnya dengan mata terpejam.
"hey, met pagii..." gue coba
menyapanya.hening.
nggak ada jawaban.
padahal gue yakin dia mendengar suara gue.
"met pagii Va.." gue ulangi salam gue.
matanya terbuka. dan dia menatap gue.
cuma ada kengerian sendiri melihat tatapannya.
gue tunggu dia menjawab salam gue.
"kok nggak jawab salam gue?" gue masih
pura-pura menganggap dia nggak mendengar suara gue tadi.
"met pagi..."
senyum di wajah gue hilang mendapati kamar tetap
hening.
wanita itu belum mau mengucapkan sepatah kata pun.
hanya sebuah tatapan tajam yg nyaris menusuk
menembus kepala gue.
"bangun jam berapa tadi?"
gue masih sok ramah. malah sekarang gue duduk di
tepi kasur.
sh*t !wanita ini masih membisu !
"sabar Ri...sabar......" gue dalam
hati.gue alihkan pandangan dari matanya. aneh memang ditatap dengan cara
seperti itu.
sambil berjaga-jaga siapa tau wanita ini melakukan
hal ekstrim, gue mengajaknya bicara lagi.
"lo laper nggak? dari kemaren belum makan
kan?" gue ingat nasi goreng semalam yg membusuk di pojok kamar gue.guys,
dia masih clep diem! cewek macem apa sih sebenernya dia???
"gue beliin sarapan ya? nasi atau
bubur?"aaaaarrrgggghh..!!! sumpah pengen banget gue getok kepala tuh
cewek! dia bener-bener nggak nanggepin gue yg udah cape ngomong?!
"ya udah gue beliin bubur aja ya," entah
kenapa mulut dan hati gue nggak kompak banget.gue bergegas ke kamar gue, cuci
muka lalu turun keluar ke warung nasi langganan gue.
biasanya di sana juga sekalian jual bubur. tapi
katanya buburnya udah habis jadi ya terpaksa gue jalan ke depan gang ke tempat
mangkal tukang bubur sop.
dari sana gue balik ke kamar membawa dua bungkus
nasi uduk buat gue dan Indra, serta sekantong kecil bubur sop buat cewek aneh
plus nyebelin itu.
"nih, silakan dimakan." gue menyodorkan
mangkuk berisi bubur dan segelas air dari dispenser.
"kalo udah makan, lo minum obatnya. nih
obatnya."
gue sodorkan bungkusan obat ke dekat mangkok.
"nggak perlu gue suapin kan?" canda
gue.sepi.
"ah, cape juga ngomong nggak diladenin! serah
lo deh!" gue kesal.
gue masuk ke kamar gue dan langsung melahap nasi
uduk tanpa sela, menghiraukan ekspresi keheranan Indra.
mending Ndra, lo cuma heran. gue nih cape plus
kesel daritadi ngomong nggak diladenin!!
"dasar cewek aneh!" omel gue dalam hati.
*A1
SK2H
Part 17
.
gue hirup rokok di tangan gue dalam-dalam.
"tumben-tumbenan lo ngudud Ri," Indra
berkomentar setengah mengejek.
siang itu gue dan Indra duduk-duduk di tembok
balkon menikmati 'bolos bersama' hari itu.
"lo pikir gue banci?" balas gue.
"eits..jangan salah lo, banci juga
ngudud."
"ngudud beneran atau apa nih? yg jelas dong
kalo ngomong."Indra tertawa lebar.
"itu mah hobi lo Ri."
"najis, ogah gue biar dibayar mahal
juga."
"jadi lo mau kalo nggak dibayar?"
giliran gue yg tertawa.
"nggak usah bahas masa lalu lo deh," kata
gue.
saat itulah pintu kamar Indra terbuka dan Meva
keluar berjalan agak tertatih.
perban di kedua kakinya pasti sudah membuatnya
tidak nyaman.
"mau ke mana lo?" Indra bertanya padanya.
"percuma nggak akan dijawab," kata gue
mengingatkan.
"mau ke kamer gue."
gue menoleh kaget. bercampur kesal gue rasa.
nggak salah nih cewek ngomong?
apa gue yg tadi salah denger yaa?
ah, kali aja tadi gue berhalusinasi seolah denger
dia ngomong.
"lo kebanyakan dosa sih.." Indra berbisik
lalu tekekeh geli.gue hanya mencibir pelan.
"butuh bantuan?" kata Indra lagi pada
Meva.
"nggak perlu, gue bisa sendiri," jawab
Meva tanpa menoleh ke arah kami.
beneran loh, cewek itu ngomong!
gue dan Indra saling pandang.
"padahal kalo sama gue dia nggak mau ngomong
loh," gue menggerutu kesal.
mata gue menatap lekat sosok wanita itu.
dia akhirnya sampai di depan kamar dan masuk ke
dalamnya.
"mumpung dia udah pergi, gue ganti seprai
kasur dulu deh." Indra bergegas menuju kamarnya dan sepuluh menit kemudian
dia sudah kembali lagi dengan gitar cokelat kesayangannya.
"kayaknya bulan ini gue tekor nih," katanya.
"mesti beli baju sama seprai baru. gara-gara
cewek itu." dia memonyongkan mulutnya ke arah pintu kamar Meva.
"tuh cewek pembawa sial kali yaa?"
"ssstt...jangan kenceng-kenceng entar dia
denger marah lho."
"iya gue pelanin deh suara gue," sengaja gue
keraskan volume suara gue.
Indra seperti membisikkan kalimat 'bego lu!' tapi
entahlah gue sendiri nggak yakin karena biasanya dia bilang 'goblok lu!'.
"kalo gue sendiri nggak mau men judge terlalu
dini soal cewek itu," kata Indra.
"yg gue pikirkan sekarang adalah apa yg harus
kita lakukan sama dia. biar kita nggak kena dampak dari kebiasaan anehnya. gue
yakin dia masih punya kemungkinan buat nyerang orang-orang di sekitarnya."
"tapi kan dia cuma melukai diri sendiri?
dokter sendiri yg bilang gitu kan?"
"ya sapa tau aja gitu. waspada bos,
waspada."
"kalo gue sih nggak takut dia akan nyerang
kita. yg gue takutkan gue nggak bisa nahan emosi gara-gara dicuekin sama
dia!"
"hahaha....itu mah tergantung elo nya aja,
kebanyakan dosa sih."
"gue masih punya stok pahala banyak, jadi
tenang aja."
"kalo dosanya lebih banyak ya percuma aja
lah," Indra nyengir lebar.
"eh, tapi dia nggak sepenuhnya cuek kok. tadi
gue ke kamer kan.. bubur sama obatnya udah dia makan tuh."
"baguslah. ternyata dia bisa laper juga
toh."
rokok di tangan gue habis. gue lempar asal-asalan
ke bawah.
"lo kasian nggak sih sama si Meva?" tanya
gue.
"jelas gue prihatin lah. nggak kebayang deh
kalo gue yg punya keanehan macem itu. iiiihh....sumpah ngeri gue."
"menurut lo kita mesti ngapain?"
"ngapain apanya? ya udahlah biarin aja toh dia
bukan siapa-siapa kita kan? kenal juga enggak. tapi yg namanya waspada ya tetep
kudu dijaga. biar gimanapun kita yg paling deket sama kamer dia. kamer
sebelahnya kan udah pindahan."
"pindah? Mang Eko sama istrinya emang pindah
kemana? kok gue nggak pernah liat mereka angkut-angkut barang?"
"ya iyalah nggak akan tau, elo sih ngayap
mulu. mereka udah lama pindah kok, dapet dua bulan lah. katanya sih pindah ke
Gempol gitu biar lebih deket ke tempat kerja."
gue mengangguk pelan.
"by the way enaknya ngapain nih?" tanya
Indra.
"lo udah nenteng gitar kan? ya udah tinggal
nyanyi aja."
"lagu apa? request deh, terus salamnya buat
sapa aja?"
"haha..lo kata request lagu di radio?"
gue menyulut sebatang rokok lagi.
lumayan lah gratisan, rokok ini punyanya Indra.
tiba-tiba gue teringat sesuatu.
"eh, lagunya Jamrud aja yg lagi tenar
sekarang. lo apal kan?"
"yg mana?"
"yg ceritanya jam dinding bisa ketawa
tuh."
"oh itu. gue tau kok, tapi lo yg nyanyi
yaa."
gue mengangguk.
Indra mulai asyik dengan gitarnya. gue pun
bernyanyi. sambil nyanyi sekali-kali gue lirik kamar Meva, berharap pintunya
terbuka dan dia menghampiri tempat ini. kayaknya lagu ini memang lebih cocok
dinyanyikan duet bareng cewek. seperti waktu malam itu..
hey..heyy...kan dia nyebelin? bikin kesel? kok
bisa-bisanya gue ngarepin dia nongol terus nyanyi bareng di sini?
ah, bodo amat. gue lanjutkan nyanyi-nyanyi sampai
Indra nyerah dan memberikan gitar ke gue.
"ngantuk ah," katanya lalu menuju kamar
gue.
gue diam. nggak seru nih nyanyi sendirian.
gue beranjak ke kamar Meva. berdiri di depan pintu
dan mengetuknya. nggak ada jawaban.gue ketuk lagi. dan kali ini jelas terdengar
suara di telinga gue.
suara tangisan seorang wanita....
*A1
SK2h
Part 18
pintunya nggak dikunci.
dengan mudah gue membukanya dan mendapati cewek
itu sedang duduk memeluk lutut di sudut kamar yg gelap dan pengap.
gue meraba-raba dinding mencari saklar lampu.
