\

newnavbar

Monday 24 March 2014

ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Paiman (09/293725/SPN/00408)*) *

*) Mahasiswa Program Doktor, pada Program Studi Ilmu Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
 * Dosen Universitas PGRI Yogyakarta, Fakultas pertanian-Agroteknologi.

Kata Kunci: etika, pengembangan, ilmu pengetahuan
     Abstrak. Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang  buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Ilmu adalah netral menghasilkan manfaat atau mengakibatkan bencana tergantung di tangan yang menguasainya. Bagaimana dia nantinya menerapkanya di dalam kehidupan. Ilmu tanpa dilandasi etika yang benar akan mengakibatkan kerusakan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Diperlukan adanya orang-orang yang mampu untuk menjaga berlakunya etika yang benar dalam pengembangan ilmu agar ilmu tersebut lebih bermanfaat nantinya baik di dunia maupun di akhirat. Etika yang baik akan memperoleh pahala dan etika yang jahat sebaliknya. Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari





DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ………………………………………………………………  2
PENGERTIAN ETIKA ………………………………………………………..   3
BEBERAPA PENDAPAT TENTANG UKURAN BAIK DAN BURUK ….    3
ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN ................    6
Temuan Basic Research dan Masalah Etika ……………………………..…    8
Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik ...........................................   10
Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik .......................   10
Rekayasa Sosial dan Masalah Etik ………………………………………....   11
ETIKA DAN TANGGUNGJAWAB ILMU PENGETAHUAN …………...   13
KESIMPULAN ...................................................................................................  15
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….…  16























PENDAHULUAN
Manusia dalam pencarian mereka terhadap alam semesta dalam berbagai sisinya memperoleh penemuan-penemuan baru yang ketika diolah secara sistematis melalui penyelidikan-penyelidikan dan pengujuian-pengujian lantas menjadi apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan. Beragamnya lapangan penggalian dan penyelidikan membuahkan beragamnya lapangan ilmu pengetahuan yang dirumuskan yang dikira oleh manusia akan memberikan keuntungan dan kemudahan bagi hidup mereka, namun dalam kenyataannya juga menimbulkan akibat-akibat yang justru merusak dan meyusahkan mereka. Oleh karena itu, diperlukan moral/etika dalam penggalian, perumusan dan pengembangan serta pemanfaatan ilmu agar ilmu menjadi sesuatu yang memberikan kemudahan, ketentraman dan kebahagiaan bagi manusia. Berkaitan dengan hal di atas, dalam makalah ini dikemukakan tentang pengertian etika, standar buruk baik dan etika dalam pengembangan ilmu. [3]
PENGERTIAN ETIKA
Dalam mendefinisikan etika ini para ahli mengemukakan beberapa pendapat diantaranya: ”Ethics is the branch of philosophy in which men attemp to evaluate and decide upon particular courses of moral actions or general theories of conduct. The term “ethies” or “ethic” from thr Greek Ethios (moral) and Ethos (character), also refers to the values of rules of conduct held by agroup or individual, as for examplein the phrase “Cristian Ethies” or “Unithical Behavior”. [3]
“Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh tingkah laku manusia”. “Etika adalah ilmu tentang  filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya”. “Etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang  buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh dapat diketahui oleh akal pikiran”. [3]
“Objek material etika adalah tingkah laku manusia dan objek formalnya adalah buruk atau baiknya perbuatan mereka atau bermoral dan tidak bermoralnya tingkah laku manusia”. [3]
Berikut akan dikemukakan hal ini lebih jauh, berkenaan dengan ukuran baik dan buruk.

