ETIKA
DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Paiman
(09/293725/SPN/00408)*) *
*) Mahasiswa Program
Doktor, pada Program Studi Ilmu Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Fakultas
Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
Kata Kunci: etika, pengembangan, ilmu pengetahuan

DAFTAR
ISI
PENDAHULUAN
……………………………………………………………… 2
PENGERTIAN
ETIKA ……………………………………………………….. 3
BEBERAPA
PENDAPAT TENTANG UKURAN BAIK DAN BURUK …. 3
ETIKA
DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ................ 6
Temuan Basic Research dan Masalah Etika ……………………………..… 8
Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik ........................................... 10
Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik ....................... 10
Rekayasa Sosial dan Masalah Etik ……………………………………….... 11
Temuan Basic Research dan Masalah Etika ……………………………..… 8
Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik ........................................... 10
Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik ....................... 10
Rekayasa Sosial dan Masalah Etik ……………………………………….... 11
ETIKA DAN TANGGUNGJAWAB ILMU PENGETAHUAN …………...
13
KESIMPULAN ................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….… 16
PENDAHULUAN
Manusia
dalam pencarian mereka terhadap alam semesta dalam berbagai sisinya memperoleh
penemuan-penemuan baru yang ketika diolah secara sistematis melalui
penyelidikan-penyelidikan dan pengujuian-pengujian lantas menjadi apa yang
disebut dengan ilmu pengetahuan. Beragamnya lapangan penggalian dan
penyelidikan membuahkan beragamnya lapangan ilmu pengetahuan yang dirumuskan
yang dikira oleh manusia akan memberikan keuntungan dan kemudahan bagi hidup
mereka, namun dalam kenyataannya juga menimbulkan akibat-akibat yang justru
merusak dan meyusahkan mereka. Oleh karena itu, diperlukan moral/etika dalam
penggalian, perumusan dan pengembangan serta pemanfaatan ilmu agar ilmu menjadi
sesuatu yang memberikan kemudahan, ketentraman dan kebahagiaan bagi manusia.
Berkaitan dengan hal di atas, dalam makalah ini dikemukakan tentang pengertian
etika, standar buruk baik dan etika dalam pengembangan ilmu. [3]
PENGERTIAN
ETIKA
Dalam
mendefinisikan etika ini para ahli mengemukakan beberapa pendapat diantaranya: ”Ethics is the branch of philosophy in which men attemp to evaluate and
decide upon particular courses of moral actions or general theories of conduct.
The term “ethies” or “ethic” from thr Greek Ethios (moral) and Ethos
(character), also refers to the values of rules of conduct held by agroup or
individual, as for examplein the phrase “Cristian Ethies” or “Unithical
Behavior”. [3]
“Etika
adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya
sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh
tingkah laku manusia”. “Etika
adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang
nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya”.
“Etika adalah ilmu yang menyelidiki
mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran”. [3]
“Objek
material etika adalah tingkah laku manusia dan objek formalnya adalah buruk
atau baiknya perbuatan mereka atau bermoral dan tidak bermoralnya tingkah laku
manusia”. [3]
Berikut
akan dikemukakan hal ini lebih jauh, berkenaan dengan ukuran baik dan buruk.