"jangan nyalain lampu," kata Meva
tanpa menoleh ke gue.
isaknya terdengar lirih di ruang kosong ini.
"kenapa?" sahut gue.
telunjuk gue tertahan di saklar.
Meva menggeleng.
wajahnya masih terbenam di lututnya.
"ada yg mau lo ceritain? seenggaknya sedikit
bercerita dengan orang lain adalah lebih baik daripada dipendam
sendirian," kata gue sok bijak.
"bukan urusan lo."
"heh, lo pikir kalo ada seseorang yg dengan
bodohnya nyoba bunuh diri di depan mata lo, itu bukan urusan lo?? huh..mungkin
lebih baik kemaren gue biarin lo mati tolol di WC." kata gue dengan
sengitnya.
gue sengaja ngomong begitu untuk memancing
emosinya.
kalau manusia normal, gue yakin dia akan
mencak-mencak ke gue. tapi yaah mungkin dia memang nggak normal kali yaa? nggak
ada reaksi apapun dari dia.
hanya duduk dan terdiam.
"come on guys..mau sampe kapan sih lo bisu
gitu? cerita aja apa masalah lo, siapa tau gue bisa bantu."
dan seperti yg sudah terjadi sebelumnya, cewek aneh
ini tetap diam dalam bisu nya.
rasanya gue mulai nyerah ngajak dia bicara. gue
putuskan keluar, menutup pintu lalu duduk di bawah jendela kamar.
masih dengan gitar di tangan, gue mulai bernyanyi.
kalo lo pikir ini seperti cerita-cerita di film
india, lo salah. karena entah dapet ide darimana, gue bernyanyi dengan suara
tinggi melengking dan dengan nada yg sangat mengkhawatirkan. dan hasilnya?
nggak butuh satu menit buat Indra membuka pintu kamar dan melempar sandal tepat
ke jidat gue tanpa sempat gue menghindar.
"kerasukan jin ifrit lo ye??" serunya.gue
hanya geleng kepala sambil nyengir lebar.
"semprul lo.!" katanya lalu menutup
pintu.
dan gue melanjutkan 'ritual' gue.
aneh memang saat kita bernyanyi tapi kita sendiri
nggak kenal lagu apa yg sedang dinyanyikan.
kunci gitar asal-asalan ditambah suara sumbang,
lengkap sudah 'penderitaan' mereka yg mendengarnya.
"mau sampe kapan nyanyi kayak gitu??" sebuah
suara terdengar di atas kepala gue.gue menoleh ke asal suara.
Meva nampak muncul dari jendela yg kacanya belum
sempat gue pasang lagi.
"bukan urusan lo," jawab gue sekenanya.
"lo udah ganggu ketenangan orang lain. lo
bilang bukan urusan gue??"
gue berdiri. menaruh gitar di lantai lalu bicara.
"dengan nyanyi seenggaknya gue bisa
mencurahkan perasaan gue. itu lebih baik daripada mojok di kamer yg
gelap."
"nyindir nih?"
"sorry deh kalo lo ngerasa kesindir."
"kenapa sih lo demen banget bikin orang kesel?"
"enggak papa, gue seneng aja. dengan begitu
kan lo jadi mau ngomong sama gue?" gue mengakhirinya dengan sebuah senyum
lebar.
Meva diam.
gue lihat matanya sembap karena menangis cukup
lama.
"ayo keluar. kita ngobrol di luar. di dalem
sumpek,"
gue menarik tangannya.
"eh..eh...gue masih di dalem nih!"
protesnya.
"sembarangan aja narik-narik orang."
"oh, maaf gue lupa," padahal gue tadi
sengaja.
Meva keluar dari kamarnya dan duduk di tembok
balkon.
entah kenapa kali ini gue merasakannya lagi.
perasaan yg enam bulan lalu pernah gue rasakan saat pertama kali gue
melihatnya. saat gue mainkan gitar dan dia bernyanyi di tengah malam.
"Ari," gue sodorkan tangan.
"lo udah tau nama gue," katanya tanpa
menghiraukan ajakan gue untuk bersalaman.
"ah iya...gue..baru inget," sumpah gue
salah tingkah plus kesel. malu juga sebenernya.
tapi gue tetep coba jaga image.
"jadi udah berapa lama?" tanya gue.
"apanya yg berapa lama?"
"yaah..udah berapa lama nama lo Mevally?"
kedengarannya konyol banget yak !
"pertanyaan yg nggak perlu dijawab," kata
Meva.
"mau minum?"
"thanks. nggak usah basa-basi deh."
"so, apa yg bikin lo sering nangis?"
"harus ya..nanya langsung ke intinya? nggak
ada basa-basinya banget.
"hhhhhh.....beneran kesel gue sama cewek yg
satu ini!!
"gue akui, gue bukan orang yg pinter
berbasa-basi. tapi gue jago lho ngasih julukan ke orang."
"maksudnya?" Meva kernyitkan dahi.
"sejak pertama ketemu elo, gue udah punya
julukan buat lo. lo mau tau? karena belum tau nama lo, gue kasih lo julukan
'wanita berkaos kaki hitam'.
" hahaha..(tertawa dengan hambar)
"gue sekarang pake perban putih tuh.
"gue perhatikan kedua kakinya yg dibalut
perban.
"kalo gitu julukannya wanita ber perban
putih.?"
dia tersenyum kecil.
wouw ini pertama kalinya gue bikin dia tersenyum.
keinginan yg sempat hinggap beberapa waktu yg lalu akhirnya kesampean.
"sakit nggah sih kaki lo?" kata gue.
"lo mau nyoba menyayat kaki lo pake pisau
cutter? nanti lo tau sendiri gimana rasanya."
gue menggeleng merinding.
"ngebayanginnya aja ngeri gue," komentar
gue.
"lo nggak akan pernah tau sesakit apa rasanya
sakit itu sebelum lo ngerasainnya sendiri."
"oiya? tapi kita nggak akan begitu sakit kan
seandainya kita mau berbagi dengan orang di dekat kita?"
Meva terdiam.
sejenak dia ayunkan kedua kakinya. turun dari tembok
lalu kembali ke kamarnya meninggalkan gue sendirian.
*A1
SK2H
Part 19
sore harinya gue terbangun dengan wajah tertutup
sebuah amplop putih kecil berkop tinta biru.
nampaknya amplop resmi dari lembaga tertentu,
dan karena nyawa gue belum sepenuhnya kumpul, gue taruh amplop putih itu di
atas galon.
sambil menggeliat melemaskan otot gue mulai
berfikir soal menu makan yg enak sore ini.
baru saja gue melangkah keluar kamar saat
terdengar suara indra memanggil dari tembok balkon.
"tuh surat sakitnya tadi gue taro di muka
lo," katanya.
"oh, sembarangan aja lo naro barang gituan di
muka gue. mending tuh amplop nggak basah kena iler,"
gue melangkah dan duduk di kursi.
"laper nih. udah beli makan belom?"
"udah barusan."
"yaah nggak bisa nitip dong gue?"
"skali-kali beli sendiri lah."
"busett...jahat amat lo. kan selama ini yg
sering nitip tuh elo, gue yg jadi babu."
"pahala...ri...pahala. lo mau masuk surga
kan?"
"nggak gitu juga kali."
indra tertawa.
"eh, si cewek aneh kemana?" tanyanya.
"dari tadi gue nggak liat dia."
"mana gue tau? kan lo liat sendiri gue baru
bangun?"
"tau tuh, sejak gue bangun satu jam yg lalu
gue nggak liat dia di kamer gue."
"berarti lagi di kamernya."
"ngapain?"
"pertanyaan bodoh yg nggak perlu gue
jawab."
"kenapa?"
"pertanyaan tolol yg nggak perlu gue
jawab."
indra diam.
"padahal kalo kakinya nggak cabik-cabik kayak
gitu, dia seksi lho," katanya lagi.
"lo suka sama tuh cewek?" tanya gue
menyelidik.
"kagum man.. tolong lebih dibedakan antara
kagum dan suka."
"dia cantik kok. ramah pula, sebenernya..kalo
kita udah kenal deket."
"lo demen sama tuh cewek?"
"sekali lagi lo ngajuin pertanyaan bodoh, gue
jorokin lo ke bawah."
"yaelah...gitu aja pundung. kalo emang nggak
ya udah nyantai aja lagi."
"udah ah gue cari makan dulu," kata gue
melangkah turun.
"gue titip sop buah ya?" teriak indra
saat kaki gue memijak anak tangga ke tiga.
gue jawab dengan acungan jempol.ah, sore begini
asyiknya makan yg pedes-pedes.
mie ayam langganan di depan gang selalu jadi
pilihan tepat buat menu kuliner sore.
kali ini gue sengaja pesen yg pedes banget.
setelah mendapat pesanan indra gue mampir ke
salahsatu warteg.
gue beli nasi telor karena gue pikir meva pasti
belum makan. jadilah gue kembali ke kamar dengan tiga bungkusan berbeda.
"ciyee...perhatian amat lo," komentar
indra melihat nasi bungkus punya meva.
gue melangkah menuju kamar meva.
tiga kali gue ketuk pintunya nggak ada jawaban,
jadi gue putuskan langsung masuk dan mendapati meva sedang terlelap di lantai
dengan berbantal lengannya.
"hei..hei...bangun," gue goyang-goyang
bahunya.
"makan dulu baru lanjutin tidurnya."
kedua matanya terbuka.
dia terperanjat kaget melihat gue di sebelahnya.