BEBERAPA PENDAPAT TENTANG UKURAN BAIK DAN BURUK
Di dalam aliran filsafat terdapat beberapa pendapat mengenai ukuran buruk dan baiknya perbuatan manusia, diantaranya: pendapat Aliran Hedonisme. Menurut penganut aliran ini perbuatan manusia dikatakan baik jika mendatangkan kenikmatan, kebahagiaan dan kelezatan. Tidak perduli, yang penting nikmat, walaupun sesudah itu mengakibatkan penderitaan. Sebaliknya semua perbuatan manusia itu dipandang buruk jika mengakibatkan penderitaan walaupun dibalik penderitaan itu sesungguhnya ada kebahagiaan.[3]
Pendapat Aliran Vitalisme. Aliran ini berpendapat bahwa orang yang baik atau perbuatan yang baik ialah orang atau perbuatan yang mencerminkan kekuatan dan orang atau perbuatan yang tidak baik ialah yang mencerminkan kelemahan.[3]
Paham aliran ini melahirkan penjajahan, feodalisme dan tirani, sebagaimana dapat disaksikan dalam pentas sejarah dimulai dari penjajahan Inggris, kemudian Belanda, Portugis dan negara-negara yang kuat hingga pecahnya perang dunia kedua yang kemudian masih dilanjutkan dengan bentuk penjajahan ideologis, ekonomi dan lain-lain.[3]
Aliran Utilitarisme. Aliran ini berpendapat bahwa benar suatu tindakan tergantung dengan manfaat akibatnya. Sifat utalitarisme adalah universal, artinya yang menjadi norma-norma moral bukanlah akibat-akibat baik bagi dirinya sendiri saja, melainkan juga bagi seluruh manusia. Pengorbanan pribadi untuk kepentingan orang lain adalah tindakan yang tertinggi nilainya.[3]
Aliran Sosialisme atau Adat Kebiasaan. Menurut aliran ini, buruk dan baik adalah tergantung dengan pandangan masyarakat yang telah terlembaga dalam adat mereka. Apa yang baik menurut pandangan masyarakat maka itulah yang baik dan apa yang buruk menurut mereka maka itulah yang buruk. Pendapat aliran ini condong hanya bersifat lokal. [3]
Aliran Humanisme. Menurut aliran ini perbuatan yang baik ialah perbuatan yang sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, dalam arti bahwa seluruh faktor yang melingkupi mereka ikut berperan menjadi alat ukur, seperti pikiran, perasaan dan situasi lingkungannya.[3]
Aliran Religiosisme. Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan yang baik ialah apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan dan perbuatan yang tidak baik ialah apa yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Maka tugas para agamawanlah untuk merumuskan apa yang menjadi kehendak Tuhan itu.[3]
Selain pendapat-pendapat aliran di atas, ada lagi beberapa teori moral yang lain seperti yang dikemukakan oleh Immanuel Kant yang mengatakan bahwa manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif, sehingga manusia bertinfak baik tanpa ada pemaksaan dari pihak lain, melainkan sadar bahwa tindakan tidak baik orang lain akan merugikan diri kita sendiri. Teori Etika Hak Asasi Manusia, yang dikemukakan oleh Jhon Lock (1632-1704). Dilihat dari rekayasa teori moral ini lebih mengaksentuasikan hak setiap orang, terutama hak publik sebagai konsumen produk rekayasa. Jhon Wals dengan theory of justice-nya mensinthesiskan dua teori yang di atas.[3]
Dua teori keadilan menurut Rawls, yaitu pertama bahwa setiap orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas sehingga kompatibel dengan orang lain, kedua bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditata sedemikian sehingga keduanya, a) bermanfaat bagi setiap orang sesuai dengan harapan yang patut dan b) memberi peluang yang sama bagi semua untuk segala posisi dan jabatan.[3]
Teori keutamaan dan jalan tengah yang baik. Aristoteles mengetengahkan tentang tendensi (defisiensi). Keberanian merupakan jalan tengah antara nekad dan pengecut, kejujuran merupakan jalan tengah antara membukakan segala yang menghancurkan dengan menyembunyikan segala sesuatu. Dilihat dari sisi rekayasawan teori moral ini sangat realitik. Artinya akan terus terjadi konflik kepentingan antara produsen dan konsumen, antara strata tertentu dengan strata yang lain, antara hak dan kewajiban profesional dengan hak kewajiban publik, mungkin juga kelompok, sehingga perlu dicari jalan tengah yang baik.[3]