BEBERAPA
PENDAPAT TENTANG UKURAN BAIK DAN BURUK
Di
dalam aliran filsafat terdapat beberapa pendapat mengenai ukuran buruk dan
baiknya perbuatan manusia, diantaranya: pendapat Aliran Hedonisme. Menurut
penganut aliran ini perbuatan manusia dikatakan baik jika mendatangkan
kenikmatan, kebahagiaan dan kelezatan. Tidak perduli, yang penting nikmat,
walaupun sesudah itu mengakibatkan penderitaan. Sebaliknya semua perbuatan
manusia itu dipandang buruk jika mengakibatkan penderitaan walaupun dibalik
penderitaan itu sesungguhnya ada kebahagiaan.[3]
Pendapat
Aliran Vitalisme. Aliran ini berpendapat bahwa orang yang baik
atau perbuatan yang baik ialah orang atau perbuatan yang mencerminkan kekuatan
dan orang atau perbuatan yang tidak baik ialah yang mencerminkan kelemahan.[3]
Paham
aliran ini melahirkan penjajahan, feodalisme dan tirani, sebagaimana dapat
disaksikan dalam pentas sejarah dimulai dari penjajahan Inggris, kemudian
Belanda, Portugis dan negara-negara yang kuat hingga pecahnya perang dunia
kedua yang kemudian masih dilanjutkan dengan bentuk penjajahan ideologis,
ekonomi dan lain-lain.[3]
Aliran
Utilitarisme. Aliran ini berpendapat bahwa benar suatu
tindakan tergantung dengan manfaat akibatnya. Sifat utalitarisme adalah
universal, artinya yang menjadi norma-norma moral bukanlah akibat-akibat baik
bagi dirinya sendiri saja, melainkan juga bagi seluruh manusia. Pengorbanan pribadi
untuk kepentingan orang lain adalah tindakan yang tertinggi nilainya.[3]
Aliran
Sosialisme atau Adat Kebiasaan. Menurut aliran ini, buruk
dan baik adalah tergantung dengan pandangan masyarakat yang telah terlembaga
dalam adat mereka. Apa yang baik menurut pandangan masyarakat maka itulah yang
baik dan apa yang buruk menurut mereka maka itulah yang buruk. Pendapat aliran
ini condong hanya bersifat lokal. [3]
Aliran
Humanisme. Menurut aliran ini perbuatan yang baik ialah
perbuatan yang sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, dalam arti bahwa
seluruh faktor yang melingkupi mereka ikut berperan menjadi alat ukur, seperti
pikiran, perasaan dan situasi lingkungannya.[3]
Aliran
Religiosisme. Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan yang
baik ialah apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan perbuatan yang tidak baik
ialah apa yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka tugas para agamawanlah
untuk merumuskan apa yang menjadi kehendak Tuhan itu.[3]
Selain
pendapat-pendapat aliran di atas, ada lagi beberapa teori moral yang lain
seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa manusia
berkewajiban melaksanakan moral imperatif, sehingga manusia bertinfak baik
tanpa ada pemaksaan dari pihak lain, melainkan sadar bahwa tindakan tidak baik
orang lain akan merugikan diri kita sendiri. Teori Etika Hak Asasi Manusia,
yang dikemukakan oleh Jhon Lock (1632-1704). Dilihat dari rekayasa teori moral
ini lebih mengaksentuasikan hak setiap orang, terutama hak publik sebagai
konsumen produk rekayasa. Jhon Wals dengan theory of justice-nya
mensinthesiskan dua teori yang di atas.[3]
Dua
teori keadilan menurut Rawls, yaitu pertama bahwa setiap orang memiliki
persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas sehingga kompatibel dengan orang
lain, kedua bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian sehingga
keduanya, a) bermanfaat bagi setiap orang sesuai dengan harapan yang patut dan
b) memberi peluang yang sama bagi semua untuk segala posisi dan jabatan.[3]
Teori
keutamaan dan jalan tengah yang baik. Aristoteles mengetengahkan tentang
tendensi (defisiensi). Keberanian merupakan jalan tengah antara nekad dan
pengecut, kejujuran merupakan jalan tengah antara membukakan segala yang
menghancurkan dengan menyembunyikan segala sesuatu. Dilihat dari sisi rekayasawan
teori moral ini sangat realitik. Artinya akan terus terjadi konflik kepentingan
antara produsen dan konsumen, antara strata tertentu dengan strata yang lain,
antara hak dan kewajiban profesional dengan hak kewajiban publik, mungkin juga
kelompok, sehingga perlu dicari jalan tengah yang baik.[3]
ETIKA
DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu
sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam
semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Karena itu ilmu
sebagai masyarakat, karena ilmu didukung dan dikembangkan oleh masyarakat yang
mematuhi kaedah-kaedah tertentu.[3]
Untuk
itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat
menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia tidak
menimbulkan dampak negatif.[3]
Dalam bahasa
Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral
principles or rules of behaviour,10 atau suatu sistem, prinsip moral, aturan
atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s)
dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch
of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang
memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak)
berarti moral principles that govern or influence a person’s behaviour,11
prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.[2]
Dalam bahasa
Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan,
kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau
tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara
moral.[2]
Dalam bahasa
Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai
arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak
perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah
adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
“etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan.13 Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah
“etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Penyelidikan
tingkah laku moral dapat diklasifikasikan sebagai berikut.[2]
1. Etika
deskriptif Mendekskripsikan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat
kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-andakarn yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek penyelidikannya adalah
individu-individu, kebudayaan-kebudayaan.