"ngapain lo?" tanyanya penuh selidik.
"gue belum ngapa-ngapain kok, lo udah keburu
bangun dulu. tidur lagi deh biar bisa gue apa-apain," canda gue.'
PLAKK!' sebuah tamparan mendarat telak di pipi
gue."
busettt ! galak bener non.
gue kan becanda doang."
meva memasang wajah nggak senangnya.
"becanda lo jelek," sungutnya.
"ya udah nih," seraya gue serahkan bungkusan
nasi telor di tangan gue.
"gue cuma mau ngasih ini aja. nih air
minumnya, dan ini obat yg harus lo minum. jangan lupa diminum obatnya."
"lo mau ke mana?" tanya meva begitu gue
beranjak pergi.
"balik ke kamer, daripada kena tampar
lagi."
"maaf...." gue hentikan langkah.
"lo bilang apa barusan?" kata gue.
"maaf...soal yg tadi. gue memang suka bereaksi
berlebihan."
"kalo kata maaf berguna, buat apa ada
polisi?"
"emang apa gunanya polisi? maling aja banyak
yg berkeliaran." gue pandangi matanya yg sayu.
takjub bercampur heran, ternyata cewek ini 'bisa'
ngomong juga.
"kalo butuh apa-apa ke kamer gue aja,"
lanjut gue lalu mundur dan menutup pintu kamarnya.baru sedetik tertutup
tiba-tiba pintu terbuka lagi.
"ari," panggil meva.
"kenapa?" tanya gue.
"thank's buat nasinya."gue mengangguk.
"thank's juga buat tamparannya," gue
dalam hati.
Sepasang kaos kaki
hitam, by pujangga lama
Part 20
.
hari yg dingin kali ini diakhiri dengan hujan yg
turun deras sejak petang.
indra sudah meringkuk di balik selimutnya yg
hangat beberapa saat setelah hujan turun.
gue sendiri belum ngantuk, jadi gue putuskan
malam itu duduk nonton televisi sambil otak gue menerka-nerka kira-kira apa yg
akan ditanyakan bos gue di kantor besok terkait absennya gue hari ini.
dan baru saja gue berhasil memunculkan bayangan bos
gue sedang memandang galak ke arah gue dari balik mejanya ketika pintu kamar
indra terbuka.
"hei meva," gue buru-buru menoleh ke arah
pintu.
"eh, ng......kirain kalian tidur di sebelah
lagi kayak semalem," katanya.
"emang kenapa?"
"yaah gue pikir gue bisa tidur di kasur lagi.
hehehe.."
"si indra udah tidur dari tadi. kalo mau lo
bisa tidur di kamer gue aja, di sana juga ada kasur."
"lho, bukannya kamer lo yg ini ya?"
gue menggeleng.
"ini kamer indra. kamer gue yg sebelah."
gue berjalan ke pintu dan melewati meva.
tiba di depan pintu kamar gue berhenti.
"tidur di kamer gue aja, biar nanti gue tidur
di sini."
"eh, nggak usah lah. udah biar aja, gue tidur
di kamer sendiri nggak papa."
"maksud lo, malem ini lo tidur kayak tadi sore
tanpa kasur dan bantal?"
meva mengangguk. sedikit ragu.
"udah biasa kok," katanya pelan.
"jangan dibiasain."
"mau gimana lagi? keadaannya emang kayak gitu
kok."
"itulah salahnya. jangan biarkan keadaan
mengalahkan kita. kita yg harus mengalahkan dia,"
gue membuka pintu kamer gue.
"gue janji nggak akan masuk kamer ini selama
lo ada di dalem. tenang aja."
"udah lah biasa aja sih. nggak perlu
repot-repot, biar gue tidur di kamer sendiri. gue nggak enak ngerepotin lo
mulu."
"sedikit ngerepotin tapi kalo ikhlas nggak
masalah kok."
"gue tidur di kamer sendiri." agaknya dia
memaksa.
"oke," gue masuk kamer lalu melipat kasur
menjadi satu tumpukan besar.
"mau diapain tuh kasur?" meva melongok
dari pintu.
"gue pindahin ke kamer lo."
"eeh...nggak perlu, nggak perlu. oke gue tidur
di sini." meva masuk dan mendorong gue menurunkan kasur yg sempat gue
angkat.
"oke silakan menikmati mimpi yg indah
nona.." gue melangkah mundur.
"anggep aja kamer sendiri."
"nah, lo sendiri mau ke mana?"
"bawel. ya ke kamer indra lah, masa mau bareng
tidur di sini?"
"enggak, maksudnya kok buru-buru amat? masih
jam tujuh nih, gue juga belum ngantuk."
"mau kopi?" meva menggeleng.
"teh anget?" tanya gue lagi.
"boleh," jawabnya.
"ujan gini asyik tuh minum teh anget."
"kalo gitu silakan bikin sendiri. teh sama
gulanya ada di kaleng di samping dispenser,"
gue menunjuk ke sudut kamar.
"jangan lupa nyalain dulu pemanas
dispensernya."
"gue bikin sendiri gitu?" protes meva.
"yaelaah...timbang teh gituan aja masa kudu
dibikinin sih? lo kan cewek?"
"apa hubungannya cewek sama bikin teh?"
"ya biasanya yg cekatan bikin kayak gituan kan
cewek?"
"nggak mau. lo aja deh yg bikin teh nya."
gue kernyitkan dahi.
"kok malah gue?" gue juga protes.
"kan elo yg mau minum teh?"
"ya udah deh nggak jadi. gue udah nggak
tertarik," dia memasang wajah cemberut.
gue mendengus pelan.
ni cewek masih aja nyebelin. gue jadi penasaran apa
dia emang ngeselin sejak lahir?
gue masuk dan melangkah mendekati dispenser,
menyalakan pemanas, lalu mulai menuang gula dan memasukkan teh celup ke dalam
gelas kosong tanpa air.
"lo sendiri nggak bikin?" tanya meva
ketika gue menyodorkan segelas teh manis hangat yg baru saja gue buat.
"gue lagi nggak pengen," jawab gue
pendek.
meva berhati-hati sekali meminum teh yg masih
mengepulkan asap ke wajahnya.
"lo mau langsung tidur?" tanya meva.
gue menggeleng.
"kalo gitu kita ngobrol aja sambil duduk di
luar," ucap meva.
dia keluar dan duduk di tembok balkon.
gelas teh hangat ditarohnya di sebelahnya.
gue sih ngikut aja. meva duduk di tembok balkon,
sedikit demi sedikit meminum teh manisnya sementara gue berdiri bersandar pada
tembok.
kami menikmati dinginnya angin yg berembus dingin.
"thanks ya tehnya manis, gue suka,"
katanya.gue mengangguk pelan.
gue amati baik-baik wajahnya. masih ada kemuraman
di raut mukanya.
"kalo boleh tau, lo gawe dimana?" gue
beranikan diri bertanya.
"gue kuliah kok di UN**KA, semester
empat."
"ooh.. lo asli sini?"
"bukan, gue lahir dan besar di Padang."
"wah, kok bisa nyasar ke Karawang?"
"namanya juga orang nyasar, bisa kemana aja
kan?" dia tersenyum simpul.
"lo sendiri orang mana?"
"gue dari sebuah kota kecil di
Kalimantan."
"rasanya gue nggak perlu tanya kenapa lo bisa
ada di sini kan?" dan kami tertawa kecil.
malam itu kami berdua mengobrol tentang asal-usul
kami, cerita masa kecil dan masa-masa sekolah dulu, serta beberapa motivasi yg
gue kejar di perantauan ini sambil diselingi candaan segar dari meva.
seperti sudah gue duga, meva memang orang yg
menyenangkan. dia pintar mencari bahan pembicaraan.
memang baru sebatas perkenalan nggak formal tapi
well, malam ini cukup menyenangkan mengobrol ditemani rintikan hujan.
lama kami ngobrol sampai lupa waktu.
kami baru tidur saat malam mulai beranjak pagi..
*A1
Part 21
entah sudah berapa lama gue duduk di atas kursi
ini.
sebaik apapun pembawaan gue dan seceria apapun
keadaan di sekitar gue, toh tetep aja masih ada separuh hati gue yg menangis.
kehilangan echi benar-benar satu pukulan telak
yg nggak bisa gue elakkan.
terlalu sakit buat meyakinkan hati bahwa ini
akan berlalu seperti satu detik yg baru saja terlewati.
dan terlalu dalam perasaan yg telah tumbuh di
hati untuk menganggapnya berlalu.
"gue udah ikhlasin dia kok," kata gue
menanggapi pernyataan indra yg ingin gue segera mengikhlaskan echi.
"ya udah kalo emang ikhlas, jangan terlalu
dibawa sedih terus.." ujar indra.
"kasian echi di sana." indra kepulkan
asap putih dari mulutnya dan membubung tinggi lalu lenyap tertelan dinginnya
malam.
dua isapan lagi dan rokok di tangannya sudah
mendekati ujung.
"lagian kayaknya sekarang lo udah dapet
gantinya echi," indra melirik pintu kamar meva.
"ah, terlalu cepet buat gue nyari pengganti
dia. susah dul nyari ganti cewek yg udah gue sayang banget.."
"mending gitu daripada nggak dapet samasekali,
iya khan?"
gue hanya nyengir sedikit.
"meva cakep kok kata gue," komentar
indra.
dia membuang puntung rokoknya.
"iya tau. gue masih normal kali."
"wedeew.....gue pikir loe udah kehilangan
selera ama cewek. kadang gue suka takut lho, suatu hari nanti lo nembak
gue.?"
dan kami berdua tertawa lebar.