ETIKA DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Karena itu ilmu sebagai masyarakat, karena ilmu didukung dan dikembangkan oleh masyarakat yang mematuhi kaedah-kaedah tertentu.[3]
Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia tidak menimbulkan dampak negatif.[3]
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behaviour,10 atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behaviour,11 prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.[2]
Dalam bahasa Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[2]
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.13 Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Penyelidikan tingkah laku moral dapat diklasifikasikan sebagai berikut.[2]
1. Etika deskriptif Mendekskripsikan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-andakarn yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek penyelidikannya adalah individu-individu, kebudayaan-kebudayaan.
2. Etika Normatif
Dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan sebagai participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. la tidak netral karena berhak untuk mengatakan atau menolak suatu etika tertentu.
3. Metaetika
Awalan meta (Yunani) berarti “melebihi”, “melampaui”. Metaetika bergerak seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang digunakan di bidang moral.
Dari beberapa definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian tentang etika sangat dekat dengan kajian moral. Etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada hubungan yang dekat antara etika dengan moral, berikut sedikit dibahas tentang ragam pengertian moral.
Tentang masalah etika dalam pengembangan ilmu Noeng Muhadjir membagi kepada empat klaster, yaitu: 1) Temuan basic research, 2) Rekayasa teknologi, 3) Dampak sosial rekayasa, dan 4) Rekayasa sosial.[3]

Temuan Basic Research dan Masalah Etika.
Dunia ilmu telah menemukan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ditemukan DNA unggul dan DNA cacat. Ketika mengembangkan DNA jati unggul untuk memperluas, mempercepat dan meningkatkan kualitas reboisasi kita, tidak jadi masalah. Juga ketika kloning domba kita berhasil dan tergambarkan bagaimana domba masa depan akan lebih dapat memberikan protein hewani kepada manusia yang semakin bertambah dengan pesat, juga tidak menimbulkan masalah. Tetapi ketika masuk ranah manusia, apakah manusia unggul perlu dikloning dan pakah manusia yang memiliki DNA cacat tidak diberi hak untuk memiliki keturunan, menimbulkan masalah HAM. Di Amerika Latin ditemukan DNA keluarga cacat secara turun temurun, ditemukan pada keluarga tersebut tidak ada bulu-bulunya, berbeda dengan DNA yang pada umumnya berbulu. Di suatu lokasi di Indonesia ditemukan penduduk desa tersebut seluruhnya mengalami mental retarded. Apakah tidak dapat diadakan upaya.[3]
Telah ditemukan tiga partikel radio aktif, yaitu sinar alpha, sinar beta dan sinar gamma dan sejenisnya yang dikenal dengan sinar x, sangat berguna bagi dunia kedokteran, sinar beta yang dikenal dengan sinar laser sangat berguna bagi dunia konstruksi, sinar alpha merupakan radio aktif dan partikel alpha dikenal sebagai atom helium dan atom hydrogen. Temuan tiga basic research itu sangat berguna bagi manusia, tetapi juga sekaligus direkayasa untuk tujuan perang, mendeteksi musuh dalam gelap, untuk membuat senjata laser dan bom atom, sangat menyedihkan jika dihadapkan untuk tujuan perang.[3]
Penisilin yang ditemukan secara kebetulan oleh Alexander Fleming dalam wujud jamur dapat dikembangkan menjadi adonan roti dan dapat dikembangkan menjadi bakteri antibiotiok bagi banyak penyakit infeksi, sampai sekarang masih banyak digunakan orang. Temuan tersebut disyukuri banyak orang karena karena banyak sekali gunanya untuk menyembuhkan keracunan darah, penumonia meningitis, dan berbagai infeksi. Eksesnya baru diketahui akhir-akhir ini masalahnya sejauhmana etika diterapkan pada penemuan tersebut.[3]
Temuan DNA, atom dan penisilin sebagai temuan basic research memang benar-benar hebat. Pengembangan DNA untuk teknlogi genetik berprosfek bagus, sekaligus membuka masalah pengembangan temuan atom untuk pengembangan teknologi energi dan teknologi medis sangat menjanjikan bagi manusia, tetapi sekaligus menimbulkan masalah dalam penggunaannya dan juga terhadap eksesnya. Penggunaan penisilin sebagai obat antibiotik yang mujarab patut dipujikan mengingat besar jumlah orang yang meninggal karena infeksi. Tetapi ekses menjadi minimum terhadap sejumlah obat siapa yang mesti bertanggung jawab. Apakah lebih terkait pada tanggung jawab professional dokter atau pemahaman pasien terhadap resiko.[3]