2. Etika Normatif
Dalam hal ini,
seseorang dapat dikatakan sebagai participation approach karena yang
bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang
perilaku manusia. la tidak netral karena berhak untuk mengatakan atau menolak
suatu etika tertentu.
3. Metaetika
Awalan meta
(Yunani) berarti “melebihi”, “melampaui”. Metaetika bergerak seolah-olah
bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf
“bahasa etis” atau bahasa yang digunakan di bidang moral.
Dari beberapa
definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian tentang etika sangat dekat dengan
kajian moral. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu
perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk,
salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada
hubungan yang dekat antara etika dengan moral, berikut sedikit dibahas tentang
ragam pengertian moral.
Tentang
masalah etika dalam pengembangan ilmu Noeng Muhadjir membagi kepada empat
klaster, yaitu: 1) Temuan basic research, 2) Rekayasa teknologi, 3) Dampak
sosial rekayasa, dan 4) Rekayasa sosial.[3]
Temuan
Basic Research dan Masalah Etika.
Dunia ilmu telah menemukan
DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ditemukan DNA unggul dan DNA
cacat. Ketika mengembangkan DNA jati unggul untuk memperluas, mempercepat dan
meningkatkan kualitas reboisasi kita, tidak jadi masalah. Juga ketika kloning
domba kita berhasil dan tergambarkan bagaimana domba masa depan akan lebih
dapat memberikan protein hewani kepada manusia yang semakin bertambah dengan
pesat, juga tidak menimbulkan masalah. Tetapi ketika masuk ranah manusia,
apakah manusia unggul perlu dikloning dan pakah manusia yang memiliki DNA cacat
tidak diberi hak untuk memiliki keturunan, menimbulkan masalah HAM. Di Amerika
Latin ditemukan DNA keluarga cacat secara turun temurun, ditemukan pada
keluarga tersebut tidak ada bulu-bulunya, berbeda dengan DNA yang pada umumnya
berbulu. Di suatu lokasi di Indonesia ditemukan penduduk desa tersebut
seluruhnya mengalami mental retarded. Apakah tidak dapat diadakan upaya.[3]
Telah ditemukan tiga
partikel radio aktif, yaitu sinar alpha, sinar beta dan sinar gamma dan
sejenisnya yang dikenal dengan sinar x, sangat berguna bagi dunia kedokteran,
sinar beta yang dikenal dengan sinar laser sangat berguna bagi dunia
konstruksi, sinar alpha merupakan radio aktif dan partikel alpha dikenal
sebagai atom helium dan atom hydrogen. Temuan tiga basic research itu sangat
berguna bagi manusia, tetapi juga sekaligus direkayasa untuk tujuan perang,
mendeteksi musuh dalam gelap, untuk membuat senjata laser dan bom atom, sangat
menyedihkan jika dihadapkan untuk tujuan perang.[3]
Penisilin yang ditemukan
secara kebetulan oleh Alexander Fleming dalam wujud jamur dapat dikembangkan
menjadi adonan roti dan dapat dikembangkan menjadi bakteri antibiotiok bagi
banyak penyakit infeksi, sampai sekarang masih banyak digunakan orang. Temuan
tersebut disyukuri banyak orang karena karena banyak sekali gunanya untuk
menyembuhkan keracunan darah, penumonia meningitis, dan berbagai infeksi.