"sialan loe. biar gue homo juga gue
pilih-pilih kali. hahaha..."
"wah berarti gue parah dong sampe cowok aja
ogah sama gue."
"begitulah elo dul. haha.."
"udah ah," indra menengok arlojinya.
"udah mau jam delapan. gue berangkat gawe
lah." indra masuk ke kamarnya dan keluar dengan seragam lengkap.
"di bawah tivi ada mie instan tuh, lo masak
aja kalo laper," katanya.
gue mengangguk.
"eh iya, gue abis beli kaset baru tuh. tonton
gieh semaleman sampe puas." dia tertawa kecil.
"iya, udah berangkat sana."
"oke oke. kayaknya loe seneng banget gue
pergi?"
gue lempar sandal tapi meleset.
"udah berangkat sana, telat kena marah bos
lo."
"iya iya gue cabut dolo." dan kurang dari
semenit kemudian gue mendapati diri gue seorang diri di beranda.ya, gue memang
lebih sering sendiri di sini. kalo indra shif malem, gue cuma punya beberapa
jam buat ngobrol-ngobrol sepulang gawe, sampe dia berangkat gawe.
sementara meva, seperti biasa, sudah beberapa hari
ini gue nggak melihat dia. nampaknya dia mulai lagi dengan kebiasaannya yg suka
"menghilang".
setelah beberapa hari sempat rutin ngobrol di
tembok beranda yg menghubungkan kamar kami, gue kembali merasakan sepi. dan
kesepian selalu membuat gue merasa semacam sentimentil yg membawa gue dalam
kesedihan.
sudah berhari-hari gue perhatikan pintu kamar meva
tidak pernah terbuka.
itu yg membuat gue yakin dia
"menghilang", seperti biasanya. semenjak gue kenal dekat 'cewek aneh'
ini, meva selalu menyempatkan ngobrol bareng gue sepulang gue kerja. itu kalo
dia lagi ada di sini, kalo lagi pergi (gue selalu lupa menanyakan hal ini ke
dia) ya begini inilah gue.
sendiri dan sepi.
tapi gue pikir gue akan terbiasa dengan kesendirian
ini.
maka alangkah terkejutnya gue ketika tiba-tiba saja
sosoknya muncul di atas tangga, sambil membawa beberapa kantong plastik yg
nampak seperti belanjaan.
gue sempat mematung di kursi menatap ke arahnya.
"lagi ngapain?" tanya meva ramah.
"duduk," jawab gue.
dalam hati gue bersyukur karena malam ini gue bakal
punya temen ngobrol.
meva, khas dengan stoking hitamnya, berjalan
mendekat ke gue, menaruh semua kantongnya, lalu menyilangkan kedua tangannya di
depan dada dan menatap lekat gue.
"ngapain lo?" gue sedikit protes dengan
tatapan matanya.
"berdiri," jawabnya pendek.
gue mendengus pelan.
"nggak enak kan dapet jawaban kayak
gitu?" meva mencibir.
"iya sorry," kata gue.
"bawa apaan tuh?" gue menunjuk kantong di
lantai.
"tadi abis belanja di minimarket. oh iya, lo
udah makan belom? gue beli mie ayam tuh buat lo."
"yaah...barusan aja makan tadi abis
isya."
"waduh, jadi gimana nih mie ayamnya? gue
sengaja beli buat lo."
"ya udah lo makan aja.""gue juga
barusan makan, masih kenyang ah."
"lagian lo sih sok baek pake beliin gue
mie."
"yaelaah sekali-kali dapet pahala boleh
lah."
"emang darimana lo malem-malem gini baru
balik? udah kemaren pergi nggak bilang-bilang lagi."
"hadeuh..baru juga jam delapan, ri." meva
menunjuk arlojinya.
"ehem..lo kangen ya sama gue?"
gue kernyitkan dahi.
"iya kangen mau nimpuk lo pake sendal,"
cibir gue.
"ciie...ciiee....." godanya sambil
kerlingkan mata ke gue.
dan dia pun tertawa.
"eh iya, gue minta tolong dong.."
"tolong apaan?"
"gue udah pindahin barang-barang dari kosan yg
dulu ke kamer ini. bantuin gue beresin kamer gue ya?"
"ooh..kapan?"
"sekarang atuh," dia menarik tangan gue.
tiba di kamarnya, ternyata benar, ada beberapa
tambahan perabot kamar yg sebelumnya nggak pernah gue lihat. dan setelah beradu
argumen antara 'besok' dan 'sekarang' akhirnya malam ini gue habiskan dengan
beres-beres kamer dan diakhiri dengan makan mie bareng meva....
*A1
part 22
“woi Ri...bangun woii................” sebuah
suara di pagi hari membangunkan gw dari tidur.
“sapa sih??” gw menggerutu tanpa pedulikan orang
itu.
“ganggu orang tidur aja.”
“busett dah ni anak susah amat bangunnya,” suara
cewek.
Tepat di samping gw.
Gw yakin pasti si Meva. Dia mengguncang bahu gw
beberapa kali.
“kan lo janji mau bantu gw beresin kamer? Bangun
laaah......”
“............................”“
bener-bener dah ni anak kayak kebo tidurnya!”
“entar deh siangan aja....” kata gw dengan malasnya
tanpa bergerak sedikitpun dari posisi tidur gw.
“sekarang aja siih,” dia mulai merengek.
“nanti siang gw ada kuliah...”
“ya udah kalo gitu kuliahnya sekarang aja, biar
siangnya bisa beres-beres kamer,” gw masih bertahan di balik selimut.
“enak aja. Emang pangkat gw apa bisa ngatur-ngatur
jadwal kuliah?”
“cuti, cuti. Bisa kan?”
“iiih....lama-lama lo nyebelin. Buruan bangun! Kalo
nggak gw bakar dah ni kamer lo.”
“bakar aja gak papa.........”
“Aaaarrrriiiiiii..................................
...........” dia kembali mengguncang bahu gw, kali ini dengan keras.
“B-A-N-G-U-N!!”
“iya iya gw bangun!” gw sibakkan selimut dari tubuh
gw.
“nah, gitu dong,” seru meva senang.
“namanya janji itu harus ditepati. Inget janji
adalah hutang.”
“.................................”
“yah, dia malah tidur lagi,” meva mengomel lagi.
“ayo lah bangun!”
Gw balikkan badan menghadap ke arahnya.
Dengan mata masih setengah terpejam gw paksakan
untuk duduk.
Gw ingat dua hari yg lalu memang janji akan
membantu Meva berbenah kamarnya.
Dia memang baru pindahan dua malam yg lalu.
“masih ngantuk Va......” kata gw sedikit memelas.
“cuci muka biar nggak ngantuk,” nampaknya cewek ini
tetep keukeuh
gw harus bantu dia pagi ini.
“masih pagi nih. Nggak bisa entar-entaran yah?”
pinta gw.
“sekarang udah jam delapan, Mas.....udah siang!”
“jam delapan masih pagi atuh. Setengah jam lagi deh
ya abis itu gw beneran bangun deh. Ya ya ya?”
dan tubuh gw kembali ambruk ke kasur.
“lagi-lagi tidur,” Meva menggerutu.
“baru tau gw ternyata lo susah amat bangunnya.”
Gw rasakan pipi gw ditepuk-tepuk.
“bangun lah ri, dua jam lagi gw udah harus udah ada
di kampus.”
Gw bergeming. Dan tepukan di pipi gw semakin keras.
Sekarang malah sudah pantas disebut tamparan.
“sakit Meva!!” gw bener-bener bangun sekarang.
Duduk sambil usapi pipi gw yg merah.
“hehehe.....” Meva nyengir lebar.
Hebat sekali dia!
Tanpa sedikitpun bersalah dengan santainya dia
tertawa setelah menampar gw.
“makanya bangun coba. Tuh gw udah bikinin teh
anget.”
“lain kali nggak pake tamparan ah,” protes gw.
“hehe..iyah maap, ya abisnya loe susah amat sih
bangunnya? Terpaksa gw pake kekerasan deh.” Gw mencibir.
“udah cepet cuci muka sana. Muka lo jelek amat kalo
baru bangun tidur.” Dengan masih menggerutu gw beranjak ke kamar mandi.
Sekedar cuci muka lalu keluar kamar. Meva sudah ada
di kamarnya.
Sebenernya males banget sumpah, hari Sabtu bangun
pagi kayak gini.
Gw biasa bermalas-malasan dan memilih bangun lebih
siang kalau hari libur seperti ini.
Tapi yah mau gimana lagi, gw terlanjur janji ke
Meva bakal bantuin dia berbenah kamarnya hari ini.
Dua malam yg lalu, Meva memang baru saja
memindahkan sebagian barang miliknya dari kosan yg lama.
Gw baru tau ternyata selama ini dia menyewa dua
kosan.
Satu di sini dan satu lagi di daerah Gemp*l.
Dan dia sering bolak-balik kedua kosannya ini
karena memang bosan.
Tapi jujur aja, selama ini gw nggak pernah
menyinggung atau mempertanyakan soal kebiasaan anehnya yg gemar melukai diri
sendiri.
Gw takut ini akan merusak mood nya, dan malah nanti
akan mendorong dia melakukan lagi hal aneh dan ekstrem itu.
Biarlah gw anggap dia cewek normal aja.
Gw pura-pura nggak tau tentang keanehan dalam
dirinya.
Dan memang dia normal kok.