Temuan Rekayasa Teknologi dan Masalah Etik
Thalidomide suatu temuan obat tidur yang dianggap aman yang telah diujikan kepada binatang dan manusia. Kemudian para ilmuan menemukan bahwa obat itu berbahaya jika dikonsumsi oleh ibu hamil memasuki bulan kedua karena akan mengakibatkan anaknya cacat, ekses obat ini menyangkut masa depan anak yang selamanya cacat fisik dan mengerikan.[3]
Kapal Tetanik (1912) dicanangkan sebagai kapal pesiar terbesar dan termewah dan diyakini tidak akan mungkin tenggelam, tetapi kenyataannya tenggelam dari jumlah penumpang 2.227 orang hanya 705 orang yang selamat, siapa yang bertanggung jawab?[3]



Dampak Sosial Pengembangan Teknologi dan Masalah Etik
Dampak pengembangan teknologi dapat dipilah menjadi dua, yaitu dampak pada kualitas hidup individu dan dampak pada kualitas hidup sosial menyeluruh. Dengan ditemukanya energi partikel alpha yang radio aktif dalam konstruksi pemikiran destruktif telah dipergunakan untuk membuat bom nuklir yang mengakibatkan kehancuran secara massal dan merusak kelestarian alam. Alhamdulillah masyarakat manusia sadar sehingga energi nuklir yang radio aktif digunakan untuk keperluan media dan untuk alternatif energi listrik.[3]