Eksesnya baru diketahui akhir-akhir ini masalahnya sejauhmana etika diterapkan
pada penemuan tersebut.[3]
Temuan DNA, atom dan
penisilin sebagai temuan basic research memang benar-benar hebat. Pengembangan
DNA untuk teknlogi genetik berprosfek bagus, sekaligus membuka masalah
pengembangan temuan atom untuk pengembangan teknologi energi dan teknologi
medis sangat menjanjikan bagi manusia, tetapi sekaligus menimbulkan masalah
dalam penggunaannya dan juga terhadap eksesnya. Penggunaan penisilin sebagai
obat antibiotik yang mujarab patut dipujikan mengingat besar jumlah orang yang
meninggal karena infeksi. Tetapi ekses menjadi minimum terhadap sejumlah obat
siapa yang mesti bertanggung jawab. Apakah lebih terkait pada
tanggung jawab professional dokter atau pemahaman pasien terhadap resiko.[3]
Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik
Thalidomide
suatu temuan obat tidur yang dianggap aman yang telah diujikan kepada binatang
dan manusia. Kemudian para ilmuan menemukan bahwa obat itu berbahaya jika
dikonsumsi oleh ibu hamil memasuki bulan kedua karena akan mengakibatkan
anaknya cacat, ekses obat ini menyangkut masa depan anak yang selamanya cacat
fisik dan mengerikan.[3]
Kapal
Tetanik (1912) dicanangkan sebagai kapal pesiar terbesar dan termewah dan
diyakini tidak akan mungkin tenggelam, tetapi kenyataannya tenggelam dari
jumlah penumpang 2.227 orang hanya 705 orang yang selamat, siapa yang
bertanggung jawab?[3]
Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik
Dampak
pengembangan teknologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas
hidup individu dan dampak pada kualitas hidup sosial menyeluruh. Dengan
ditemukanya energi partikel alpha yang radio aktif dalam konstruksi pemikiran
destruktif telah dipergunakan untuk membuat bom nuklir yang mengakibatkan
kehancuran secara massal dan merusak kelestarian alam. Alhamdulillah masyarakat
manusia sadar sehingga energi nuklir yang radio aktif digunakan untuk keperluan
media dan untuk alternatif energi listrik.[3]
Rekayasa Sosial dan Masalah Etik
Sistem
kapitalisme dan sistem sosialisme adalah merupakan rekayasa sosial. Sistem
sosialisme Rusia yang komonistik terbukti gagal sehingga memang harus
ditinggalkan. Sistem sosialisme Inggris dan Perancis mengalami banyak sekali
modifikasi sehingga semakin mendekat dengan kapitalisme, sementara kapitalisme
itu sendiri juga mengalami banyak sekali perubahan. Ide demokrasi yang mengakui
persamaan antar manusia merupakan rekayasa sosial yang konter terhadap
legitimasi monarki atau sistem kasta. Ide demokrasi kapitalistik menampilkan
struktur masyarkat bentuk piramidal, hal mana 40 % merupakan masyarakat miskin
yang diidealkan menerima kue kekayaan dan pendapatan hanya sekitar 16 %, dan
kenyataanya banyak yang lebih kecil dari 10 %. Marxisme menteorikan bahwa
masyarakat terbelah menjadi dua golongan, yaitu borjuis dan proleter yang anta
gonistik. Ternyata muncul antar keduanya golongan menengah yang makin besar.[3]
Sementara
itu Noeng Muhadjir menawarkan ide demokrasi mayoritas terdidik. Pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi dan peran iptek menggeser peran moral, maka
teori rekayasa sosial yang kami tawarkan yang dominan mengendalikan kehidupan
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sedangkan 16 % yang lebih berhasil dan 2 %
yang sangat berhasil akan menjadi reference group keberhasilan. Sedangkan 16%
yang kurang berhasil dan 2% yang gagal dalam hidup akan menjadi eksponen
penajaman prikemanusiaan yang perlu tumbuh dalam totalitas kehidupan.[3]
Dari
uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya etika bagi pegembangan ilmu,
untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan
manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi. Kemudian
sejauhana konsep-konsep etika yag dirumuskan oleh para ilmuan dalam bidangnya
akan efektif untuk menangkal penyalahgunaan ilmu, mengingat konsep-konsepnya
yang masih bertentangan antara satu dengan lainya sebagai lazimnya pertentangan
diantara orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Orang-orang yang mengkuti hawa
nafsu, semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin tinggi teknologi yang
mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang mereka miliki, semua itu
hanya mereka tujukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka, tanpa mempertimbangan
dengan baik kewajiban mereka terhadap orang lain dan hak-hak orang lain.[3]
Inilah
yang terjadi dengan dunia kita sekarang, negara-negara yang disebut adikuasa
berbuat yang mereka kehendaki terhadap negara-negara yang sedang berkembang,
demi keuntungan dan kepentingan mereka walaupun dengan semboyan-semboyan
demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Kalangan
ilmuwan, politisi, masyarakat maupun industriawan yang berkepentingan dengan
ilmu pengetahuan, perlu memahami makna kebebasan yaitu seperti dikatakan
Bernard Shaw, liberty means responsibility. Para ilmuwan yang mengembangkan