Sebagai teman ngobrol dia asyik dan nyambung diajak
bicara, Cuma memang ada beberapa momen gw temui dia tengah melamun seperti
biasa.
Kalo udah kayak gitu, bahkan kebakaran pun mungkin
nggak akan mengalihkan perhatiannya.
Entah hobi atau memang tuntutan profesi. Hehehe....
“Ri, sini deh..” panggil Meva dari dalam kamarnya.
“ada yg bisa gw banting?” gw masuk ke kamarnya.
Masih kamar yg sama, kamar yg gelap dengan lampu
penerangan yg remang-remang, sama seperti pertama gw masuk ke kamar ini
beberapa waktu yg lalu.
“menurut lo kasur ini enaknya ditempatin di mana
ya?” Meva berdiri di sudut kamar, di sebelah kasur yg terlipat di sudut lain
kamar.
“dimana aja boleh,” komentar gw.
“asal jangan di kamer mandi aja.”
Meva melotot ke arah gw dengan tatapan
‘gw kan nanya serius?!’
“di situ aja deh,” gw menunjuk tempat dia berdiri
saat ini.
“ya udah, sok atuh gelar kasurnya,” dia berjalan ke
arah gw.
“kenapa mesti gw? Kan elo sendiri bisa?”
“kenapa mesti gw? Kan elo udah janji mau bantu gw?”
“gw emang janji ngebantu Neng, bukan jadi
pembantu.”
“udah, sama aja. Buruan kerjain,” Meva mendorong gw
ke tempat kasur.
“huh, kerja rodi ini mah.”
Omel gw.
Tapi gw kerjakan juga memindahkan kasur ke tempat
yg gw tunjuk tadi.
Selain lampunya yg tetap redup, kamar ini memang
sedikit mengalami perubahan dengan penambahan beberapa perabot semacam galon
dan dispenser.
Ada juga lemari kecil tempat baju, dan beberapa
piring dan gelas untuk makan dan minum.
Sebuah tas punggung tergeletak di dekat pintu, dan
beberapa buku tambahan jug tergeletak begitu saja di sebelahnya.
Dibandingkan dulu yg hanya ada rak buku, kamar ini
jelas lebih padat sekarang.
Acara hari ini adalah nyapu dan ngepel kamer dan
membersihkan kamar mandi.
Dan itu semua gw yg kerjakan sementara si Meva
duduk manis memperhatikan pekerjaan gw!
Memang hebat cewek yg satu ini! Hah?!
“oke deh, semua udah selesai. Gw kuliah dulu yaa..”
kata Meva.
“udah jam sembilan lewat nih.”
Gw cuma bisa melongo melihat cewek ini mengepak
buku-bukunya ke dalam tas.
Hari ini lo nyebelin banget! Gw udah dipaksa bangun
pagi, cape-cape ngerjain sendiri dan setelah semua beres, lo maen tinggal kabur
aja!
Bener-bener dah ini cewek.............!!
“nah, terimakasih lo udah bantu gw beresin kamer.
Sekarang gw berangkat yaa,”
Meva melambaikan tangan dan beranjak keluar.
“tunggu dulu,” gw menahannya di depan pintu.
“ya?”
“lo mau berangkat?” tanya gw.
Meva mengangguk.
“udah gitu aja? Lo maen pergi aja setelah gw
beresin kamer lo??”
“agenda hari ini emang itu kan? Inget..janji adalah
hutang.”
Gw menarik nafas panjang. Kesel bener gw, sumpah!
“ya udah berangkat sana,” kata gw akhirnya.
Meva tersenyum. Senyuman manis yg dulu pernah gw
idam-idamkan.
Dia benar-benar tersenyum untuk gw.
Tapi kekesalan gw pagi inis edikit merusak
senyumnya di mata gw.
“daah.....” ucapnya lalu bergegas pergi.
Gw cuma bisa mengomel dalam hati.
Yaaah, sudahlah....mau diapain lagi.
Gw tutup pintu kamar Meva dan beranjak ke kamar gw.
Lebih baik gw melanjutkan tidur sampe malem........
*A1
Part 23
Tadinya gw pikir gw baru akan bangun setelah
1000 tahun setelah seorang puteri mencium gw, tapi baru setengah jam gw
terlelap (itupun sudah dengan susah payah) ternyata suara berisik dari luar
berhasil membuat gw terjaga.
Pengapnya kamar juga membuat gw sesak bernapas.
Maka gw putuskan segera keluar dan duduk di
tembok balkon dengan rambut dan wajah masih acak-acakan.
Indra sedang duduk di depan
pintu kamarnya, dan Pak Haji sedang berbincang bersama seorang pria di depan
pintu kamar nomor 20, kamar kosong yg ditinggalkan oleh pasangan suami istri yg
dulu menghuninya.
Nampaknya pria itu akan jadi penghuni baru di kosan
ini.
Pria berambut ikal dengan kumis dan jenggot lebat
serta berkacamata.
Hampir sebagian wajahnya tertutup rambut-rambut
dari kedua jambangnya.
“Siapa tuh dul?” tanya gw ke Indra yg berjalan
mendekat.
“orang baru,” katanya seraya duduk di sebelah gw.
“gantiin Mas Harjo.”
“ah, tapi tetep aja bakal sepi seperti biasanya.
Liat aja dua kamar di seberang kita, udah kayak nggak ada penghuninya aja.
Mereka nggak pernah bersosialisasi sama kita-kita ya?”
“mereka pada sibuk. Wajarlah, gawe di pabrik
otomotif macem gitu, pasti lemburannya kenceng,” dia mengambil sebatang rokok
dan menyulutnya.
“kadang gw suka iri sama mereka berdua, pasti asyik
yah punya gaji gede.”
“tapi lo mesti ngorbanin banyak waktu lo, kayak
mereka ini. Lo mau?”
“yaah...kalo Sabtu-Minggu masih libur sih oke aja
gw mah. Yg penting duid banyak.”
“yaelaah...syukuri aja apa yg ada dul.”
“haha.. iya sih, gw segini juga udah bersyukur
banget dapet gawean. Temen-temen angkatan gw aja masih banyak yg nganggur.”
“gw juga ngerasa beruntung bisa nyampe sini. Di
kota kelahiran gw lapangan pekerjaannya nggak seluas di Jakarta ataupun di
sini. Makanya sejak awal kuliah dulu gw udah tekadkan untuk ngerantau. Jauh
dikit dari orangtua gak papa lah asal lebaran bisa balik.”
“eh, pacar lo itu asli mana sih?”
“pacar yg mana?”
“gebetan baru lo itu, si cewek aneh. Anak mana
dia?”
“bujug buneng, sejak kapan gw jadian sama tuh
cewek?”
“tapi keliatannya lo deket banget sama Meva.”
“deket bukan berarti jadian kan?”
“yaah....kali aja entar kalian bisa jadian.”
Gw tertawa pelan.
“gw terlalu sayang sama Echi, dul. Susah banget
ngelupain dia.”
“yaaah mulai lagi deh ngomongin ini.” Indra
menggaruk kepalanya.
“kenapa sih lo terlalu sentimentil gitu?”
“namanya orang ditinggal pacar gimana sih? Lo belum
pernah ngerasain ini sih......”
“gw emang nggak pernah ngerasain ditinggal pacar,
tapi gw tau gimana kehilangan yg lo rasain. Sejak SMP gw ditinggal bokap gw.
Seenggaknya gw tau gimana rasanya ditinggal mati.”
“udah ah, jangan bahas ini.” Gw menggeliat
melemaskan otot.
Di depan kami Pak Haji dan pria itu nampak turun ke
tangga.
Dari pembicaraan yg sempat gw dengar upanya mereka
sudah menemukan kesepakatan dan si pria akan mulai tinggal di kamar itu nggak
lama lagi.
“gw tidur dulu ya? Dari balik gawe semalem gw belum
tidur nih. Mumpung libur bisa seharian ngebo. Hehehe...”
dan Indra berjalan ke kamarnya.
Tuh kan, gw sendirian lagi... huh, mungkin gw
memang ditakdirkan untuk selalu sendiri.
Iseng gw berjalan ke kamar Meva.
Di depan pintu gw hentikan langkah.
Pemilik kamar ini pasti masih sibuk di kampusnya.
Secara baru satu jam yg lalu dia pergi. Gw buka
pintu kamar dan masuk ke dalamnya.
Berdiri memandang berkeliling memperhatikan hasil
kerja gw barusan, lalu gw duduk di tepi kasur.Kenapa sih tuh cewek seneng
banget gelap-gelapan di kamer?
Gw pernah sarankan ganti lampunya dengan lampu
freon tapi Meva menolak dan ingin mempertahankan lamu kusam di kamarnya ini.
Lalu pandangan gw beralih ke lemari kecil tempat dia menyimpan pakaiannya.
Gw ingat benar waktu Meva membenahi lemari itu, ada
banyak stoking hitam yg biasa dipakainya.
Bener-bener, meskipun gw udah lumayan kenal dekat,
tetep aja Meva merupakan sosok misterius di mata gw.
Gw yakin, banyak yg nggak gw tau tentang cewek yg
satu ini.
Dan pandangan mata gw tiba-tiba terpaku ke tumpukan
buku di samping dispenser.
Mendadak gw pengen tau anak Sipil kalo kuliah
belajar apa aja ya..
gw ambil buku paling atas di tumpukan.
Sebuah buku tulis besar tapi tidak terlalu tebal.
Sesuatu jatuh dari dalamnya saat gw membuka halaman
pertama.
Secarik kertas warna abu-abu. Mirip potongan dari
sebuah surat kabar.