Rekayasa Sosial dan Masalah Etik
Sistem kapitalisme dan sistem sosialisme adalah merupakan rekayasa sosial. Sistem sosialisme Rusia yang komonistik terbukti gagal sehingga memang harus ditinggalkan. Sistem sosialisme Inggris dan Perancis  mengalami banyak sekali modifikasi sehingga semakin mendekat dengan kapitalisme, sementara kapitalisme itu sendiri juga mengalami banyak sekali perubahan. Ide demokrasi yang mengakui persamaan antar manusia merupakan rekayasa sosial yang konter terhadap legitimasi monarki atau sistem kasta. Ide demokrasi kapitalistik menampilkan struktur masyarkat bentuk piramidal, hal mana 40 % merupakan masyarakat miskin yang diidealkan menerima kue kekayaan dan pendapatan hanya sekitar 16 %, dan kenyataanya banyak yang lebih kecil dari 10 %. Marxisme menteorikan bahwa masyarakat terbelah menjadi dua golongan, yaitu borjuis dan proleter yang anta gonistik. Ternyata muncul antar keduanya golongan menengah yang makin besar.[3]
Sementara itu Noeng Muhadjir menawarkan ide demokrasi mayoritas terdidik. Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi dan peran iptek menggeser peran moral, maka teori rekayasa sosial yang kami tawarkan yang dominan mengendalikan kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sedangkan 16 % yang lebih berhasil dan 2 % yang sangat berhasil akan menjadi reference group keberhasilan. Sedangkan 16% yang kurang berhasil dan 2% yang gagal dalam hidup akan menjadi eksponen penajaman prikemanusiaan yang perlu tumbuh dalam totalitas kehidupan.[3]
Dari uraian di atas dapat dilihat betapa pentingnya etika bagi pegembangan ilmu, untuk menjaga agar ilmu itu tidak menjadi penyebab bencana bagi kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan serta kehancuran di muka bumi. Kemudian sejauhana konsep-konsep etika yag dirumuskan oleh para ilmuan dalam bidangnya akan efektif untuk menangkal penyalahgunaan ilmu, mengingat konsep-konsepnya yang masih bertentangan antara satu dengan lainya sebagai lazimnya pertentangan diantara orang-orang yang mengikuti hawa nafsu. Orang-orang yang mengkuti hawa nafsu, semakin tinggi ilmu yang mereka dapat, semakin tinggi teknologi yang mereka kembangkan, semakin canggih persenjataan yang mereka miliki, semua itu hanya mereka tujukan untuk memuaskan hawa nafsu mereka, tanpa mempertimbangan dengan baik kewajiban mereka terhadap orang lain dan hak-hak orang lain.[3]
Inilah yang terjadi dengan dunia kita sekarang, negara-negara yang disebut adikuasa berbuat yang mereka kehendaki terhadap negara-negara yang sedang berkembang, demi keuntungan dan kepentingan mereka walaupun dengan semboyan-semboyan demokrasi, hak asasi manusia, dan lain-lain.
Kalangan ilmuwan, politisi, masyarakat maupun industriawan yang berkepentingan dengan ilmu pengetahuan, perlu memahami makna kebebasan yaitu seperti dikatakan Bernard Shaw, liberty means responsibility. Para ilmuwan yang mengembangkan iptekyang pesat sering mendahului aspek moral yang seharusnya dapat membimbingnya untuk kesejahteraan masyarakat.[4]

ETIKA DAN TANGGUNGJAWAB ILMU PENGETAHUAN
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini. Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar. Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan. Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.[1]
Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada. Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia. Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.[1]
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat. Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat” olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.[1]
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan faktual manusia, sehingga terjadi hubungan timbal balik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan etika sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”[1].

KESIMPULAN
Ilmu adalah netral menghasilkan manfaat atau mengakibatkan bencana tergantung di tangan yang menguasainya. Bagaimana dia nantinya menerapkanya di dalam kehidupan. Ilmu tanpa dilandasi etika yang benar akan mengakibatkan kerusakan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Diperlukan adanya orang-orang yang mampu untuk menjaga berlakunya etika yang benar dalam pengembangan ilmu agar ilmu tersebut lebih bermanfaat nantinya baik didunia maupun di akhirat. Etika yang baik akan memperoleh pahala dan etika yang jahat sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA
1.   Anonim, 2008. Kaitan antara Etika dan Ilmu Pengetahuan. http://elhasyimieahmad. multiply. com/journal/item/14. Tanggal akses 25-01-2010.

2.   Dahlan A., 2008. Ilmu, Etika dan Agama (Representasi Ilmu Ekonomi Islam). P3M STAIN Purwokerto. http://ibdajurnal.googlepages.com/5-Representasi IlmuEkonomiIslam. Tanggal akses 26-01-2010.

3.   Fadliyanur’s, 2007. Etika dalam Pengemangan Ilmu Pengetahuan. http://fadliyanur.multiply.com/journal/item/33. Tanggal akses 04-02-2010.

4.   Witatarto, 2008. Kebebasan dan Etika Ilmu Pengetahuan. http://witarto. wordpress.com/2008/01/14/kebebasan-dan-etika-ilmu-pengetahuan/ Tanggal akses 16-01-2010.


No comments:

Post a Comment