iptekyang pesat sering mendahului aspek moral yang seharusnya dapat
membimbingnya untuk kesejahteraan masyarakat.[4]
ETIKA DAN TANGGUNGJAWAB ILMU PENGETAHUAN
Kenyataan
bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya
di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa
ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan
ketidakterikatan mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana
kebebasan ini. Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal:
kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk
memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan
bukan penentuan dari luar. Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu
pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan
dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggungjawab etis, merupakan hal yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini
terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan
pada generasi mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan
untuk menghancurkan eksistensi manusia.[1]
Tanggungjawab
ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan
telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa akibatnya
bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam kegiatannya.
Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah
sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut
tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan
tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi
perkembangan eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen :
Tanggungjawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut
ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya
ada. Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu
membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya,
kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui
dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang
menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah
manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia. Keterbatasan
ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara
membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja
tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini.
Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk
merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.[1]
Kemajuan
ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia
dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya,
namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya
tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang
seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya
mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada
rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan
tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering
dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan
apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas
permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai
“kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan
kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata
sesuai dengan daerah yang ditanganinya.[1]
Terkait
dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut
peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis
mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi
moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan
kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar
memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam
peristiwa aktual dan faktual manusia, sehingga terjadi hubungan timbal balik
dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi”
antara keadaan etika sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”[1].
KESIMPULAN
Ilmu adalah netral
menghasilkan manfaat atau mengakibatkan bencana tergantung di tangan yang
menguasainya. Bagaimana dia nantinya menerapkanya di dalam kehidupan. Ilmu tanpa dilandasi etika yang benar
akan mengakibatkan kerusakan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Diperlukan adanya orang-orang yang
mampu untuk menjaga berlakunya etika yang benar dalam pengembangan ilmu agar
ilmu tersebut lebih bermanfaat nantinya baik didunia maupun di akhirat. Etika yang baik akan memperoleh pahala
dan etika yang jahat sebaliknya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Anonim, 2008. Kaitan antara
Etika dan Ilmu Pengetahuan. http://elhasyimieahmad. multiply. com/journal/item/14. Tanggal
akses 25-01-2010.
2. Dahlan A., 2008. Ilmu, Etika dan Agama
(Representasi Ilmu Ekonomi Islam). P3M STAIN Purwokerto. http://ibdajurnal.googlepages.com/5-Representasi IlmuEkonomiIslam. Tanggal akses
26-01-2010.
3. Fadliyanur’s, 2007. Etika dalam Pengemangan
Ilmu Pengetahuan. http://fadliyanur.multiply.com/journal/item/33. Tanggal
akses 04-02-2010.
4. Witatarto, 2008. Kebebasan dan Etika Ilmu
Pengetahuan. http://witarto.
wordpress.com/2008/01/14/kebebasan-dan-etika-ilmu-pengetahuan/ Tanggal akses 16-01-2010.
No comments:
Post a Comment