Gw ambil kertas kecil itu. Memang potongan dari
sebuah halaman surat kabar.
Tapi bukan surat kabar biasa.
Ini surat kabar berbahasa Inggris.
Di bagian paling atas potongan itu terdapat judul
”Children of God”.
Dan di bawahnya tampak wajah seorang pria bule, tua
dan berjanggut putih.
“hebat juga tuh cewek bacaannya koran Inggris,”. gw
tersenyum kecil.
Gw taruh lagi potongan kertas itu ke dalam buku.
Gw nggak mau menimbulkan kecurigaan dengan mengacak
isi kamar ini.
Saat gw buka lembar ke tiga buku itu, terdapat
potongan surat kabar lagi. Kali ini kertasnya tertempel di halaman buku.
Buku ini pasti adalah kliping, kata gw dalam hati.
Tapi anehnya lagi-lagi gw menemukan kata ”Children
of God” di judul potongan surat kabar itu.
Beberapa gambar tampak kumpulan orang sedang
menyembah sesuatu, dan seperti seseorang yg sedang berdiri di tengah ruangan
dengan kaca berukir mozaik layaknya sebuah gereja.
Di halaman lain gw menemukan sebuah artikel
berjudul
“Anak-Anak Tuhan Mulai Masuk ke Indonesia”.
Dan gambar pria tua berjanggut putih kembali
menghiasi gambar penjelas dari artikel ini.
Di bawah gambarnya ada kalimat
“David Berg, pendiri Children Of God”.
Gw buka lagi lembar berikutnya dan kali ini sebuah
artikel berjudul
“The Family Was Exist”.
Karena gw nggak begitu ahli berbahasa Inggris,
butuh empat sampai lima kali buat gw mencoba menterjemahkan kalimat di artikel
itu.
Tapi tetap saja gw nggak paham dengan isinya.
Pandangan mata gw tertuju pada sebuah majalah
berbahasa Inggris yg tergeletak di bawah buku yg gw ambil.
Lagi-lagi wajah pria tua itu gw lihat, di cover
depan terpampang sebagai sampul majalah, dan gw sangat tertarik dengan tajuk
majalah itu :
”Children of God”.
Gw nggak begitu hafal isinya, tapi ada satu kalimat
yg menarik perhatian gw. Bunyinya kurang lebih seperti ini :
In the quitness of your chamber when you’re alone,
you can tell Me you love Me and you can show Me you love Me. For this intimate
and special way of loving Me...
Kalimat itu banyak muncul di beberapa halaman.
Entah apa arti kalimat itu, gw nggak begitu
tetarik.
yg pasti gw sendiri memang bukan kutu buku y hobi
baca, apalagi bacaan yg aneh-aneh macem ini.
Gw tutup majalah dan gw taruh lagi di tempatnya
sebelum gw ambil.
Gw samasekali nggak mengerti dengan artikel-artikel
yg dikoleksi Meva.
Selera baca yg aneh, menurut gw.
Dan setelah ini gw benar-benar yakin bahwa cewek yg
satu ini memang benar-benar aneh.....................
*A1
Sepasang Kaos Kaki
Hitam by pujangga.lama a.k.a Ariadi Ginting
Sumber: kaskus
Part 24
Gw tetap terjaga sampai malam tiba.
Dan seperti malam-malam sebelumnya, malam minggu
ini gw cuma duduk di balkon sambil bermain gitar.
Indra tadi sempat mengajak bermain PS
tapi gw akui gw nggak ahli dalam bermain game
seperti itu.
Indra sudah tenggelam di depan layar tivinya
beberapa saat setelah maghrib.
Malem ini suasana
kosan terbilang ramai.
Dua kamar yg nyaris selalu kosong karena
penghuninya lembur, sekarang terbuka lebar dengan alunan lagu-lagu remix
terdengar nyaring dari salahsatunya.
Sedang asyik bernyanyi terdengar suara langkah kaki
menaiki tangga.
Dan sesuai dugaan gw, Meva muncul dari tangga.
Dia tersenyum begitu melihat gw.
Tapi jujur saja gw masih kesal soal tadi pagi.
“malem minggu nggak ngapel Ri?” tanyanya dengan
nada riang.
Gw sengaja acuh dengan pertanyaannya.
Gw berpura-pura menyibukkan diri dengan nyanyian.
“hallooo..........” dia todongkan wajah di depan
wajah gw dengan jarak yg sangat dekat.
“ada orangnya nggak nih?”
“lagi keluar,” jawab gw pendek.
“yaah padahal saya ada perlu penting Pak. Mau
nraktir makan orang yg namanya Ari.”
“oh..ada, ada. Saya sendiri.”
Meva tertawa.
“hadeuh......giliran makan aja nyaut,” dia menepuk
pipi gw pelan lalu beranjak ke kamarnya.
“kemana lo?? Katanya mau nraktir???”
“enggak jadi, kan tadi katanya lagi keluar.” Jawab
Meva tanpa menoleh ke gw.
Di depan kamar dia berhenti, lalu balikkan badan.
“tadi pas gw pergi lo masuk kamer gw yaa?” tanyanya
menyelidik.
“eh, enggak. Ngapain juga gw ke kamer lo? Nggak ada
kerjaan banget.”
Gw bohong.
“yah sapa tau lo iseng gitu, terus nyuri daleman gw
lagi.”
“anjrid,,emang gw cowok apaan nyuril gituan? Masih
banyak yg lebih berharga buat dicuri.”
“hehe.. iyah gw becanda. Gitu aja sewot ah!” lalu
dia berbalik lagi dan masuk ke kamarnya.
Belum ada setengah menit dia keluar lagi ke tempat
gw duduk.
“udah makan belum lo?” tanyanya.
“gw lagi keluar, kalo mau nraktir entar aja next
time.”
“ciie ilee.... lagu lo kayak orang penting aje.”
Meva memukul bahu gw pelan.
“mau makan gratis nggak nih? Mumpung gw lagi baek
hati.”
“serius nggak lo?”
“waduh, lo meragukan gw nih. Masa kayak gituan aja
gw bohong? Mau nggak?”
“oke deh, bentar gw taro gitar dulu.”
“eh, temen lo mana? Sekalian aja ajak dia.”
“lagi maen PS di kamernya,” jawab gw dari dalam
kamar.
“lo tanyain sendiri aja.”
“ogah ah, lo aja.”
“kenapa mesti gw mulu sih?”
gw keluar kamar.
“ya udah.. ya udah, kalo nggak mau ya udah kita
berdua aja deh. Buruan, gw laper nih.”
“gw tanya dulu deh,” gw masuk ke kamar indra.
Dia sedang asyik bermain balap mobil.
“mau makan nggak?” tanya gw.
“lo mau ke warung?” indra balik tanya tanpa
mengalihkan pandangan dari layar tivi.
“gw makan di sana. Si Meva yg nraktir, kalo mau
makan gratisan ikut kita yuuk.”
“oh, sama si aneh itu. Ya udah lo berdua aja deh.
Gw nitip dibungkus aja ya?”
“bener lo nggak mau ikut?”
“lagi nanggung seru nih.”
“ya udah. Kayak biasa kan?”
“iiyaaa.....jangan lupa kasih sambel pedes yah.”
“oke.”
Meva sudah menunggu di ujung tangga.
“gimana? Temen lo nggak ikut?” tanyanya.
Gw menggeleng.
Dan akhirnya kami berdua pun berjalan menuruni
tangga.
Ternyata di luar lumayan dingin.
Gw suka heran, kalo siang kota ini kerasa panas
banget, tapi begitu malam panasnya seolah hilang berganti dingin yg kadang
menusuk tulang.
Kami berjalan menyusuri jalanan yg sepi.
Maklumlah, ini bukan jalan utama, dari sini ke
jalan raya jaraknya lumayan jauh.
“eh, tumben lo ngajakin gw makan?” tanya gw.
“yah anggep aja ini sebagai ucapan terimakasih gw
karena tadi pagi lo bantuin gw beresin kamer gw.”
“oh, thanks deh kalo gitu.” Meski sempat kesal,
akhirnya perasaan itu hilang. Yah seenggaknya Meva bukan orang yg nggak tau
terima kasih.
“maaf yah tadi pagi langsung gw tinggal.
Gw buru-buru soalnya.
Gw tau lo pasti kesel, iya kan?”
“ah, enggak kok. Ngapain kesel cuma gara-gara hal
sepele kayak gitu?”
“oh, gw kirain lo marah tadi pagi. Hehehe..
”Gw tersenyum simpul.
“mau makan apa nih?” tanya Meva menunjuk deretan
kedai-kedai dadakan di pinggir jalan.
“apa aja deh. Lo sendiri mau makan apa?”
“pecel lele kayaknya enak tuh. Lo mau?”
“ya udah kita makan pecel aja.”
Kami masuk ke sebuah kedai lumayan besar dan
langsung memesan dua porsi pecel lele.
Selain kami, ada dua orang pembeli di kedai ini.
“ehm, Mas, saya pake nasi uduk yah?” kata gw ke si
penjual.
“eh, saya juga dong Mas.. nasi uduk dua-duanya
yah?” sahut Meva.
Mas mas si penjual mengangguk dan segera mengurus
pesanan kami.
“tadi ngapain aja di kampus, kok sampe malem baru
balik?” tanya gw.
“yaah biasalah anak kuliahan paling nongkrong di
kampus doang. Tapi tadi kebetulan ada tugas tambahan dari dosen, jadi gw mampir
ke kosan temen dulu numpang ngerjain soalnya gw nggak punya komputer sendiri.”
“kenapa nggak beli aja biar nggak ribet?”
“males ah,” ujar Meva menggelengkan kepala.
“gw lebih suka pinjem daripada punya sendiri. Ribet
gw ngurusin barang kayak gituan.”
“gw malah kepengen banget punya komputer.”
“ide bagus tuh.
Gw setuju deh loe beli komputer.”
“iya, biar lo bisa pake sepuasnya komputernya kan?”
“hehehe.. tau aja lo.”
“jelas lah gw hafal sama orang-orang nggak modal
kayak lo.”
“idiiih....kata sapa gw nggak modal? Lah ini
buktinya gw nraktir lo makan?”
Gw mencibir.
“eh, lo pinter bahasa Inggris yah?” kata gw
mengalihkan pembicaraan.
“enggak juga ah, kok lo nanya gitu?”
“ya enggak, soalnya di kamer gw liat lo kayaknya
seneng ngoleksi kliping dari koran berbahasa asing gitu.”
“tau dari mana lo? Wah, jangan-jangan lo beneran
ngoprek barang-barang gw yah?”
“ah, enggak kok orang cuma liat-liat aja dikit.”
“liat-liat tanpa ijin sama aja ngoprek, dodol...”
“beda.”
“sama.”
“ah, udah ah jangan dibahas. Males gw debat sama
cewek.”
“ya elo duluan yg ngebahas.”
“eh, tapi kok kliping punya lo isinya tentang apa
tuh namanya.............. ‘god god’ gitu deh. Tau ah namanya apaan. Kok gituan
semua?”
“tuh kan elo yg bahas lagi?” meva mencibir.
“emang apaan sih yg namanya ‘Children of God’ itu?”
Meva diam sejenak.
Ada sedikit perubahan ekspresi di wajahnya.
“bukan apa-apa kok.
Itu tugas kliping salahsatu mata kuliah.
Gw sendiri nggak begitu paham dengan
pembahasannya.”Gw mengangguk beberapa kali.
“beneran aneh nih cewek,” kata gw dalam hati.
“ngumpulin kliping tapi nggak ngerti sama yg
dikumpulin.”
“eh, besok lo lembur nggak?” tanya Meva membuyarkan
lamunan gw.
“enggak,” gw menggeleng.
“kenapa emangnyah?”
“kalo lo nggak sibuk, besok temenin gw yuk.”
“ke mana?”
“jalan-jalan aja sih. Ke tempat nongkrong favorit
gw kalo lagi bete.”
“di mana tuh?”
“alun-alun Karang Pawitan alias KaPe.” Meva nyengir
lebar.
“oh, yg deket mall itu?”
Meva anggukkan kepala.
“mau yaah? Yaah mau yaaah?” pintanya.
“asyik loh di sana tempatnya.”
“liat besok aja deh, gw paling males kalo bangun
pagi soalnya.”
“yaaah kok gitu? Pokoknya harus mau, oke? Deal.”
“waduh, maen deal-deal ajah.”
Gw memprotes keputusannya yg sepihak itu.“enggak
ada kompromi. Oke? Nah, tuh pecelnya udah jadi. Selamat makaan...”
Gw mendengus kasar. Apa boleh buat, kami samasekali
nggak bicara selama makan.
Setelah menyantap habis hidangan di depan meja kami
berjalan kembali ke kosan.
Gw sempat pesen sebungkus buat Indra sesuai
pesanannya tadi.
Di perjalanan balik kami nggak banyak ngobrol.
Gw juga malas ngobrol, yg ada nanti malah debat
soal rencana besok. Kebisuan itu berlangsung sampai tiba di kosan.
Gw ke kamar Indra sementara Meva langsung tidur di
kamarnya.............
Part 25-A
13-03-2013
12:51
Minggu pagi yg dingin. Gw terbangun saat langit di luar Nampak sedikit
menghitam tertutup awan hujan. Ah, senangnya gw karena pagi ini gw nggak
direcoki cewek aneh si Meva. Gw lihat jam dinding menunjukkan pukul setengah
sebelas. Cukup siang, tapi karena mendung jadi saat ini Nampak seperti masih
jam delapan pagi.
Gw menggeliat dengan malasnya. Sambil memikirkan menu apa yg enak buat sarapan
sekaligus makan siang kali ini, gw duduk di tepi kasur. Masih dengan nyawa yg
baru setengah kumpul gw duduk melamun. Sampai sebuah suara dari kamar mandi
mengagetkan gw. Gw diam, mencoba memperhatikan dengan saksama. Ada seseorang yg
sedang bersenandung dari dalam kamar mandi kecil itu. Suara wanita.
“Siang-siang kok ada setan?” gw dalam hati. “apa si Indra yah? Ah, sejak kapan
suara si gundul mirip suara cewek??”
Gw lebih lekat lagi mendengarkan.
“Jangan-jangan Meva?” bating w lagi. “Tapi sejak kapan suara Meva kayak suara
cewek?? Eh, dia kan emang cewek? Gpblok bener gw!”
Dan baru saja gw hendak bicara, pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sesosok
wanita di hadapan gw. Dengan hanya berbalut handuk putih yg bahkan nggak sampai
ke lutut, dia tertawa melihat gw. Untung saat itu dia tetap mengenakan stoking
hitamnya, kalo nggak gw bisa bergidik ngeri melihat bekas sayatan-sayatan di
kedua kakinya yg jenjang itu.
“Kebonya udah bangun,” katanya seraya nyengir lebar.
“Busett…sejak kapan kamer mandi gw jadi pemandian umum?” gerutu gw kesal.
“Lagian keluar kamer mandi udah maen ketawa-ketawa aja, bikin parno tau nggak.”
“Haha..maap deh, kamer mandi gw lagi kering tuh. Nggak keluar airnya,” ujar
Meva. “Tadinya juga mau minta ijin sama elo, tapi berhubung lo lagi ngebo ya
udah gw inisiatif sendiri ajah.”
“Huh, untung gw nggak kebelet pipis tadi.”
“Emang kenapa? Tinggal masuk ajah, bareng juga nggak papa kok.” Lalu dia
tertawa lebar.
Bisa banget nih cewek! Gw masih normal wooooiiii……………
“Laen kali kalo mau numpang mandi lagi, lo mesti ijin gw dulu,” kata gw
mengultimatum. “Nggak peduli gw lagi tidur atau lagi ngapain, pokoknya lo harus
seijin gw. Okay? Bisa dimengerti?”
“Iya..iya..siap boss! Udah pelit, bawel lagi!” kata Meva lagi kemudian
berhambur pergi dari kamar gw menuju kamarnya.
“aarrggh…tuh anak bikin kesel aja,” omel gw dalam hati.
Baru saja gw hendak rebahan lagi, Meva menggedor pintu kamar gw. Masih dengan
handuknya dia setengah teriak ke gw.
“Lo cepetan mandi! Inget hari ini lo janji nemenin gw ke Karang Pawitan!” dan
lalu dia pergi lagi.
Ah, kenapa sekarang setiap hari gw jadi selalu punya janji ke dia?? Lagipula,
emang kapan sih gw janjinya?? Gw coba ingat-ingat lagi, semalam Meva emang
ngajakin gw ke KaPe, tapi khan gw belum mengeluarkan pernyataan setuju ke dia!
Hadeuuh…………..cewek yg satu ini beneran nyebelin!
Maka gw sengaja tiduran lagi dan nggak buru-buru mandi seperti permintaannya
barusan. Sekitar sepuluh menit dia kembali lagi ke kamar gw. Kali ini sudah
berpakaian rapi seperti biasa.
“Waduh, kok loe belom ngapa-ngapain sih??” cecarnya. “Buruan mandi atuh, emang
mau jam berapa ke sananya?”
“Kayaknya lebih cocok deh kalo gw yg nanyain itu ke loe,” balas gw. “Mau ke
sana jam berapa?? Sekarang mah nanggung ah, entar aja sorean.”
“Eeehh….takut ujan dulu kalo sore mah.”
“Ya udah berarti nggak jadi. Selesai. Ribet amat.”
“Enak aja ngebatalin janji secara sepihak.”
“Loe sendiri bukannya meresmikan janji secara sepihak juga yah???”
“Udah lah debat mulu kalo sama loe tuh,” akhirnya dia berganti wajah cemberut.
“Buruan mandi.”
Dan dengan sejuta keterpaksaan beranjaklah gw menuju kamar mandi. Bukan semata
takut atau patuh pada perintah cewek itu, tapi gw memang kebelet buang air
kecil.
“Jangan lama-lama!” perintahnya lagi setelah gw masuk ke kamar mandi.
“Emang gw pikirin????” sahut gw.
Nggak ada jawaban. Kayaknya dia udah balik ke kamernya. Dan gw sengaja
berlama-lama di kamar mandi, rasanya asyik juga kalo berhasil menyulut
kemarahan Meva. Kurang lebih limabelas menit kemudian gw selesai dan sudah
berganti pakaian. Meva masuk kamer gw lagi.
“Ayo,” ucapnya. “berangkat sekarang.”
“Hah?? Belom juga gw makan??” protes gw.
“Makan di sana aja. Banyak yg jualan kok di sana. Udah yukk, buruan ah. Loe
cowok tapi dandan aja lama banget kayak cewek.”
“Udah lo tunggu di kamer lo ajah,” kata gw. “Entar gw ke sana.”
Satu gerutuan nggak jelas meluncur dari mulutnya tanpa bisa gw dengar sebelum
akhirnya dia pergi juga.. Bodo amat, maki gw dalam hati. Selesai sisiran gw
berjingkat ke kamar sebelah, ke kamar Indra. Yg empunya kamar lagi asyik meluk
bantal dengan iler yg berceceran di samping pipinya.
“Yahh, masih molor ternyata,” kata gw pelan. Tadinya gw mau berkonspirasi
dengan Indra, pura-pura ada janji penting yg nggak bisa ditinggal, maka gw bisa
terbebas dari ‘janji palsu’ Meva. Tapi tampaknya konspirasi itu tidak akan
terlaksana mengingat seonggok manusia yg lagi mimpi jorok kayaknya.
Gw keluar kamar. Meva muncul dari dalam kamarnya secara bersamaan.
“Udah beres lo?” tanyanya.
“Yaudah, tapi kita makan dulu di depan,” kata gw akhirnya
Meva mengangguk setuju. Maka berangkatlah kami berdua ke alun-alun Karang
Pawitan dengan menggunakan angkot kuning. Sekitar duapuluh menitan kami tiba di
sebuah lapang luas yg berbentuk melingkar serta terdapat area lari atletik
mengikuti bentuk lapangan.
“Kita ke sana aja,” Meva menunjuk seorang penjual mie ayam yg menggelar lapak
dadakannya di salahsatu sisi lapangan. “Lo belom makan khan?”
“Seharusnya sih udah di warteg depan gang, kalo aja lo nggak buru-buru ngangguk
ke sopir angkot yg ngetem di depan.”
“Udah ah, yg penting makan, daripada nggak samasekali.”
Gw mencibir pelan.
Kami duduk di kursi dekat gerobak penjual mie tersebut.
“Kuah apa kering neng?” tanya abang penjual ke Meva, dengan sedikit nada genit.
“Saya kering aja Pak,” Meva melirik ke gw. “Lo gimana?”
“Saya kasih kuah deh Bang,” gw sengaja memilih yg nggak sama dengan yg dipilih
Meva.
Si abang penjual segera menyiapkan pesanan kami dengan cekatan.
“Tuh khan, di sini asyik loh. Bisa liat kembaran lo juga,” Meva menunjuk
deretan kandang berisi monyet yg sedang bergelantungan di pohon kecil di
dalamnya.
“Gw nggak nyangka ternyata gw seganteng itu,” cibir gw.
Meva tertawa. Ditoyornya kepala gw.
“Dibilang mirip ama monyet malah bangga,” katanya.
“Haus nih, lo pesen minuman dong..” gw memandang berkeliling mencari gerobak
penjual minuman dan menemukannya di samping gerobak mie ayam yg sedang kami
pesan. Kenapa gw baru liat yah??
Dan Meva pun segera memesan dua teh botol dingin untuk kami berdua. Selesai
acara makan (tentu saja Meva yg bayar) Meva mengajak gw ke bangku taman di
pinggir lapangan yg memang ada di bawah setiap phony g ditanam sengaja untuk
meneduhi pengunjung. Suasana di sini memang teduh sih, gw akui itu. Apalagi pas
mendung kayak gini, cocok banget deh tidur di bawah pohon-pohon beringin ini.
Beberapa bangku sudah terisi oleh sekumpulan orang yg berbincang dan
tertawa-tawa menikmati keteduhan di sini. Bangku-bangku ini terbuat dari semen
jadi nggak mungkin bisa digotong untuk dibawa pulang. Hehehe..
BERSAMBUNG
(too many character)
Part 25-B
13-03-2013
12:52
“Gw kalo lagi bête pasti ke sini,” Meva bercerita.
“Emang kapan lo nggak bête nya?” timpal gw.
“Emh…kapan yah?” dia tampak berpikir. “Kalo lagi sama loe, kayak sekarang ini.
Gw nggak bête.”
“Tadi lo bilang lo ke sini kalo lagi bête, berarti sekarang juga lo lagi bête
dunk?”
“Yeeeey………..bukan gitu maksud gw. Pertanyaan tadi nggak ada hubungannya sama
itu.”
Gw tertawa. Benar juga kata Meva, sekedar duduk-duduk di sini memang
menyenangkan. Gw mulai suka tempat ini. Selain pengunjung atau pejalan kaki yg
beristirahat, ada juga pedagang-pedagang mainan anak kecil serta aksesoris
sederhanasemacam itu di sekitar alun-alun ini. Kalau hari biasa, gw yakin pasti
jam segini dipenuhi dengan anak-anak sekolah yg baru balik. Ada beberapa gedung
sekolah di sekitar sini.
“Eh, lo mau liat monyet-monyet itu nggak?” tanya Meva, membuyarkan lamunan gw.
Dia menunjuk deretan kandang besi di sisi timur.
“Tiap hari gw kiat wajah gw di kaca, itu udah cukup kok.”
“Yeeeeyyy itu mah beda atuh, kingkong itu mah. Hahaha..” Meva tertawa. Entah
kenapa gw merasa tawanya itu menyenangkan. “ada yg lain juga loh, bukan cuma
monyet. Ada kelinci juga, lucu deh. Ke sana yukk?”
“Entar aja ah, gw lagi betah duduk di sini.”
Meva tampak kecewa.
“Ya udah gw sendiri yg kesana, lo tunggau di sini ajah.” Dan dia pun beranjak
pergi.
“Jangan lama-lama, gw bisa jadi pohon beringin juga di sini.”
Meva nggak menjawab. Semenit kemudian dia sudah berada di depan kandang-kandang
itu. Memandang gembira dan kadang menggoda kelinci ataupun monyet yg ada di
dalamnya. Gw sendiri sudah nyaris benar-benar tertidur saking teduhnya di sini.
Sebuah tepukan di pipi membangunkan gw.
“Bangun,” kata Meva. “Ternyata lo beneran kebo ya? Dimanapun berada, tidur
selalu nomor satu.”
“Hawanya bikin ngantuk, dodol.” Gw bangkit dan duduk, Meva di sebelah gw.
“Biar nggak ngantuk, kita maen ini ajah,” dia menunjukkan sebuah kotak kecil
panjang bermotif kotak-kotak hitam putih, dan masih terbungkus sebuah plastik
bening. “Mari bermain catur.”
“Dapet catur dari mana lo?” tanya gw heran.
“Tadi pas balik kesini ada yg jualan maenan di pinggir jalan itu, dan gw liat
ada catur kecil yg dari magnet itu loh, gw beli ajah. Lucu sih.”
“Berarti lo nggak bisa maen catur donk?”
“Gw bisa kok!” katanya semangat. “Gw sering maen catur sama temen-temen waktu
SMA dulu.”
“Lama amat tuh. Lo nggak bakalan menang lawan gw.”
“weleh weleh….sembarangan lo. Gini-gini, Utut si Master Catur aja berguru ke
gw.”
“Masa’?”
“Iya, bener.”
“Masa bodo! Hahaha..”
“Udah, udah, kita buktiin ajah sapa yg lebih jago!” meva membuka plastik
pembungkus dan mulai menyusun bidak-bidak ke petaknya. “Yg kalah bayarin makan
malem di warung Mang Bedjo. okay?”
“Oke!!” gw merasa tertantang. Mendadak kantuk di mata gw hilang.
Gw dapet pion hitam, dan Meva yg putih. Di luar dugaan gw, cewek ini beneran
bisa maen catur! Permainan pertama gw kalah telak, sisa kuda sama kedua luncur
sementara dia cuma kehilangan benteng dan luncur di petak hitam. Jelas gw habis
dibombardir lah!
Dan seperti sudah diduga, saat permainan ke dua berjalan, kuping gw nggak
hentinya dipanasi oleh ejekan-ejekan atas kekalahan gw tadi. Gw coba strategi
andalan gw, dan saat permainan mulai berpihak ke gw, tetesan gerimis yg turun
tiba-tiba terpaksa membuat kami mengemasi set catur. Dengan sejuta perasaan
gondok, gw berlari menghindari hujan dan berteduh di mesjid seberang alun-alun.
Hujan semakin deras beberapa saat setelah kami berteduh. Ah, kalo aja nggak
ujan, gw yakin gw pasti menang tuh! Gw liat jam tangan Meva menunjukkan pukul
setengah dua.
“Va, kita sholat aja dulu yuk? Sekalian berteduh di dalem,” ajak gw.
“Maaf, Ri, gw non-muslim..” kata Meva dengan sangat halus. Dia menunjukkan
kalung salib perak polos yg melingkar di lehernya.
Mampus gw! Gw nggak pernah tau sih sebelumnya, dan menurut gw itu salahsatu
pertanyaan sensitif yg kurang etis untuk ditanyakan. (maaf buat yg baca, gw
nggak ada maksud SARA di sini)
“Oh, maaf, gw baru tau,” ucap gw dengan malunya.
“Enggak papa kok, nyantai aja lah..” dia tersenyum. “Ya udah lo solat ajah,
biar gw tunggu di sini.”
“Kalo gitu lo duduk aja deh di teras, di sini masih kena cipratan ujannya.”
“Lho, emang b
oleh ya gw duduk di sana? Gw kan…”
“Udah nggak papa,” gw menarik tangannya. Menggandengnya ke teras, lalu
meninggalkannya di sana sementara gw melaksanakan sholat. Sekitar limabelas
menit baru gw selesai dan kembali ke tempat Meva menunggu.
Hujan masih turun dengan derasnya. Gw duduk-duduk sambil nunggu hujannya reda.
Dan setelah sekitar satu jam, barulah kami bisa pulang………………..
kalau mau yang lengkap buka aja ini :
atau kalau mau donload juga bisa :
No comments:
Post a Comment